Islam telah melahirkan seorang tokoh terkenal dan memiliki pikiran-pikiran berlian mengenai sejarah, sosiologi, politik dan filsafat. Tokoh itu adalah Abu Zaid Abdurrahman ibnu Muhammad ibnu Khaldun Waliyuddin Al-Tubisi Al-Handrami. Ia dikenal dengan sebutan Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun lahir pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M di Tunisia. Pemikiran dan ide-idenya mampu menjelaskan fenomena-fenomena sosial secara kritis dan sistematis. Dalam pencarian ilmu pengetahuan didasari pada penggunaan panca indra, untuk mengetahui fenomena-fenomena sosial, politik, maupun alam yang terjadi di sekitar.
Perjalanan hidup Ibnu Khaldun begitu kaya dengan pengalaman, terutama di bidang politik yang sudah membentuk kepribadian dan intelektualnya. Pada masa muda, ia berangkat menunaikan ibadah haji sekaligus melanjutkan perjalanan ke Kairo, yang pada waktu itu menjadi pusat peradaban ilmu pengetahuan.
Di sinilah Ibnu Khaldun mempertajam wawasan pengetahuannya. Karena kepandaian dan kecerdasan Ibnu Khaldun, kemudian ia diangkat menjadi dosen dalam bidang kajian fikih madzhab Malikiyah di lembaga pendidikan Qamhiyah.
Ibnu Khaldun memiliki pandangan mengenai bentuk dan model negara. Pandangannya itu menitiktekankan lebih mengkerucut pada fenomena kekuasaan dan penggunaan kekuasaan. Hal tersebut berangkat dari kehidupan Ibnu Khaldun yang mengalami goncangan besar. Salah satunya yakni keterpurukan dan lebih-lebih kehancuran peradaban Islam waktu itu.
Ibnu Khaldun melihat dan menyaksikan suatu kekalahan politik Islam yang dibangun sejak awal. Waktu itu para elit penguasa sibuk mempertahankan kekuasaan, tetapi lupa melakukan pembinaan dan didikan pada umat.
Selama ini umat Islam telah nyaman dengan sistem yang dibangun, yaitu kekuasaan yang sifatnya turun-temurun. Dalam pengamatan dan pembacaan terhadap pandangan pendahulunya, Ibnu Khaldun berasumsi bahwa kekuasaan mempunya siklus yang perlu diperhatikan secara seksama. Di mana manusia merupakan makhluk politik ataupun sosial yang mempunyai kecendrungan untuk hidup secara kelompok.
Manusia juga tidak akan lepas dari yang namanya kehidupan, termasuk sebuah negara. Bahkan, peradaban sekalipun mengalami suatu perubahan yang terus berputar mengikuti arah zaman. Yang mana dari lahir, tumbuh berkembang, berlajut ke fase dewasa, tidak hanya berhenti di situ, stagnan, tua/menurun dan kemudian mati atau hancur. Inilah makna dari peradaban manusia ataupun negara bagi Ibnu Khaldun.
Negara sebagai representasi dari kepentingan umum sangat berbeda dengan kepentingan individu yang sering mengutamakan kepentingan pribadi atau ruang lingkup sempit. Bagi Hegel, negara harus memperjuangkan kepentingan yang lebih besar, yaitu mewujudkan ide besar yang menjadi tujuan dari sejarah manusia.
Pemikiran Hegel mengenai negara hanya dilihat dari fungsi dan peran negara yang justru harus berada di setiap kepentingan umum. Tentu saja, bukan hanya kelompok dan kelas sosial tertentu, seperti dalam persepsi marxis (Syaifuddin Jurdi, 2008: 110).
Ibnu Khaldun juga berpandangan bahwa selain apa yang dikatakan oleh Hegel, negara mempunyai berbagai fungsi dan peran. Menurutnya, negara juga harus mempunyai kekuatan solidaritas (ashabiyyah) seluruh kelompok dan suku yang ada dalam suatu negara.
Tujuannya yakni supaya negara menjadi kuat dan kokoh. Menurut Ibnu Khaldun ashabiyyah membentuk suatu identitas kelompok yang mempunyai arti rasa solidaritas, kesetiaan kelompok, esprit de crops, dan nasionalisme (Azra, 2005: 414).
Negara menurut Ibnu Khaldun adalah suatu makhluk hidup yang lahir, mekar menjadi tua dan akhirnya akan hancur. Setidaknya dalam pengamatannya, negara mempunyai umur layaknya makhluk lain sekitar 120 tahun atau bertahan hidup hanya dalam jangka tiga generasi.
Generasi pertama hidup dalam keadaan primitif, jauh dari kemewahan duniawi dan kehidupan kota yang serba maju.
Generasi kedua, sudah berhasil meraih kehidupan mewah. Artinya, membentuk sebuah negara dan bergelimang kekuasaan, melangkah dari masyarakat primitif ke masyarakat maju (kota).
Sedangkan generasi ketiga, puncak dari perjalanan jauh, mengakibatkan suatu kehancuran karena generasi ini tergiur dengan kemewahan kekuasaan, penakut, dan kehilangan kehormatan.
Kekuasaan dan politik (negara) bagi Ibnu Khaldun memiliki tujuan yang substansial. Maka, sudah seharusnya diprioritaskan pada kemaslahatan manusia. Sebagaimana tujuan dari penciptaan manusia sebagai hamba dari Tuhan, kemudian diutus ke bumi untuk menjadi khalifah.
Maksud khalifah di sini yaitu mengemban amanah yang besar dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Maka dari itu, bagi Ibnu Khaldun untuk mencapai suatu negara yang ideal harus memenuhi beberapa tahapan.
Konsep negara yang ideal bagi Ibnu Khaldun adalah ketika mampu menciptakan tatanan interaksi sosial antara warga yang mempunyai satu visi dalam memandang komunitasnya sebagai bagian dari sistem negara.
Inilah yang dikatakan sebagai kekuatan solidaritas golongan (ashabiyyah). Yang mana ketika kekuatan solidaritas dari berbagai elemen masyarakat sudah terpenuhi, maka akan mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan interaksi antar kelompok akan terjalin sebagaimana mestinya.
Selain itu, dalam mengartikan ashabiyyah berdasarkan nasab, Ibnu Khaldun memperlebar pengertian ashabiyyah. Ia menjelaskan hubungan antar kelompok manusia yang memiliki kesatuan tujuan bernegara. Sedangkan negara ideal dalam kacamata sosiologi yaitu lingkungan sehat, udara, air maupun tata letak bangunan yang ada di dalamnya.
Secara geografis terletak pada tempat yang sangat strategis serta menjadi jalur perdagangan dan perkembangan kebudayaan. Terciptanya solidaritas yang kental antara ikatan suku, agama, bahasa, maupun wilayah. Bahkan, terletak pada geografis yang begitu subur dan kaya akan hasil bumi (Ibnu Khaldun, 1986: 401-405).
Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang konsep negara ideal dalam Islam. Lalu bagaimana dengan negara Indonesia? Sudahkah menjadi negara ideal? Mari kita jawab bersama dengan nilai dan perilaku sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Khaldun. Wallahu a’lam.