Perjalanan kisah hidup Abu Nawas sangat lah unik dan menarik. Lika-liku kecerdikan Abu Nawas pun tak hanya tertuang dalam mengecohkan lawan dan memempermalukan kawan. Tapi, kecerdikannya juga terlihat dalam memutuskan keputusan kala ia diangkat menjadi hakim dalam suatu peradilan.
Salah satunya dalam kasus persengketaan dua orang ibu yang berebut seorang bayi dan mengakui bahwa dirinya lah ibu dari bayi tersebut. Kisah ini pun hampir menyerupai kisah yang terjadi pada zaman Nabi Sulaiman yang tertuang dalam surat Al-Anbiya ayat 79. Lalu bagimana dengan kisah Abu Nawas?
Alkisah, persengketaan itu terjadi ketika datang dua orang wanita kepada hakim meributkan seorang bayi yang mereka perebutkan. Mereka sama-sama ingin memiliki anak, dan mengakui bahwa bayi itu adalah anak mereka. Saat itu hakim kerajaan rupanya mengalami kesulitan dalam memutuskan dan menentukan siapa ibu yang sebenarnya dari bayi itu.
Kasus pun akhirnya berlarut-larut, tak bisa diselesaikan oleh hakim kerajaan. Walhasil hakim terpaksa meminta bantuan Amirul Mu’minin, Khalifah Harun Ar-Rasyid. Sang baginda raja pun turun tangan, mencari taktik dan cara untuk mencari tahu siapa ibu yang sebenarnya dari anak tersebut, salah satu caranya adalah dengan rayuan. Pikirnya, mungkin dengan rayuan yang lemah lembut dan halus salah satu dari mereka ada yang mau mengalah.
Ternyata taktik sang khalifah tak berhasil memecahkan persengketaan tersebut, bahkan malah sebaliknya, rayuan dan cara yang dipakai oleh sang khalifah membuat wanita-wanita itu mati-matian membela diri masing-masing mengakui bahwa bayi itu adalah anaknya.
Mengingat tak ada cara lagi yang dapat ia lakukan, sang baginda khalifah memanggil Abu Nawas. Abu Nawas yang dipanggil pun hadir lalu diangkat menjadi hakim dari kasus tersebut. Abu Nawas kala itu tak mau langsung memutuskan perkara saat itu, Abu Nawas menunda sampai hari berikutnya. Para hadirin yang ada di majlis sidang berfikir bahwa Abu Nawas sedang mencari akal seperti yang biasa ia lakukan. Padahal penundaan itu hanya disebabkan bahwa algojo pada hari itu tidak sedang bertugas. Sidang pun berlanjut keesokan harinya.
Hari esok pun tiba dan sidang akhirnya diteruskan lagi. Abu Nawas dengan keadaan fresh dengan gagahnya memanggil algojo untuk membawa pedang kehadapannya. Lalu ia meminta agar bayi itu diletakkan di atas meja.
“Apa yang akan kau lakukan terhadap bayi itu?” tanya salah satu perempuan kepada Abu Nawas dengan mata saling memandang satu sama lain.
“Sebelum saya melakukan dan mengeksekusi bayi ini, adakah dari kalian yang mau mengalah dan menyerahkan bayi ini terhadap yang berkah memilikinya?” tanya Abu Nawas kepada menimpali pertanyaan wanita tersebut.
“Tidakkkk!! Bayi itu adalah anak ku,” ujar kedua wanita itu serentak.
“Baiklah, jika kalian berdua benar-benar menginginkan bayi ini dan tidak ada yang mau mengalah, maka saya terpaksa membelah bayi ini menjadi dua bagian yang sama rata,” ancam Abu Nawas.
Perempuan yang pertama girang bukan kepalang, sedang yang satu lagi menjerit histeris dan menangis seraya berkata, “Jangan, tolong jangan kau belah bayi itu. Biarkan aku rela bayi itu seutuhnya diserahkan kepada wanita itu,” ucap perempuan tersebut dengan lemas dan sedih.
Abu Nawas tersenyum lega, terbongkar sudah topeng mereka. Siapa yang menjadi ibu sebenarnya dan siapa yang berpura-pura mengaku sebagai ibu dari anak tersebut. Abu Nawas segera mengambil bayi itu dan langsung menyerahkan kepada wanita yang menangis tersebut, lalu meminta agar wanita yang pertama dihukum sesuai perbuatannya.
Tak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya disembelih, terbunuh, dan mati. Apalagi menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, jangankan terbunuh, sakit demam saja misalnya, sang ibu rela menanggung keluh, susah dan sakitnya seorang anak. Seorang ibu pasti akan mengorbankan apapun yang bisa ia lakukan demi anaknya. sebesar apapun bumi dan seluas apapun langit, kasih sayang seorang ibu melebihi keduanya.
Baginda raja merasa puas dengan keputusan Abu Nawas, lalu menawarinya agar menjadi penasehat kerajaan tapi ia menolaknya. Akhirnya sang baginda hanya memberikan hadiah dan imbalan atas jasanya tersebut.
Kisah disadur dari kitab “Seribu Satu Malam: Abu Nawas Sang Penggeli Hati”