KH. Mushsin Ali, allahu yarhamuh, adalah salah satu alumnus Pondok Pesantren Pondowan Pakis Pati, pondok asuhan KH. Muhammadun. KH Muhammadun Pondowan adalah seorang ulama yang dijuluki Sibawaih Jawa oleh Sayyid Alawi al-Makki, karena kepakaran Mbah Madun dalam ilmu Nahwu. KH. Muhammadun adalah kakek dari cendekiawan muslim NU garda depan, Ulil Abshar Abdallah.
Konon setelah Kiai Muhsin lulus dari pesantren Pondowan, beliau diminta oleh KH Ali Ahmadi untuk mengajar di Mu’allimin Bugel Kedung Jepara. Ketika itu, Mu’allimin Jepara merupakan sekolah yang memberlakukan hafalan alfiyyah Ibnu Malik untuk strata kenaikan kelas. Seiring dengan perkembangan zaman, dihapuslah pemberlakuan hafalan bait-bait alfiyyah yang berjumlah 1000 bait itu.
Mbah Muhsin, di samping mengajar di Mullimin, juga mendapatkan tinggalan musallah kecil yang kala itu terkenal dengan sebutan ”Langgar Angkruk”. Musallah inilah yang kemudian dikembangkan oleh Mbah Muhsin Ali menjadi Pondok Pesantren al-Mustaqim.
Menarik disimak dan menjadi pembelajaran bagi generasi milenial, untuk menumbuhkan minat anak-anak kecil mengaji Al-quran di Langgar Angkruk, Mbah Muhsin tidak begitu saja secara dhahir memerintah mengaji, tetapi beliau membuat rebana sederhana dan mengajak anak-anak yang ada di sekitar musallnah itu untuk bermain rebana.
Rebana yang dibentuk oleh Mbah Muhsin ini kemudian menjadi viral dan masyhur di masyarakat Desa Bugel. Pada suatu malam, tim rebana mendapatkan undangan ”show” di rumah salah satu kiai kesohor di Desa Bugel, Kiai Sulaiman namanya. Kiai Sulaiman mendatangkan rebana sebagai hiburan ”ndeso” dalam rangka khitan anak beliau.
Bahkan karena terpukau dengan penampilan team rebana Mbah Muhsin, sohibul bayt meminta supaya terus memainkan bait salawat dan lagu gambus. Namun ada tetangga yang kurang sreg dengan permainan gambus oleh team rebana. Tetangga tersebut melaporkan kejadian tersebut kepada ibu Nyai Muslimah, ibunda KH Muhsin Ali. Seketika itu pula Mbah Nyai Muslimah pergi ke tempat kejadian dan mendapati puteranya menjadi pemain rebana.
Seketika itu pula Mbah Muslimah menghentikan pertunjukan dan menyita alat rebana dan lain sebagainya.
Pasca peristiwa tersebut Mbah Muhsin matur kepada ibundanya bahwa alat-alat rebana itu hanya menjadi wasilah supaya anak-anak tetangga musallah mau mengaji di Langgar Angkruk. Dengan pendekatan itu, akhirnya alat-alat rebana dikembalikan oleh Nyai Muslimah. Mbah Muhsin pun mulai melakukan pendekatan kembali ke anak-anak kampung.
”Kalau kalian masih mau main rebana, ya harus diberi ngaji Al-quran dan fasolatan.” Begitulah kira-kira ucapan Mbah Muhsin kepada mereka. Anak-anak kampung itu mengangguk tanda mereka mengiyakan apa yang diperintahkan oleh Mbah Muhsin.
Setelah kejadian itu, setiap hari diadakan ngaji juz amma dan fasolatan di Langgar Angkruk tersebut.