Pondok Pesantren Al-Anwar didirikan oleh KH Maimoen Zubair pada tahun 1967 yang berlokasi di Desa karang Mangu, Sarang, Rembang. Sang pendiri telah berpulang pada 6 Agustus 2019. Pesantren ini kini memiliki ribuan santri ini kini menjadi salah satu rujukan untuk mencetak santri yang ahli di bidang fiqih, tafsir, Al-Qur’an, dan lain-lain.
Di balik berdirinya Pesantren Al-Anwar, dalam sejarahnya terdapat sebuah kisah menarik yang jarang diketahui oleh khalayak umum. Kisah itu bermula dari bisikan misterius yang dialami oleh KH Imam Yahya Mahrus, hingga dipertemukanya beliau dengan Mbah Zubair, ayahanda KH Maimoen Zubari. Berikut Kisahnya.
KH Imam Yahya Mahrus merupakan putra pertama dari KH Mahrus Ali, salah satu kiai terkemuka pada masanya. Gus Imam, begitu beliau akrab disapa, lahir pada 1 Agustus 1949, di tengah suasana negara sedang menghadapi agresi militer Belanda.
Sebagai putra pertama, beliau sadar dan mengetahui betul tanggung jawab yang akan diembannya kelak. Tentu saja meneruskan estafet Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Dalam perjalanannya menimba ilmu, terdapat kisah menarik dari Gus Imam, yang mana ternya ia sebagai santri pertama KH Maimoen Zubair.“Ya, gara-gara Gus Imam ini saya menjadi kiai,” begitu pengakuan Mbah Moen kepada ribuan santri pada acara akhirussanah Pesantren Lirboyo pada tahun 2017 silam.
Pada suatu Jumat di tahun 1967, Gus Imam hendak pergi ke Surabaya. Ketika di perjalanan tepatnya di daerah Trowulan, Mojokerto, Gus Imam mendapat semacam bisikan gaib, “Mondoklah pada hari Ahad, jangan bilang siapa-siapa”. Bisikan gaib ini membuat Gus Imam merasa pusing dan gelisah, bahkan terus terngiang dalam pikirannya.
Karena terobsesi oleh bisikan yang mengatakan “jangan bilang siapa-siapa”, lalu Gus Imam pada Ahad berangkat ke Sarang Rembang menaiki bus tanpa pamitan kepada siapapun. Bahkan, saat itu ia berangkat tidak memiliki bekal uang dan hanya bermodal tekad.
Setibanya di Rembang, tiba-tiba Gus Imam disambut oleh Kiai Zubair. Ini merupakan sebuah pertemuan istimewa, seolah telah ada yang ‘merencankan’.
“Siapa ini?” tanya Mbah Zubair.
“Saya dari Lirboyo, Putra Kiai Mahrus,” jawab Gus Imam.
Lalu Mbah Zubair manggut-manggut, seolah beliau paham siapa Gus Imam ini. Hal itu dikarenakan Putra Mbah Zubair yaitu KH Maimoen Zubair mondok di Lirboyo, sehingga menjadikan Mbah Zubair akrab dengan Mbah Mahrus. Bisa dikatakan hubungan antara Kiai dan Wali Santri.
“Oh, ya sudah, pergi sana menemui Kiai Maimoen.” Begitu perintah Mbah Zubair.
Karena berangkatnya Gus Imam ini tidak pamitan, hal itu membuat keluarga besar Lirboyo bingung. Bahkan, Mbah Mahrus mencari putranya ini hingga ke daerah Indramayu, tempat kelahiran sang kakek (Mbah Ali). Akhirnya tiga bulan kemudian Gus Imam baru diketahui jika beliau nyantri ke Mbah Moen.
Perintah Mbah Zubair kepada Gus Imam untuk menemui KH Maimoen Zubair inilah menjadi titik awal sejarah Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang berdiri. Pada awal-awal Gus Imam mengaji kepada KH Maimoen Zubair adalah kitab Ibnu ‘Aqil, syarakh (penjelasan) kitab Alfiyah yang fenomenal.
Setelah Gus Imam menjadi santri pertama KH Maimoen Zubari, lalu disusun 2 santri baru yang dikemudian hari dikenal bernama Mbah Baidowi (Lasem) dan Gus Fahim (Jember). Hanya saja, yang sampai khatam menamatkan kitab Ibnu ‘Aqil hanya Gus Imam Saja.
Lambat laun jumlah santri Pesantren Al-Anwar mengalami peningkatan. Maka, tiga santri senior ini dijadikan pengurus untuk membantu Mbah Moen dalam menjalankan roda kegiatan pesantren.
Setelah dirasa cukup, pada 1970 Gus Imam kembali ke Lirboyo. Tidak lama berselang beliau melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke Makkah. Sepulang belajar di Tanah Suci, pada tahun 1988 sang ayahanda KH Mahrus Ali wafat.
Gus Imam melanjutkan mendirikan pesantren dengan nama yang dinisbatkan kepada ayahandanya, yaitu Pondok Pesantren HM Al-Mahrusiyah. Pesantren ini menjadi salah satu unit Lirboyo yang terdapat sekolah formalnya. Al-Mahrusiyah kini telah memiliki ribuan santri, menjadi salah satu pesantren dengan jumlah santri terbanyak di Indonesia.
Hubungan antara Lirboyo dan Sarang sampai sekarang ini terus berjalan erat, bahkan sampai menghubungkan darah nasab. Dari hubungan ilmu, dahulu KH Maimoen Zubair mondok di Lirboyo. Setelah lulus dari Lirboyo, Mbah Moen mendirikan pesantren, hal itu lalu putra keluarga Lirboyo bergantian mondok ke Sarang, yakni Gus Imam atau KH Imam Yahya Mahrus.
Bilamana sebelumnya hubungan kiai dan santri, selanjutnya hubungan Lirboyo dan Sarang hingga ke tali nasab, yakni menjadi besan. Putra KH Maimoen Zubair yaitu Gus Abdurrauf MZ menikah dengan Ning Etna Iyana Miskiyah, putri KH Imam Yahya Mahrus.
Demikian kisah menarik dari Gus Imam yang merupakan santri pertama dari KH Maimoen Zubair, pendiri pesantren Al-Anwar, Sarang. Semoga kita bisa memetik hikmah dari kisah tersebut.