Nama KH. Ihsan Jampes atau Syekh Ihsan Jampes sangat populer hingga mancanegara. Kemasyhuran beliau tentu saja mengharumkan tanah kelahirannya, yaitu Kediri, Jawa Timur.
Beliau mendapat julukan Al-Ghazali Ash Shaghir atau Ghazali muda dari para ulama Timur Tengah. Julukan yang mulia ini tentu saja tidak datang secaraa tiba-tiba. Julukan ini diperoleh berkat kealiman dan ketekunannya dalam menulis sebuah kitab yang berjudul Shiraju at-Thalibin.
Kitab ini berisi komentar atau syarah dari kitab Minhajul Abidin karya Imam Al-Ghazali. Hingga kini kitab tersebut menjadi rujukan di pesantren Nusantara dan menjadi sebuah mata kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir.
KH. Ihsan Jampes lahir di sebuah perkampungan kecil yaitu Dusun Jampes, Gampengrejo, Kediri, Jawa Timur pada tahun 1901. Ayahnya bernama KH. Muhammad Dahlan, seorang ulama besar di Kediri. Ibunya bernama Nyai Artimah, putri KH. Ahmad Shalih Banjar Melati.
Konon dari nasab ayahnya, Syekh Ihsan Jampes masih keturunan Sunan Gunung Jati. Maka tidak perlu heran bila di kemudian hari Syekh Ihsan Jampes menjadi ulama alim yang mendunia. Beliau juga tinggal di lingkungan yang penuh dengan keilmuan.
Syekh Ihsan Jampes memiliki nama kecil yaitu Bakri. Dikisahkan bawa Bakri kecil ini anak yang bandel dan nakal tapi dia memiliki kecerdasan yang luar biasa bila dibandingkan dengan teman seusianya.
Selain mendapatkan pendidikan dari ayahnya, Bakri juga mendapat bimbingan dari neneknya, Nyai Istianah. Bakri kecil tinggal bersama dengan neneknya selepas kedua orang tuanya bercerai. Semenjak itu Bakri kecil lebih banyak menghabiskan waktunya berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain.
Ada sebuah kisah yang menarik saat sebelum Bakri mondok di Pesantren. Pada awalnya Bakri kecil hobi bermain judi. Hobi yang satu ini dianggap tidak lazim oleh anggota keluarganya sampai-sampai membuat ketegangan tersendiri.
Bagaimanapun juga Bakri sebagai putra kiai tidak patut bermain judi. Maka melihat kelakuan cucunya tersebut Nyai Istianah merasa prihatin. Lalu pada suatu hari Bakri kecil diajak Nyai Istianah berziarah ke makam para leluhurnya, terutama KH. Yahuda.
Di makam inilah Nyai Istianah mencurahkan segala macam keluh kesahnya menghadapi cucunya yang nakal ini.
Sepulangnya dari ziarah, Bakri kecil tidur dan bermimpi bertemu kakek buyutnya, KH. Yahuda. Dalam mimpinya tersebut Bakri kecil diminta KH. Yahuda agar segera taubat dan menghentikan hobi judinya tersebut.
Mendengar permintaan kakek buyutnya tersebut Bakri kecil justru menolak dan marah. Dalam mimpi itu lalu KH. Yahuda mengambil sebuah batu sebesar tangannya dan melemparnya ke arah Bakri kecil sehingga ia teriak kesakitan sampai membuatnya terbangun dari tidurnya.
Selepas mimpi tersebut Bakri kecil banyak merenung dan mulai meninggalkan kebiasaan judinya tersebut. Dia kini mulai berubah dan menyesali segala perilakunya. Mulai saat itu juga Bakri kecil memiliki hobi baru yaitu menyendiri dan berzikir.
Bakri kecil mulai membuka lembaran baru. Kini dia memutuskan diri untuk nyantri dari satu pesantren ke pesantren lainnya, kebiasaan seperti ini dia lakukan selama bertahun-tahun.
Pada awalnya Bakri kecil menimba ilmu pada KH. Khozin, Pengasuh Pondok Pesantren Bendo Pare, lalu dia pindah ke Pesantren Jamsaren, Solo. Kemudian Bakri kecil pergi ke Semarang untuk menimba ilmu kepada KH. Dahlan.
Tidak sampai di situ pengembaraan Bakri kecil dalam menuntut ilmu, dia melanjutkan ke Bangkalan Madura di Pesantren KH. Khalil Bangkalan. Di bawah asuhan Mbah Khalil inilah Bakri kecil semakin mempertajam spiritualnya.
Selepas nyantri di Bangkalan Madura, Bakri memutuskan untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima yaitu Haji sekaligus mau menuntut ilmu ke Timur Tengah dan belajar dengan ulama-ulama besar di sana. Sesampainya di Makkah Bakri melaksanakan ritual haji dan selepas itu dia mulai aktif mengikuti halaqah-halaqah yang diadakan oleh para ulama di sana.
Di Makkah Bakri memperdalam ilmu keislaman khususnya bidang fikih, hadis, dan tasawuf. Setelah dirasa cukup dalam menuntut ilmu di tanah Hijaz tersebut akhirnya Bakri memutuskan diri untuk pulang ke Tanah Air dan mengganti namanya menjadi Ihsan, yang mana nantinya nama ini lebih popular dari nama aslinya.
Begitu sampai Tanah Air, tidak lama kemudian ayahnya wafat, maka tampuk kepemimpinan pesantren diserahkan kepada KH. Khalil, adik dari KH. Ihsan Jampes. Kepemimpinan ini hanya bertahan selama empat tahun karena KH. Khalil kemudian menyerahkannya kepada kakaknya, KH. Ihsan Jampes yang dirasa lebih pantas karena beliau lebih alim dan wara.
Maka sejak saat itulah KH. Ihsan Jampes dikenal masyarakat luas sebagai ulama yang alim, zuhud, dan wara. Di bawah kepemimpinan Kiai Ihsan, Pesantren Jampes mengalami perkembangan yang sangat pesat salah satunya yaitu bertambahnya santri yang sebelumnya hanya sekitar 150-an menjadi 1000 santri.
Penambahan jumlah santri ini berkat kemasyhuran KH. Ihsan Jampes yang dikenal sebagai seorang kekasih Allah.
KH. Ihsan Jampes terkenal sebagai seorang wali yang memiliki beragam karamah. Salah satunya yaitu beliau memiliki ilmu laduni. Ilmu laduni merupakan ilmu yang hanya diberikan oleh Allah Swt sebab terbukanya mata hati seseorang.
Kealiman dan keluasan ilmunya telah dibuktikan dengan karya monumentalnya yaitu kitab Siraj ath-Thalibin, sebuah syarah dari kitab Minhajul Abidin karya terakhir Imam Al-Ghazali. Berkat karya kitabnya inilah KH. Ihsan Jampes mendapatkan julukan Ghazalinya tanah Jawa.
Karya tulis KH. Ihsan Jampes selain yang disebut di atas yaitu kitab Tashrih al-Ibarat, Natijat al-Miqat, Manhaji al-Amdad, dan Irsyad al-Ikhwan fi Syurbati al-Qahwati wa ad-Dukhan. Semua karya KH. Ihsan Jampes tersebut membuktikan kapasitas beliau yang luar biasa.
Syekh Ihsan Jampes wafat pada usia yang masih terbilang muda, yaitu 51 tahun. Beliau wafat pada hari Senin, 25 September 1952 dan jenazahnya dikebumikan di kompleks Pesantren Jampes di Kediri Jawa Timur. Wallahu a’lam bis shawab.