Ada peribahasa Indonesia yang menyebut “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung tinggi.” Peribahasa itu muncul karena adat-istiadat masyarakat Indonesia begitu majemuk. Seseorang sudah sepatutnya menghormati adat yang berlaku di mana ia tinggal. Pepatah ini bisa menjadi pegangan para dai, terutama saat mereka menyampaikan dakwah di wilayah seperti Papua.

Ustadz Musyawir adalah salah satu dari 500 dai yang dikirim oleh Direktorat Penerangan Agama Islam Kementerian Agama untuk berdakwah di Wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) Indonesia. Ia ditempatkan di Kelurahan Kroy, Distrik Kaimana, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat.

Ia menceritakan, Papua punya karakteristik tersendiri sehingga perlu para dai perlu menerapkan strategi khusus ketika berdakwah di sana. Yaitu berbaur langsung dengan masyarakat setempat, tidak menonjolkan pakaian yang lebih bagus dari mereka, bergaul dengan tidak memperlihatkan rasa jijik karena kebiasaannya kotor, memberikan pengajaran jika mereka tidak tahu, memberikan nasihat yang bijak ketika mereka salah, dan mengajarkan kebersihan ketika mereka kotor. 

Kisah Dai 3T di Papua - Kemenag

Menurut Pengajar di MA Ihya Ulumuddin Kaimana ini, ketika dai berpenampilan dan bersikap seperti dai-dai yang ada di kota, masyarakat Papua justru akan merasa tidak pantas bergaul dengan mereka. Pada akhirnya, mereka akan semakin menjauh dari dakwah Islam

“Ikuti arus tapi jangan terbawa arus. Ikuti kebiasaannya yang tidak melanggar syariat, dan mengingakan di saat melakukan kesalahan,” kata Ustadz Musyawir baru-baru ini.

Kabupaten Kaimana memiliki wilayah yang luas. Tidak ada akses jalan darat antara satu distrik dengan distrik yang, dan antara distrik dengan kota, apalagi antar kampung. Semua jalur transportasi melalui akses laut dan sungai. Persentase penduduk Kabupaten Kaimana yang non-Muslim dengan yang Muslim hampir seimbang; 53% non-Muslim dan 47% Muslim. Rata-rata mereka bekerja sebagai nelayan. Sebagian yang lain berkebun kelapa dan pala. Masyarakat Kaimana cukup plural karena di sana ada 8 suku adat dan budaya.

Berdakwah dengan Baju Basah

Ustadz Musyawir diminta untuk mengisi dialog interaktif yang diselenggarakan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Kaimana secara rutin selama bulan Ramadan. Ia berdakwah di pinggir kota, sementara RRI Kaimana bertempat di kota. Biasanya ia mengendarai sepeda motor untuk menuju ke lokasi siaran. Suatu hari ia kehujanan dan tidak ada tempat bertedu sehingga pakaian yang dipakainya basah.

“Tidak ada pakaian ganti, sehingga dengan pakaian yang basah itu kami pakai menyiar di studio RRI Kaimana,” ucap Pembina Majelis Taklim Darul Muhibbiin Kaimana ini.

Ia menambahkan, berdakwah di Papua, terutama Kaimana, tidak mudah karena taruhannya adalah nyawa. Seorang dai harus melewati lautan lepas dengan gelombang besar dan angin yang kencang yang selalu mengintai di setiap perjalanan ketika hendak berdakwah di kampung-kampung Muslim. Di samping itu, dai juga harus siap berkorban materi yang besar karena biaya perjalanan dakwah ke lokasi-lokasi terpencil tidak murah.

Ustadz Musyawir mengaku melakukan sejumlah pembinaan keagamaan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat setempat. Di antaranya mengaji, tahsin qiraah, praktik wudu, praktik memandikan, mengafani dan menshalati jenazah, dan lain sebagainya.

“Dalam berdakwah sudah tentu ada tantangan dan rintangannya, maka sudah tentu jalan yang terbaik di tempuh ialah bersabar. Melaluinya di sisi lain mencarikan solusi agar tidak berkepanjangan,” ucap anggota Komisi Fatwa MUI Kaimana ini.

Kisah Dai 3T di Papua - Kemenag
Mengajarkan tata cara shalat jenazah kepada para siswa.

Menyenangkan dan Menantang

Ustadz Musyawir berpandangan, berdakwah di daerah 3T  sangat menyenangkan dan sekaligus menantang. Menurutnya, itu mengingatkannya dengan perjuangan Nabi Muhammad yang mengalami banyak kesulitan dan risiko saat menyampaikan dakwah.

Ke depan, Pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kaimana ini berharap, program pengiriman dai tidak hanya dilakukan selama sebulan saja agar dai bisa melakukan pembinaan secara maksimal, para dai lokal dibekali dengan buku-buku panduan, dan anak-anak di wilayah 3T dibina oleh Kemenag.

“Agar ke depan kembali mengembangkan dakwah di negrinya sendiri,” tukasnya.*