Ketika KH Faqih Maskumambang dan KH Hasyim Asy’ari Beda Pendapat Soal Hukum Kentongan
Tidak kurang dari dua lawatan saya menziarahi kubur ulama besar KH Faqih bin Abdul Jabbar di pemakaman umum desa Maskumambang, Gresik Jawa Timur. Posisi makam yang membaur dengan makam lain, tidak ada penanda khusus, membuat sebagian peziarah kesulitan mengindentifikasi makam beliau.
Mengatasi hal itu, saya memakai penanda tahun kelahiran dan kewafatan beliau yang ternyata tertera di batu nisan. Akhirnya saya menemukannya, usai mengitari hampir separuh luas pemakaman umum tersebut.
Pada saat itu, kondisinya cukup terawat, rimbun rumput liar sudah raib. Di samping makam beliau, ada satu makam yang saya tengarai sebagai makam istrinya, Nyai Nur Khadimah yang berasal dari Kebondalem, Surabaya.
KH Faqih Maskumambang sendiri merupakan putra keempat dari pasangan Kiai Abdul Jabbar dan Nyai Nursimah. Sang ibu merupakan putri dari Kiai Idris, Baureno Bojonegoro yang masih keturunan Joko Tingkir.
Semenjak Faqih dalam kandungan, ibunya tidak henti-henti berdoa dan mengkhatamkan Al-Qur’an demi kesehatan dan keberkahan hidup jabang bayi yang sedang dikandungnya. Pada tahun 1857 M Faqih kecil lahir di Desa Sembungan Kidul, Kecamatan Dukun, Gresik, Jawa Timur.
Kiai Faqih muda mendapat bimbingan spiritual langsung dan pendidikan agama dari ayahnya, Kiai Abdul Jabbar. Ia pernah belajar agama yang salah satunya ilmu Qira’at Imam Nafi’ dan fikih membaca Kitab al-Minhaj (Minhaj al-Thalibin karya Imam Nawawi).
Selain itu, sang ayah juga membekali Faqih muda tentang pelajaran berdagang, bercocok tanam, dan srawung atau bergaul dengan warga sekitar.
Setelah dirasa cukup umur dan matang pondasi keagamaannya, di usia remaja Kiai Faqih memulai pengembaraan keilmuannya di beberapa pesantren, terutama di kawasan Jawa Timur. Pesantren yang pernah beliau singgahi adalah Pesantren Kebondalem Surabaya, Pesantren Ngelom Sidoarjo, Pesantren Sampurnan Gresik, dan Pesantren Langitan Tuban.
Pengembaraan itu berlanjut hingga ke Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan. Di sana, Kiai Faqih mendalami ilmu fikih dan gramatika Arab (Nahwu-Sharaf). Selepas dari Bangkalan, ghirah keilmuan Kiai Faqih semakin membara, beliau lantas melanjutkan ke pusat ilmu pengetahuan pada saat itu, Kota Mekah sembari menunaikan ibadah haji pada tahun 1298 H/1880 M.
Di Mekkah, beliau belajar kepada Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha, Sayyid Umar bin Muhammad Syatha dan anaknya Ahmad. Beliau juga belajar dari beberapa murid Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan.
Dalam bidang fikih dan nahwu, beliau belajar kepada Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Makki, murid dari Muhammad ‘Abid al-Sindi dan Abdullah bin Hasan al-Dimyathi. Mengaji Shahih Tirmidzi di beberapa majelis, seperti majelis Syekh Sa’id bin Muhammad Ba-Bashil yang saat itu menjabat sebagai mufti mazhab Syafi’i.
Beliau juga mengaji Shahih Bukhari dari Sayyid Husain bin Muhammad al-Habsyi al-‘Alawi. Beliau mengambil riwayat dari Abid bin Husain bin Ibrahim al-Maliki, Jamal bin al-Amir al-Maliki, Sa’id bin Muhammad al-Yamani, Mahfuzh bin Abdullah al-Tarmasi, dan Abdul Hayy bin Abdul Kabir al-Kattani.
