KH Ahmad Syahid bin Kiai Soleh adalah seorang ulama besar NU Jawa Barat yang terkenal dengan kedermawanannya dalam mengayomi masyarakat maupun santri-santrinya. Beliau akrab disapa “Ayah Syahid atau Ajengan Syahid” oleh para santri dan jamaahnya. Nama “Syahid” adalah singkatan dari “Syarif Hidayatullah”, lahir pada 9 Januari 1945, ibunya merupakan seorang penjahit.
Istrinya bernama Hj. Euis Kultsum, putri dari pimpinan Pondok Pesantren Kudang Limbangan. Kiai yang pernah menjuarai Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional pertama tahun 1968 di Makassar, Sulawesi Selatan itu telah wafat pada Sabtu, 5 Agustus 2017 pukul 18:15 WIB di Rumah Sakit AMC Cileunyi.
Pada tanggal 3 Mei 1971, KH Ahmad Syahid mendirikan Pondok Pesantren Al-Quran Al- Falah di Cicalengka Nagrek Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pondok Pesantren Al-Falah I didirikan di atas rumah tua beliau dengan lahan seluas 2100 M² yang dibelinya dari uang hasil rekaman PH di Remaco. Tinggal bersama isteri tercinta Hj. Euis Kultsum dan 3 santri pertama tuanya.
Kegigihannya dalam mendirikan pondok pesantren kini semakin berkembang sehingga berdirilah Pondok Pesantren Al-Falah II pada tahun 1993 yang dipimpin oleh anak pertama KH Ahmad Syahid di sebuah kawasan yang penuh dikelilingi lembah dan gunung dengan lahan 60000 meter persegi.
Walaupun tergolong muda, Pondok Pesantren Al-Falah II ini mampu berkembang pesat dalam segi kuantitas dan kualitasnya. Salah satu tujuan didirikannya Pondok Pesantren Al-Alfalah tersebut adalah sebagai sarana bagi para masyarakat untuk belajar Alquran dan menyampaikan nilai-nilai Alquran dalam kehidupan sehari-hari.
KH Ahmad Syahid mempunyai silsilah guru di beberapa bidang keilmuan, di antaranya adalah KH. Mohammad Soleh (ilmu Alquran) yang merupakan ayah beliau sendiri, KH. Mohammad Toha (ilmu fikih), KH. Mu’th (ilmu Bahasa Arab), KH. Ma’mun Bakri & KH. Mohammad Siroj (ilmu Qiroatil Quran) , KH. Syuja’i (ilmu Balaghoh), Syaikh Muhammad Nazdim (ilmu Thoriqoh Naqsyabandiyah) dan beliau juga diberi kesempatan oleh Allah Swt. berguru kepada Sayyid Alwi Al-Maliki di Mekkah.
Kepergian KH. Ahmad Syahid meninggalkan jejak bersama KH Abdurrahman Wahid atau yang sering disapa “Gus Dur” presiden ke-3 Indonesia. Gus Dur pernah mengatakan “Kalau ingin melihat orang yang ikhlas dalam mempelajari Alquran ialah KH. Ahmad Syahid. Dia adalah Qori kehidupan.” KH. Ahmad Syahid pun pernah menuliskan cerita tentang Gus Dur lewat tulisan tangan yang merupakan hasil penelitian santri putranya bernama Saepul Akmal berjudul K.H. Abdurrahman Wahid di Mata H. Ahmad Syahid.
KH Ahmad Syahid adalah kiai yang memiliki mahabbah atau kecintaan yang amat tinggi kepada Rasul dan ahlu bait.
Bahkan Habib Luthfi Al-Athos pernah menuturkan, “Begitu cintanya, Kiai Ahmad Syahid sampai-sampai anak saya itu ga boleh keluar dari pondok karena kiai khawatir tidak ada dzuriyat di dalam pondok. Maka, Rasulullah tidak akan mau jalan-jalan ke pondok.”
Sebelum meninggal, KH. Ahmad Syahid sempat memohon izin di hari lebaran ke-5 pada Habib Luthfi Al-Athos untuk membuat kuburan dan merapikan kubah yang akan ditempatinya sembari mengatakan “Saya akan dikubur di sini dalam waktu dekat dan setelah syawal saya akan kembali ke rahmatullah.”
Seiring berjalannya waktu, dunia ini semakin tenggelam oleh modernitas. Namun, nasihat-nasihat KH. Ahmad Syahid masih erat tertanam dalam hati para keluarga, santri, serta jamaahnya.
Pesan terakhir KH. Ahmad Syahid adalah “kade dimana wae urang ayana, propesi naon wae, ulah lesot kana kesantrian, tong lesot maca quran sin areng kedah di imetan isi kalimahna” (hati-hati di mana saja kita berada, profesinya apa saja, jangan sampai lengah atas kesantriannya, jangan sampai lengah membaca Alquran bersama dipahami dan direnungkan isi dari setiap kalimatnya).