Bahtsul masail selalu menjadi ajang perdebatan para kiai dalam menggali hukum (istinbath al-ahkam) terkait persoalan-persoalan yang mengemuka di masyarakat. Dalam forum tersebut para kiai beradu dalil dan argumen agar pendapatnya bisa diterima, dengan menunjukkan secara langsung berbagai kitab kuning yang menjadi rujukan.
Puluhan bahkan ratusan kitab kuning dibawa dan dikumpulkan dalam arena debat yang dihadiri oleh para kiai yang sepuh dan “ngalim” dari berbagai pelosok Nusantara tersebut. Kadang-kadang adu argumen di antara para kiai tersebut terjadi dalam suasana yang kondusif dan santai, tetapi tidak jarang pula adu argumen tersebut terjadi dalam suasana yang panas dan gaduh.
Suasana itulah yang juga terjadi dalam forum Bahtsul Masail Muktamar NU ke-26 yang digelar di Semarang pada tanggal 5-11 Juni 1979 M. Kiai Hadlor Ihsan dari Mangkang menceritakan pada saya bagaimana suasana perdebatan para kiai sepuh dalam forum yang digelar di Lantai 2 Masjid Raya Baiturrahman Simpanglima Semarang tersebut.
Yang hadir dalam forum bahtsul masail tersebut adalah para kiai sepuh kenamaan yang menjadi utusan dari berbagai Pengurus Wilayah NU seluruh Indonesia, seperti KH Abuya Dimyathy dari Banten, KH Ahmad Muthohhar dari Mranggen, KH Adlan Aly dari Jombang, Jawa Timur dan lain-lain. Sedangkan pemimpin sidangnya adalah KH Muslih Abdurrahman, pengasuh Pesantren Futuhiyyah Mranggen yang dikenal sangat “ngalim”.
Salah satu persoalan yang mengemuka dalam bahtsul masail tersebut adalah bagaimana hukumnya menambahkan kalimat “as-Syaikh Abdul Qodir Waliyyullah” setelah kalimah thoyyibah “La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah”.
Para kiai pun berdebat sengit dalam menyikapi persoalan tersebut. Dengan berbagai dalil dan ta’bir yang ada, sebagian kiai mengatakan bahwa tidak boleh hukumnya menambahkan kalimat “as-Syaikh Abdul Qodir Waliyyullah” setelah kalimah thoyyibah tersebut.
Mereka berargumen bahwa penambahan kalimat tersebut berpotensi menodai keagungan kalimah thoyyibah tersebut. Kalimat “La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah” adalah kalimah thoyyibah yang agung dan diajarkan oleh Nabi untuk dibacakan dalam berdzikir, maka penambahan kalimat lain setelahnya, betapapun baiknya kalimat tersebut, justru akan merusak keagungannya. Apalagi bila orang kemudian berpikir bahwa dua kalimat tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh.
Sementara sebagian kiai yang lain mengatakan bahwa boleh hukumnya menambahkan kalimat “as-Syaikh Abdul Qodir Waliyyullah” setelah kalimah thoyyibah. Tidak ada seorang pun yang berpikir bahwa dua kalimat tersebut adalah suatu kesatuan utuh. Keduanya adalah kalimat-kalimat baik yang masing-masing berdiri sendiri. Bahwa kemudian kalimat tersebut ditambahkan, itu adalah ekspresi kecintaan seseorang kepada para kekasih Allah, bukan dimaksudkan untuk menodai kalimah thoyyibah tersebut.
Ternyata perdebatan dua kubu kiai yang berbeda pandangan tersebut tak kunjung usai. Masing-masing kubu bersikukuh mempertahankan pendapatnya dengan semua dalil dan argumen yang diajukannya.
Dalam situasi yang cenderung memanas tersebut, Kiai Muslih Mranggen sebagai pemimpin sidang pun kemudian menyampaikan pendapatnya. Dengan suara yang halus dan tenang kiai yang banyak dijuluki sebagai “syaikh al-mursyidin” (guru dari para mursyid) Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabandiyyah ini mengatakan:
“Begini saja…, semua itu kan bergantung pada niat. Kita semua mungkin pernah mendengar ketika ada orang tua yang jengkel pada anaknya yang nakal dan susah untuk dinasehati. Orang tua tersebut kemudian mengatakan: “La ilaha illallah…. Bocah kok kandhanane angel temen..(La ilaha illallah…. anak kok susah untuk dinasehati).
Dua kalimat yang diucapkan oleh orang tua ini pasti masing-masing berdiri sendiri, tetapi kedua kalimat tersebut digabung. Saya kok yakin bahwa orang tua tersebut pasti tidak berniat menghinakan kalimat la ilaha illallah.
Sama juga, orang menambahkan kalimat “as-Syaikh Abdul Qodir Waliyyullah” setelah kalimah thoyyibah, pasti tidak bermaksud menghinakan kalimah thoyyibah tersebut. Paling dia hanya bermaksud menunjukkan rasa cintanya pada Syaikh Abdul Qodir Jailani, orang yang memang diakui oleh khalayak umum sebagai rajanya para kekasih Allah.
Ini adalah sesuatu yang biasa terjadi dalam keseharian kita. Yang penting dia tidak meyakini kedua kalimat tersebut sebagai satu kesatuan utuh dari kalimah thoyyibah tersebut. Ngaten mawon nggih….? (begitu saja ya…?)”
“Nggihh…!!” Semua kiai yang hadir dalam forum bahtsul masail tersebut mengiyakan pendapat Kiai Muslih. Meski hanya dengan logika-logika sederhana dan tanpa menggunakan dalil-dalil spesifik al-Qur’an dan hadits, kiai yang dikabarkan banyak memiliki karomah itupun berhasil meredakan dan meyakinkan semua kiai yang hadir.
Perdebatan panjang pun selesai dan para kiai yang hadir pun berangkulan. Forum bahtsul masail yang membahas soal penambahan “as-Syaikh Abdul Qodir Waliyyullah” setelah kalimah thoyyibah pun ditutup. Allahummaghfirlahum warhamhum wa’afihim wa’fu ‘anhum.