Habib Salim bin Jindan dalam “Raudhah al-Wildan” mengemukakan informasi berharga perihal keberadaan kitab tsabat dan sanad milik KH Faqih Maskumambang yang berjudul “Ghayah al-Amani fi Asanid al Syeikh Faqih bin ‘Abd al-Jabbar al-Maskumambanji”. Kitab tersebut diperoleh Habib Salim bin Jindan dari KH Faqih Maskumambang secara langsung di Surabaya.
Pengembaraan keilmuan Kiai Faqih muda ini seakan-akan menapak-tilas apa yang sudah ditempuh oleh ayahnya, KH Abdul Jabbar yang dahulu pernah nyantri di Pesantren Ngelom Sepanjang, Sidoarjo dan Pesantren Kedawung Pasuruan hingga ke Tanah Suci, Mekkah.
Sepulang dari Mekkah, KH Faqih kemudian menetap di Maskumambang untuk berdagang dan terutama membantu pesantren yang sudah dirintis oleh ayahnya, KH Abdul Jabbar.
Sepeninggal ayahnya pada pada 1904 M dalam usia 84 tahun, Pondok Maskumambang yang sudah mulai dikenal dan memiliki banyak santri dari berbagai daerah kemudian dilanjutkan oleh putra-putrinya, terutama KH Faqih Abdul Jabbar.
Kiai Faqih memimpin Pondok Maskumambang dari tahun 1904-1937. Selama 33 tahun dipimpin oleh Kiai Faqih, Pesantren Maskumambang berkembang sangat pesat dan menjadi magnet bagi para penimba ilmu dari berbagai wilayah di tanah Jawah.
Di antara murid-murid beliau yang kemudian menjadi tokoh besar dan tokoh nasional adalah KH Zubair Dahlan (Ayah KH Maimoen Zubair, Sarang), KH Abdul Hadi (Langitan), KH Imam Khalil bin Syu’aib (Sarang), KH Ma’shum Ali Kwaron, Seblak, Kiai Adlan Ali Cukir, Kiai Hamid, Kiai Faqih Utsman, Kiai Fattah Yasin dan Kiai A Wahid Hasyim.
Kealiman KH Faqih telah mashur menyertai kemashuran pesantrennya. Popularitas itu terus menjulang tatkala beliau didaulat untuk mendampingi KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar dan KH Faqih sebagai Naib Akbar Nahdlatul Ulama.
Kalau kita lacak riwayat kehidupan dua ulama tersohor tersebut, kita akan mendapati bahwa keduanya merupakan sahabat seperjuangan semenjak “nyantri”, baik ketika di Syaikhona Kholil Bangkalan maupun di Tanah Suci Mekkah.
Kendati demikian, perjalanan persahabatan mereka bukan berarti mulus, sama sekali tidak ada perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang dalam menyikapi persoalan furu’iyah dalam bidang fikih. Yaitu ketika kedua ulama itu menyikapi hukum boleh tidaknya “kentongan” digunakan sebagai sarana shalat bagi kaum muslimin.
Dalam hal ini, KH Hasyim Asy’ari tegas menolak keberadaan kentongan. Sebaliknya, KH Faqih Maskumambang memperbolehkan. Merespon khilafiyah ini, KH Hasyim mengumpulkan para alim ulama dan santri seniornya di Tebuireng.
Pertemuan itu memutuskan bahwa kedua pendapat perihal kentongan itu sama-sama benar, dan diperbolehkan mengambil sekaligus mengamalkan salah satu dari kedua pendapat tersebut, tanpa saling mencela pendapat yang lain. Hanya saja, KH Hasyim meminta para hadirin untuk tidak menggunakan kentongan di Masjid Tebuireng.
Bentuk penghormatan KH Faqih terhadap keputusan tersebut nampak ketika beliau mengundang KH Hasyim untuk ceramah di Maskumambang. Sebelum kedatangan KH Hasyim, KH Faqih mengintruksikan kepada santrinya untuk menyembunyikan kentongan yang ada di masjid-masjid atau langgar selama KH Hasyim berada di Maskumambang.
Adanya perbedaan pendapat ini nyatanya tidak membuat kedua sahabat karib itu bercerai berai. Hal ini semakin membuat mereka berjiwa besar, saling menghormati pendapat dan bahkan melarang santrinya untuk bersikap ta’ashub (fanatik).