Warga Indragiri Hilir-Riau mana yang tak kenal dengan tokoh yang satu ini? ia kerap disapa dengan sebutan “Pak Wan”, ketimbang dipanggil “Pak Kiai”. Nama lengkapnya adalah H. Bustani bin H. Qadri. Beliau lahir di Sapat, Indragiri Hilir, Riau, sekitar tahun 1921. Ia merupakan buah hati ketiga dari pasangan suami-istri: H. Qadri dan Hj. Ruqayah. Dua kakak perempuannya telah berpulang lebih dahulu di Mekah bernama Hj. Rahmah dan Hj. Kursani.
Pak Wan kecil telah terbiasa dididik dalam keluarga yang religius. Pada usia 7 tahun, tepatnya tahun 1928, ia diboyong keluarganya untuk menetap di Mekah. Di Tanah Suci inilah ia mengenyam pendidikan di Madrasah Dar al-Ulum al-Diniyah sebuah institusi Islam yang pernah dipimpin oleh Syekh Yasin al-Fadani (w. 1990), seorang ulama asal Padang, Sumatera Barat.
Karena kesungguhan, motivasi, dan didukung oleh lingkungan yang kondusif, ketika berusia 13-an (tahun 1934) Pak Wan muda telah hafal Alquran 30 Juz. Beliau juga memiliki kemerduan suara dan kefasihan dalam membacakan ayat-ayat suci Alquran, anugerah ini tidak berubah bahkan sampai ia memasuki usia senja.
Tahun 1941 (usia 20 tahun) ia kembali ke Indragiri Hilir untuk mendarmabaktikan keahlian dan keilmuannya yang telah diperolehnya di Mekah kepada masyarakat. Berselang dua tahun kemudian, tahun 1943 ia menikahi wanita tambatan hatinya, Hj. Fatimah. Dari pernikahannya ini Pak Wan dikaruniai enam orang anak: Faridah, Anwar, Azizah, Ferrial, Nurlaili, dan Ahmad Riva’at. Beliau juga dianugerahi 27 orang cucu dan 11 buyut, di antara anak dan cucunya tersebut ada tiga orang yang meneruskan perjuangan dakwahnya di bidang agama, yaitu: Ustadz H. Ahmad Riva’at, Ustadz H. Ahmad Rivani, Lc dan Ustadz H. Ahmad Khusyairi, Lc.
Kiprah Pak Wan semakin cemerlang, ia sangat aktif di organisasi Nahdlatul Ulama (NU), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Pengembangan Tilawatil Qurnan (LPTQ) kabupaten Indragiri Hilir. Ia juga pernah menjadi ketua yayasan MDA, TPA, TPQ al-Nur Tembilahan yang sekarang telah berganti nama menjadi Yayasan Nur al-Hadar. Pada event-event MTQ ia selalu didaulat menjadi Dewan Hakim, baik dalam skala kabupaten, provinsi, bahkan nasional.
Kesuksesan Pak Wan KH. Bustani Qadri di bidang tajwid dan seni baca Alquran direpresentasikan melalui prestasi yang diraih murid-muridnya, antara lain: Hj. Nuraini yang pernah meraih juara event Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat Asean, begitu pula dengan H.M. Rusli Zainal (mantan Gubernur Riau) dan H. Tarmidzi Ahmad, S.Ag yang pernah menjuarai MTQ Nasional tingkat Ibtidaiyah.
Dalam rutinitas keagamaan, ia merupakan Imam Besar masjid Agung al-Huda Tembilahan, sebab itulah ia menjadi figur yang dihormati dan disegani oleh masyarakat. Tidak hanya mengandalkan suaranya yang indah, Pak Wan juga terlibat aktif menulis beberapa teks keagamaan, satu di antaranya adalah buku panduan Tahlil.
