Di masyarakat kita, pastilah tidak asing dengan praktik khitan atau sunat, baik laki-laki maupun perempuan. Namun praktik khitan pada perempuan masih ditelusuri dasar praktiknya sehingga hal ini menimbulkan perdebatan.
Pemotongan sebagian organ kelamin pada laki-laki yaitu kulup (qulf) sudah jelas dasar syari’at dan kesehatannya. Namun praktik khitan perempuan apakah juga sudah jelas secara syari’at dan kesehatan?Atau sekadar tradisi? Mari kita coba telusuri.
Entah sejak kapan praktik khitan pada perempuan ini dilakukan dan dipraktikan. Pada kenyataannya praktik ini terus berlangsung dari generasi ke generasi sampai sekarang. Penyunatan anak gadis berlangsung di beberapa negara seperti Arab, Mesir, Yaman, Afrika, negara-negara di Asia, termasuk Indonesia.
Teknik khitan pada laki-laki di semua tempat adalah sama, yaitu pemotongan kulup pada penis. Tetapi khitan pada perempuan berbeda-beda di setiap tempatnya, ada yang hanya membuang sebagian clitoris dan bahkan ada yang sampai memotong bibir kecil vagina (labia minora).
Merujuk dari buku Fiqh Perempuan, KH Husein Muhammad menyantumkan pendapat Imam asy-Syawkani bahwa dalam hal khitan ulama berbeda dalam tiga pendapat. Pertama, ulama mengatakan wajib bagi laki-laki dan perempuan. Kedua, ulama mengatakan sunnah bagi laki-laki dan perempuan. Ketiga, ulama mengatakan wajib bagi laki-laki, tetapi tidak wajib bagi perempuan.
Perbedaan pandangan ulama ini mungkin adanya intervensi tradisi dan budaya, sebab tradisi khitan sudah ada jauh sebelum Islam datang. Masyarakat Yahudi telah lebih dulu mempraktikannya. Bahkan dalam catatan sejarah di masa kerajaan Pharaoh dari Mesir Kuno dan Herodotus menyatakan bahwa penyunatan perempuan telah ada sejak 700 tahun sebelum Kristus lahir.
Adapun hadis yang menjadi rujukan dalam praktik khitan perempuan, diriwayatkan Abu Hurairah Ra:
Dari Abu Hurairah Ra. Bahwa Rasulullah Saw. bersabda : “Khitan adalah sunnah bagi lelaki dan sesuatu yang mulia bagi perempuan” (HR. Ahmad)
Menurut Imam Baihaqi hadis ini dha’if dan munaqoti. Juga ulama lainnya mengatakan bahwa hadis ini lemah dan tidak sah, menurut Imam Ibnul Mundzir, Imam asy-Syawkani, Syekh Muhammad Syaltut, Syekh Sayyid Sabiq,Syekh Wahbah az-Zuhaili, Ustadz Muhammad al-Banna, dan Anwar Ahmad.
Adapun tujuan dilakukannya khitan, Syekh Sayyid Sabiq buku Fiqh as-Sunnah menyatakan bahwa
“Khitan untuk laki-laki adalah pemotongan kulit yang menutupi hasyafah agar tidak menyimpan kotoran, mudah dibersihkan ketika kencing, dan dapat merasakan kenikmatan jima’ dengan tidak berkurang. Sedangkan untuk perempuan adalah dengan memotong bagian teratas dari faraj-nya. Khitan ini merupakan tradisi kuno (sunnah qadimah).”
KH Husein Muhammad turut merespon kutipan tersebut. Ia mengatakan bahwa khitan pada laki-laki memilki dampak positif, yakni laki-laki akan terhindar dari penyakit kelamin, karena kulup berpotensi menjadi sarang penyakit. Pemotongan kulup juga akan memberikan tambahan kenikmatan ketika berhubungan seksual.
Tetapi sebaliknya, khitan perempuan berakibat buruk pada kesehatan reproduksi, juga psikologis seoarang perempuan yang mengalaminya. Sebagaimana disebutkan bahwa khitan perempuan merupakan tradisi kuno. Jika kita melihat dari sisi kesehatan pun cukup berbahaya, tetapi kenapa masyarakat dewasa ini masih mempertahankan hal tersebut?
