Toleransi adalah topik yang seringkali didengungkan di tengah masyarakat yang majemuk, baik melalui workshop, seminar, dialog, lokakarya, ceramah keagamaan, dan lainnya. Namun tidak jarang apa yang dilakukan itu tidak memberikan bekas yang berarti. Konflik dan gesekan masih tetap terjadi di tengah masyarakat yang beragam meski kampanye toleransi sudah dilakukan.
Di Tana Toraja, Sulawesi Selatan masyarakatnya yang beragam benar-benar mempraktikkan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat, Mereka hidup berdampingan dalam harmoni meski berbeda agama. Hal ini dirasakan oleh Ustad Abdul Fachrijan Adam, salah satu dari 500 dai yang dikirim oleh Direktorat Penerangan Agama Islam Kementerian Agama untuk berdakwah di Desa Banga, Kecamatan Rembon, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Ustad Abdul mengaku tidak tahu apakah bimbingan moderasi bergama sudah dilakukan di Tana Toraja atau belum. Namun yang pasti, masyarakat di sana sangat mempraktikkan dan mengimplementasikan moderasi beragama.
“Saya bersyukur berdakwah di sini karena saya melihat sikap toleransi yang dipraktikkan oleh masyarakat Tana Toraja,” katanya, Sabtu (30/3/2024) lalu.
Ia menuturkan, masyarakat di sana menyambut baik kedatangannya. Bahkan mereka menyediakan tempat tinggal dan konsumsi untuk sahur dan berbuka. Berdasarkan pengakuannya, kedatangannya tidak menjadi pengganggu, tetapi justru menjadi penghangat antara warga yang Muslim dan non-Muslim.
“Teman-teman non-Muslim juga menyambut kami. Kami sering saling bersapa karena ada banyak masyarakat non-Muslim di depan, belakang, dan samping kami. Itu tidak menghalangi kami untuk akrab dan saling sapa,” ungkap mahasiswa di Ma’had Aly As’adiyah Sengkang ini.
Non-Muslim Ikut Takziah
Ustad Abdul menceritakan, suatu waktu ia mendapatkan undangan dari warga untuk menghadiri takziah. Di sana ia menemukan bahwa yang hadir dalam takziah itu bukan hanya orang Islam, tetapi juga orang non-Islam. Menurutnya, itu adalah bentuk nyata dari toleransi karena masyarakat yang beragam bisa berbagi duka dan saling menghibur.
“Saudara-saudara non-Muslim ikut datang menghibur, duduk bersama, makan bareng bersama, dan menyimak hikmah tausiah takziah yang disampaikan,” urainya.
Kepala KUA setempat yang menjadi penceramah di acara takziah itu, lanjutnya, menyampaikan materi tentang bekal-bekal yang harus dipersiapkan sebelum seseorang menghadap kematian dan nasihat sabar bagi keluarga almarhum. Di awal sesi pembawa acara, pembaca ayat suci Al-Qur’an, dan penceramah tidak hanya menyampaikan salam secara islami, tetapi juga mengucapkan salam secara kristiani.
“Ini membuktikan bahwa para penceramah dan orang sekitar sangat menghormati masyarakat dan saudara non-Muslim yang duduk bareng dengan kita,” imbuhnya.
Ia menyebut, dakwah di Tana Toraja tidak menghadapi tantangan yang berat karena warga non-Muslim sangat terbuka, tidak terganggu dengan proses dakwah, dan tidak terganggu dengan segala proses ibadah seperti salat tarawih. Ia mengaku kagum dengan masyarakat non-Muslim di sana yang toleran dan tidak memaksakan kehendaknya ketika ada kerabatnya yang memutuskan masuk Islam.
Ia berharap, apa yang terjadi di Tana Toraja bisa menjadi inspirasi bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Bahwa perbedaan itu sangat indah, toleransi dan moderasi beragama tidak hanya diperbincangkan saja, tetapi juga diamalkan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Yang meninggal itu adalah mualaf. Beberapa keluarga jauhnya yang non-Muslim ikut hadir di acara takziah. Mereka sangat terbuka dan tidak terlalu memaksakan. Mungkin sudah ada diskusi di internal keluarga sehingga responsnya tidak terlalu membawa konflik yang terlalu besar,” ungkapnya.
Membimbing Mualaf
Ustad Abdul mengatakan, daerah-daerah minoritas Muslim seperti Tana Toraja membutuhkan kehadiran dai karena di sana ada banyak mualaf yang membutuhkan bimbingan baik terkait ajaran dasar Islam rukun iman, rukun Islam, maupun terkait tata cara beribadah seperti cara salat, berwudhu, baca-tulis Al-Qur’an, dan lainnya.
Ia menambahkan, para dai juga perlu membuka komunikasi, forum diskusi, atau kajian bersama masyarakat tentang persoalan-persoalan ibadah. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang ajaran dasar Islam.
“Terkadang saudara yang mualaf masih bingung dengan tata cara wudhu yang benar, puasa dan hal-hal yang membatalkannya, dan lainnya,” jelasnya.
Oleh karena itu, ia berharap program Dai 3T Kemenag bisa terus ada di tahun-tahun berikutnya agar dakwah di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar semakin semarak dan umat Islam di sana mendapatkan layanan keagamaan yang memadai.