Tahlilan memang menjadi tradisi turun-temurun yang dipraktekkan oleh masyarakat Indragiri Hilir dan masyarakat Nusantara pada umumnya. Ritual ini lazimnya diadakan pada moment-moment tertentu, seperti: selamatan (syukuran), acara pernikahan (walimat al-Ursy), acara akikah (walimat al-Aqiqah), acara khitanan (walimat al-Khitab), dan peristiwa kematian, meliputi peringatan 1 hari pasca pemakaman, 3 hari, 7 hari, 25 hari, 40 hari, 100 hari, hingga peringatan haul atau setahun pasca kewafatan seseorang.
Melihat tradisi yang telah mengakar dan mendarah-daging serta tidak bisa dipisahkan dari kehidupan muslim Indragiri Hilir, KH. Bustani Qadri memiliki inisiatif untuk menyusun sebuah buku panduan “Peraturan Bertahlil”.
Kepentingan menulis buku panduan ini tampaknya dilatarbelakangi oleh posisinya sebagai pemuka agama yang tentunya kerap diundang untuk menghadiri moment-moment di mana Tahlil rapalkan. Belum lagi beragam persoalan kekeliruan cara membaca dan apa yang harus dibaca. Sehingga ia memiliki beban ilmiah untuknya meluruskan problem tersebut, apalagi memang karena beliau seorang yang berilmu.
Buku “Peraturan Bertahlil” karya KH. Bustani Qadri selesai ditulisnya pada 11 Dzu al-Hijjah 1407 H / 6 Agustus 1987 M. Artinya karya ini digarap pada usia senja 66 tahun, atau 16 tahun sebelum kewafatannya pada Jum’at, 8 Agustus 2003 M/ 9 Jumad al-Akhir 1424 H. Beliau meninggal di Sorek, dalam perjalanan pulang ke Tembilahan, setelah menjalani pengobatan di RS. Ibnu Sina, Pekanbaru. Karyanya “Peraturan Bertahlil” ditulis menggunakan huruf Arab dan Arab-Melayu (aksara Jawi) dengan menghabiskan 10 halaman.
Buku ini berisi tuntunan teknis pelaksanaan tahlilan. Diawali dengan bertawasul melalui nabi Muhammad Saw, membaca surah al-Ikhlas 3 kali, al-Falaq 1 kali, al-Nas 1 kali sambil masing-masing diselingi bacaan “lailahaillallah huwa allahu akbar”, kemudian membaca awal al-Baqarah 1-7, al-Baqarah 163, ayat kursi/al-Baqarah 225, penutup al-Baqarah 284-286.
Setelah itu, membaca “ya arhama al-rahimin irhamna” 3 kali, dilanjutkan membaca potongan surah Hud [11]: 73 dan surah al-Ahzab [33]: 33, kemudian sebelum membaca shalawat yang disusun khusus, terlebih dahulu membaca surah al-Ahzab [33]: 56. Kemudian membaca istighfar dan hauqalah, kemudian membaca Tahlil “lailahaillallah” 33 atau 100 kali. Setelah selesai, kemudian membaca shalawat serta tasbih “subhanallah wabihamdihi” 10 atau 33 kali. Kemudian membaca shalawat kembali dan satu kali surah al-Fatihah. Setelah itu baru ditutup dengan Doa Tahlil yang telah disusunnya sendiri secara khusus.
Pada bagian akhir buku juga diterangkan tentang perubahan dhamir (kata ganti) ketika membaca bagian tertentu dari doa Tahlil. Keberadaan buku “Peraturan Bertahlil” cukup memberikan kemudahan bagi orang yang tidak terbiasa memimpin Tahlil, karena telah disusunkan secara sistematis lengkap dengan doa-nya. Namun pada sisi yang berbeda, hadirnya buku ini seolah membatasi dan mematikan ruang gerak sebagian masyarakat yang memiliki tatacara dan susunan bertahlil yang relatif berbeda.
Kendati demikian, satu titik pentingnya adalah KH. Bustani Qadri sebagai bagian dari ulama tradisionalis turut membenarkan, melegalkan dan bahkan berusaha melestarikan praktek Tahlilan di bumi Indragiri Hilir. Jadi, tanpa harus ketakutan, menghadapi tudingan-tudingan bid’ah dari kelompok-kelompok yang anti Tahlil.