“Yatim”, satu kata dalam Al-Qur’an yang begitu disorot dan amat berarti. Sosok yang bagaimana memperlakukannya menjadi indikator orang yang mendustakan Agama (hari kemudian) atau tidak. “Tahukah kalian siapa yang mendustakan agama? Mereka yang yadu’ul-yatim.” (Q.S Al-Ma’un: 3). Frase ayat itu sering diartikan dengan “menghardik anak yatim” sebagaimana dalam Al-Qur’an terjemahan Depag misalnya.
“Yadu’u” yang artinya menghardik itu menurut pandangan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah (h. 107) bermakna “mendorong dengan keras”. Menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir hal itu disandarkan sebagaimana surat At-Thuur ayat 13.
Hanya saja, yang perlu digarisbawahi, pengertian “mendorong dengan keras” itu tak terbatas pada dorongan fisik belaka. Namun, bisa menyentuh seluruh aspek lain yang pada intinya mengakibatkan penganiayaan, gangguan, atau sikap tak bersahabat yang menekan psikis mereka.
Selanjutnya kata yatim atau yatam, bila merujuk Al-Qur’an selalu bersentuhan dengan “anak yatim—seorang yang tidak memiliki ayah.” Yatim nyatanya terambil dari kata yutm yang bermakna “kesendirian” maka lebih lanjut Quraish Shihab mencontohkan sebagai: permata yang sangat indah dan tak memiliki tandingan dinamakan—ad-durrah al-yatimah.
Syahdan, bila merujuk pemaknaan itu, yatim adalah hidup sendirian tanpa ada yang menanggung, dan ia belum—atau—tidak bisa mencari maisyah (penghidupan) yang layak sendiri. Quraish Shihab berpendapat kematian ayah bagi anak yang belum dewasa itulah yang menyebabkan kehilangan sosok pelindung—ia seakan sendirian, sebatang kara, karena itulah dinamakan yatim.
Pemaknaan itu bisa diperluas lagi menjadi anak yang belum dewasa, ditinggal ayah atau bahkan ibunya atau seorang “piatu,” serta para kerabatnya pun tak mampu untuk menghidupi. Lebih lanjut, bahkan bisa juga “yatam” merupakan janda tua yang hidup tak punya sandaran siapa pun kecuali benar-benar berserah diri pada Tuhan. Para yatam itulah yang dinikahi Rasulullah Saw sesuai konteks ayat yang seringkali dipakai legitimasi untuk memadu istri oleh para ustad ‘sunnah’ itu (lihat Surat An-Nisa: 3).
Berkenaan mengenai yatim kadang masyarakat seakan acuh memperhatikan mereka. Namun sontak seketika “dibangunkan” dari tidur panjang dengan momen tertentu: Ramadhan, Muharram dan lain-lain misal—sebagai bulan-bulan yang diyakini memiliki keutamaan bila menyantuni anak yatim. Hanya saja gerakan ini tak memiliki kontinuitas berarti.
Selain itu, ditemukan bermunculan gerakan lembaga-lembaga ‘penggalang dana umat’ untuk menyalurkan hak para yatim namun melupakan esensi makna sesungguhnya yadu’u al-yatim. Berbondong-bondong kaum aghniya memberi santunan pada “anak yatim”. Tujuannya demi mendapatkan ganjaran dan berusaha menjauhi ancaman Al-Qur’an sebagai pendusta Agama namun secara psikis tidak memiliki dampak berarti untuk menghibur atau memperbaiki kehidupannya.
Dalam kitab Durratun Nashihin, suatu hari pada saat ‘Idul Fitri, Rasulullah keluar rumah dan mendapati anak-anak yang sedang bermain, hati beliau pun riang gembira. Tiba-tiba Nabi Saw. Melihat di satu sudut tertentu seorang anak kecil sedang menangis. Seketika Rasul menghampiri bocah itu dan bertanya, “Ma yubkika ayyuhas-shoby; apa gerangan yang membuatmu menangis wahai anakku?”
Bocah itu sepertinya tak mengenali wajah Rasulullah Saw. Ia menjawab, “Da’ni ayyuhar-rajul; biarkan aku, Tuan. Karena bapakku wafat dalam peperangan bersama Rasulullah, dan ibuku menikah lagi, lalu mengambil rumahku dan memakai hartaku, maka menjadi anak seperti yang tuan lihat inilah aku sekarang. Telanjang, lapar, merintih, lemas dan lunglai. Tatkala hari raya tiba, aku saksikan anak-anak bermain, hatiku bertambah hancur remuk, aku tak kuat menahan tangis.”
Rasulullah air matanya berlinang, kemudian bertanya, “Maukah engkau bila aku menjadi bapakmu, Aisyah menjadi ibumu, Fathimah menjadi kakakmu, Ali menjadi pamanmu, dan Hasan juga Husein sebagai saudaramu?”
Bocah itu tersentak, seketika orang di depannya ternyata Rasulullah Saw. “Kaifa la ardha ya Rasulullah; Bagaimana bisa saya tidak mau Rasulullah?” Lalu Rasulullah Saw membawanya ke rumah, diberinya makan sampai kenyang, diberikannya pakaian baru. Lalu diberikan kepadanya pula pelukan hangat satu keluarga surga. Selepas itu, bocah itu berlari ke luar rumah bergabung dengan anak-anak yang sedang bermain.
“Bagaimana bisa engkau begitu gembira sekarang padahal tadi engkau begitu sangat bersedih?” tanya seorang bocah. Anak yang dibawa sebagai putra oleh Rasulullah itu sekarang berkata, “Bagaimana tidak bahagia? Tadi aku telanjang sekarang berpakaian bagus, tadi aku lapar sekarang aku kenyang, tadi aku menangis sekarang gembira, tadi aku tak memiliki Bapak sekarang Rasulullah adalah bapakku, Aisyah adalah ibuku, Fatimah adalah kakakku, Ali adalah pamanku, Hasan dan Husein adalah saudaraku.” Anak-anak yang asyik bermain itu lalu berkata, “Duhai engkau ayah-ayah kami, mereka syahid bersama Rasulullah di medan perang.”
Cuplikan hadis di atas memaksa diri untuk sama-sama berintrospeksi. Meraba dada dan merenung, apakah perlakuan terhadap anak yatim sudah sedemikian seperti dicontohkan Rasulullah?
Syahdan, beginilah risalah suci yang dibawa oleh Rasulullah Saw, seorang yang sungguh menjadi suri tauladan untuk menyempurnakan akhlak, memiliki jiwa pengasih, pengayom, pemelihara dan pendidik kaum yatam. Sungguh laknat tak terkira bagi orang-orang saat ini yang hanya “memanfaatkan” para yatam untuk tujuan profit atau bahkan hanya sekadar pamer kebajikan. Wallahu A’lam