“Ulama itu pasti oposisi. Ketika dia tidak oposisi, berhenti dia sebagai ulama,” ucap salah satu narasumber di Indonesia Lawyer Club (ILC) yang tayang selasa, 30 Juli lalu.
Kata siapa jadi ulama harus oposisi? argumen narasumber ini tidak tepat jika ditinjau dari fakta sejarah. Ada sejumlah ulama yang tidak mengabaikan urusan pemerintahan. Mereka berkontribusi tanpa meninggalkan idealisme.
Ketika Orde Lama, tokoh Nahdlatul Ulama, KH. Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama. Di masa lampau, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam kita (2006) menyebut ayahnya pernah menjadi Penasihat Politik Jenderal Soedirman.
Selain Kiai Wahid, terdapat sosok KH. Zaenul Arifin. Beliau menjabat Wakil Perdana Menteri. Namanya juga diabadikan menjadi nama ruas jalan di Kota Malang. Semasa hidupnya pernah mendampingi Bung Karno dalam lawatan ke Saudi dan Uni soviet. Di negeri komunis itu melobi pemerintah setempat terkait pembukaan kembali Masjid Biru.
Tradisi “Halalbihalal” yang rutin dirayakan di instansi pemerintah tak luput atas ide atau pemikiran KH. Wahab Chasbullah. Kala mengusulkan istilah itu, beliau menjabat anggota Dewan Pertimbangan Agung. Uniknya, tradisi ini dipraktikkan warga Muhammadiyah dan al-Irsyad al-Islamiyyah.
Perlu diingat pula di masa era orde lama pernah muncul wacana pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). PKI-lah yang getol menuntut pembubaran tersebut. Untungnya tidak terealisasi berkat penolakan Menteri Agama KH. Saifuddin Zuhri. Ayah dari Menteri Agama, Lukman Hakim ini menulis dalam buku Berangkat dari Pesantren, “Suatu pagi aku dipanggil Presiden Sukarno di Istana Merdeka dan diterima di serambi belakang,” Kala itu bung Karno turut duduk bersama Hasyim Ning (pengusaha).
“Saya memberi tahu kepada saudara, selaku Menteri Agama, bahwa saya akan membubarkan HMI,” ucap Bung karno.
“Mohon dipertimbangkan sekali lagi! HMI itu anak-anak muda. Mereka sudah termakan oleh pidato-pidato bapak di banyak peristiwa,” bela KH Saifuddin zuhri. Singkat cerita, Bung Karno urung membubarkan HMI.
“Baiklah, HMI tidak saya bubarkan. Tetapi saya minta jaminan, HMI akan menjadi organisasi yang progresif. Kau bersama Nasution, Roeslan Abdulgani, dan Syarief Thayeb harus membimbing HMI,” pinta Bung Karno.
Beralih ke rezim orde baru, di rezim ini tercatat dua kiai menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sejak tahun 1968. Pertama, Alumnus Pesantren Besuk Pasuruan, KH. Ahmad Badawi. Kedua, KH. Masjkur.
KH. Masjkur bukan sembarang kiai. Pernah menjadi Menteri Agama dan jelang kemerdekaan Indonesia diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Disebutkan Kurnia Sukma dalam Sejarah KH. Masjkur dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, (UIN Sunan ampel, 2016), ketika membahas rancangan Undang-Undang Dasar, Masjkur termasuk anggota sidang yang mengusulkan agar Islam menjadi dasar negara yang akan dibangun.
Selain itu, negeri ini pernah memiliki sosok Buya Hamka. Pengarang Tafsir Al-Azhar ini diamanahi sebagai Ketua MUI yang pertama. Sekalipun berkiprah di instansi pemerintah, beliau tak kehilangan sedikit pun sikap kritisnya terhadap pemerintah. Buya Hamka tercatat berbeda pandangan dengan Menteri Daoed Joesoef yang kala itu mencabut libur selama bulan puasa. Karena polemik “Perayaan Natal”, Hamka berani meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI.
Pasca runtuhnya orde baru, umat Islam menapaki orde reformasi. Masih dijumpai sejumlah ulama berada di barisan pemerintah. Di era pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid, almarhum Prof. KH. Tolchah Hasan dipercaya sebagai Menteri Agama. Kemudian di era mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ada sosok KH. Ma’ruf Amin. Di era SBY, KH. Ma’ruf Amin bukan sebatas Ketua MUI, tetapi juga menjadi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk bidang urusan agama. Semasa di MUI, ketika tahun 2008, KH. Ma’ruf sebagai Ketua MUI berani menerbitkan SKB tentang Ahmadiyah.
Lalu di masa Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, almarhum KH. Hasyim Muzadi juga duduk di jajaran Wantimpres. Terakhir, Prof. KH. Said Aqil Siraj yang hingga tulisan ini terbit, aktif sebagai Anggota Dewan Pengarah di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Berhenti atau tertolaknya seseorang sebagai “ulama” bukan diukur dari posisinya di barisan pemerintah atau di barisan oposisi. Seseorang berhenti sebagai “ulama” apabila dia tidak bisa dijadikan panutan lagi. Antara tausyiah dengan perilaku di kehidupan sehari-hari tidak selaras. Firman Allah Swt.: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Surah As-Shaf ayat 3).
Kiprah ulama di barisan pemerintah bukanlah hal yang tercela. Asalkan tidak menjilat, tidak membenarkan aneka kebohongannya serta melakukan tindakan kriminal.
“Dengarkan, apakah kalian sudah pernah mendengar, bahwa kelak sepeninggalanku akan muncul para penguasa, maka siapa saja yang mendatanginya dan membenarkan kebohongannya, serta menolong kedhalimannya, maka dia bukan dari golonganku, serta aku bukan dari golongannya, dan dia tidak akan memasuki haudh (telaga Kautsar), dan siapa saja yang tidak mendatangi penguasa, serta tidak menolong kedahlimannya, juga tidak membenarkan kebohongannya, maka dia termasuk golonganku dan akan memasuki haudh (telaga Kautsar).” (HR. Tirmidzi, Nasa’i dan Al-Hakim).
Akhir kata, coba dipikir baik-baik, apa jadinya jika istana negara dan instansi pemerintah dijauhi ulama dengan dalih harus “oposisi”?
Wallahua’lam.