Menjaga kesucian seorang perempuan menjadi alasan kuat masyarakat melakukan praktik khitan pada perempuan. Keyakinan untuk menjaga kesucian perempuan dengan memotong suatu organ intim (clitoris) menggunakan silet, pisau tajam, atau alat lainnya, terus dipraktikan sampai sekarang. Konon untuk melindungi kehormatan perempuan. Sebab kesucian dan kehormatan perempuan masih dinilai dari utuh tidaknya selaput dara.
Nawal El Saadawi dalam Perempuan dalam Budaya Patriarki memaparkan bahwa praktik khitan perempuan dilatarbelakangi pemahaman bahwa dengan membuang bagian-bagian tertentu organ kelamin luar seorang gadis, hasrat seksualnya bisa dikurangi.
Ini artinya, praktik khitan perempuan sengaja dilakukan untuk mengontrol hasrat perempuan dalam hubungan seksual. Ketika laki-laki dikhitan untuk menambah kenikmatannya, tetapi justru hak kenikmatan perempuan dikurangi. Kenapa bisa begitu?
Tentu saja bisa, kaum patriarkal akan terus berusaha menjadikan perempuan tertunduk dengan membuat norma-norma, baik sosial ataupun norma atas nama agama. Bahwa perempuan yang baik adalah yang penurut, tidak banyak bicara dan tidak banyak tingkah, serta yang bisa menjaga kehormatannya. Perempuan seperti itulah yang disukai laki-laki.
Ini memperlihatkan ketidakadilan pada perempuan tidak hanya terjadi pada struktur sosial-ekonomi, tetapi hak biologis seksualnya pun telah dicederai. Perempuan selalu ditundukan oleh sistem patriarkal yang telah terbentuk dan berhasil mengontrol perempuan diberbagai lini kehidupan.
World Health Organization (WHO) menentang keras praktik mutasi genital wanita (FGM) melibatkan pengangkatan sebagian atau total genitalia, eksterna wanita atau cedera lain pada organ genital wanita karena alasan non-medis.
Menurutnya, praktik ini tidaklah memiliki manfaat kesehatan, yang ada adalah bahaya terhadap perempuan. Dengan menghilangkan atau merusak jaringan genital pada perempuan yang sejak awal sehat serta normal akan menggangu fungsi tubuh, apalagi jika sampai merusak jaringan kelamin.
WHO juga mengingatkan akan banyak risiko yang bisa terjadi akibat sunat perempuan, di antaranya mampu mengakibatkan pendaharahan, pembengkakan jaringan genital, demam, infeksi (biasanya dukun sunat tradisional kurang memperhatikan kehigienisan alat yang digunakan), syok, sakit kemih, terjadi masalah menstruasi, masalah seksual (nyeri selama hubungan intim, penurunan kepuasan, dan lainnya).
Sebagaimana hasil riset WHO, bahwa lebih dari 3 juta anak perempuan diperkirakan berisiko mengalami FGM setiap tahun. Dan lebih dari 200 juta anak perempuan yang hidup hari ini telah mejadi sasaran praktik menurut data dari 30 negara.
Bisa kita bayangkan ratusan juta anak perempuan terus menjadi korban dari tradisi yang sangat berbahaya bagi kesehatannya sendiri. Dan sangat disayangkan pula sebagian besar masyarakat yang memperaktikan sunat perempuan, tidak mengetahui bahaya ini.
Masyarakat mempraktikan khitanperempuan hanya atas dasar konvensi sosial, dan karena praktik ini dipercaya bagian penting dalam proses pertumbuhan anak perempuan agar terhindar dari pelanggaran seksual yang bisa dilakukan anak perempuan. Mereka tidak mengetahui bahaya dari praktik ini.
Jika alasannya agar tidak terjadi pelanggaran seksual, maka keliru, jika pencegahan itu dilakukan dengan cara memotong daging kecil dari tubuhnya. Justru perlu ditumbuhkan pemahaman serta kesadaran dalam diri anak-anak untuk mencegah itu semua (penyimpangan), bukan dengan cara memotong daging kecil pada organ perempuan yang malah berisiko buruk pada kesehatan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin tidaklah mungkin ada hukum yang di dalamnya ada kemudharatan bagi umat manusia, terutama perempuan. Islam mengajarkan sikap lembut dan kasih sayang, menolak kekerasan dan ketidakadilan. Islam tidak mungkin menyakiti perempuan. Oleh karena itu, praktik khitan harus dilihat sebagai praktik dari tradisi atau kebudayaan patriarkis masa lalu, bukan praktik yang didasari oleh ketentuan syariat agama.
Wallahu a’lam, segala pengetahuan hanya milik Allah.