Ulama kharismatik ahli Qur’an dan tafsir KH. M. Sya’roni Ahmadi telah meninggalkan kita pada Selasa Pon, 15 Ramadlan 1422 / 27 April 2021. Ribuan warga melepas kepergian Kiai Sya’roni dengan derai air mata.
Beliau disemayamkan di area Pesantren beliau, al-Muyassar, Dukuh Pagongan, Desa Kajeksan, Kecamatan Kota Kudus, meninggalkan 1 orang istri, 8 anak, 31 cucu dan 18 cicit.
Kiai Sya’roni dikenal masyarakat luas sebagai kiai alim Qur’an dan ahli dakwah. Dakwahnya yang renyah dan ramah sangat digemari oleh semua lapisan msyarakat. Dengan bahasa yang mudah dipahami, mauidhohnya begitu memukau dan gampang masuk di sanubari para pendengar.
Sembari mengenang beliau, banyak yang bisa diteladani dari Kiai yang lahir pada 17 Agustus 1931 ini. Angka 17 Agustus ini bukan hari lahir yang sebenarnya. Catatan keluarga hanya mencatat tahun 1931, kemudian karena kecintaaannya pada Indonesia, beliau memilih tanggal 17 Agustus sebagai hari lahirnya.
Salah satunya adalah semangat belajarnya yang tak kenal lelah. Sya’roni kecil hidup serba terbatas dan lahir dari keluarga sederhana di Desa Kauman Menara. Beliau merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara dari pasangan Ahmadi dan Masnifah.
Dari segi ekonomi, beliau lahir dari keluarga yang pas-pasan. Akan tetapi, semangat juang dan ketekunan beliau patut diacungi jempol dan patut diteladani.
Saat berusia 8 tahun, sang ibu meninggal dunia. Praktis, sejak saat itu, Sya’roni kecil hanya diasuh oleh sang ayah, Ahmadi. Oleh sang ayah, beliau dididik untuk selalu manut dan patuh, walau belum paham apa maksudnya.
“Wes poko’e manut bapak, yakin maksute apik (Sudah, pokoknya ikut bapak, yakin maksudnya baik),” begitu tutur beliau pada saat wawancara.
Sejak kecil bersama sang ayah, ia sering diajak sowan kepada para kiai. Mulai dari kiai Kota Kudus, Jekulo hingga Kiai-Kiai di daerah Mayong Jepara untuk mengaji dan meminta berkah.
Walau sebenarnya belum paham apa maksudnya, dengan semangat mituhu maring wong tuwo, Sya’roni kecil selalu mengaji dan mengaji, terutama kepada kiai-kiai di sekitar Menara Kudus.
Keindahahan bersama sang ayah tidak begitu lama, karena pada usia ke 13 tahun, sang ayah meninggal dunia. Sejak itu ia kemudian diasuh oleh pamannya.
Namun demikian, semangat mengaji yang ditanamkan orang tua sudah terpatri dan membaja di dada. Sya’roni yang yatim piatu selalu membara semangatnya untuk belajar dan mencari keberkahan sesuai arahan sang ayah.
Sejak kecil, Sya’roni dikenal memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Waktu sekolah di Madrasah Diniyyah Mu’awanatul Muslimin, oleh gurunya dia dinaikkan dua tingkat (dua kelas) sekaligus, sehingga lulus lebih cepat dibanding kedua kakaknya.
Pada usia 11 tahun, Sya’roni sudah hafal 160 bait syair Burdah al-Bushiri dan 1000 bait Alfiyyah Ibnu Malik, dan pada usia 14 tahun beliau sudah hafal Al-Qur’an 30 juz.
Salah satu yang mengobarkan semangat Sya’roni muda untuk menghafal al-Qur’an dan mempelajari tafsir adalah kealiman Sayyid Abdillah Demaan Kudus. Kalau mengajar tafsir Jalalain, Sayyid Abdillah tidak membuka kitabnya karena beliau hafal diluar kepala tafsir Jalalain.
Kalau ngaji posonan, 16 hari tafsir Jalalain dikhatamkan oleh Sayyid Abdillah tanpa membuka kitab. Dari gurunya inilah, Sya’roni muda terlecut untuk menghafal Al-Qur’an beserta tafsirnya
“Kalau beliau bisa hafal Jalalain, saya juga harus bisa,” ungkap Sya’roni muda menyemangati dirinya sendiri.
Semangat dari Sayyid Abdillah ini kemudian disempurnakan dengan musyafahah dengan KH. Arwani Amin beserta Qiro’ah sab’ah-nya. Sementara untuk keilmuan yang lain, terutama fiqh, beliau selalu menyebut KH. Turaichan Adjuhri sebagai guru utamanya. Sedangkan untuk dakwah dan kemasyarakatan, beliau banyak belajar dari KHR Asnawi.
Dengan kecerdasan dan bimbingan dari para gurunya, Kiai Sya’roni akhirnya menguasai ilmu agama secara interdisipliner. Beliau tidak hanya mahir dalam ilmu tafsir, tetapi juga dalam ushul al-fiqh, fikih, mantiq, balaghah dan sebagainya.
Dalam hal Al-Qur’an, baliau tidak hanya pandai membacanya, namun juga pintar melagukannya. Bahkan, beliau pernah menjadi dewan Juri Musabaqah Tilawatil al-Qur’an (MTQ) tingkat nasional.
Dengan kemampuan keilmuan yang sangat mapan, KH. Sya’roni Ahmadi Al Hafidz akhirnya sering diundang berdakwah sejak usia muda. Mulai dari lingkungan tempat tinggalnya terus melingkar dan berputar sampai ke luar wilayah Kudus.
Ciri khas dakwah beliau adalah menghindari kepentingan partai maupun kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Beliau merangkul dan menguatkan kerukunan dan kebersamaan.
Pesan yang selalu melekat adalah, “wong Islam Kudu rukun, senajan omahe dewe-dewe”. Artinya, umat muslim harus bersatu demi kepentingan yang lebih luas, dari pada tercerai berai mementingkan egoisme kelompok tertentu maupun mementingkan egoisme partai politik.
Salah satu pengajian Kiai Sya’roni yang fenomenal adalah pengajian tafsir di Masjid al-Aqsha Menara Kudus setiap Jumu’ah fajar. Pengajian ini selalu dinanti dan dihadiri ribuan masyarakat dari Kudus dan sekitarnya.
Selain menjadi macan panggung, Kiai Sya’roni Ahmadi juga produktif dalam berkarya. Adapun karya-karya kitab beliau antara lain adalah: