Berbeda dengan kaidah sebelumnya, kaidah kedua ini menempatkan universalitas teks ke dalam posisi superior mengungguli realitas sejarah. Sementara, konteks sejarah pengalaman manusia ditempatkan dalam posisi yang inferior.
Pada gilirannya, memberlakukan secara umum kaidah kedua ini tanpa berani memberlakukan kaidah pertama akan merobohkan bangunan sabab al-Wurud yang telah dibangun dengan susah payah menjadi epistemologi hukum. Sementara itu, berlebihan mengaplikasikan kaidah kedua berbahaya terhadap jangkaun dan “ruang kerja” al-Sunnah.
Dalam bunyi hadis, kata “Lan yufliha qaumun….” digunakan wallaw yang maknanya menyerahkan, mallaku yang berarti mengangkat menjadi ratu atau raja dan istakhlafu yang artinya adalah mengangkat menjadikan khalifah. Ketiga makna tersebut memiliki makna dan maksud yang sama yaitu, menyerahkan secara total, memberikan wewenang mutlak.
Dalam artian, seorang perempuan dijadikan sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan dan otoritas penuh dalam menentukan kebijakan. Pemahaman ini diambil dari konteks sabab al-Wurud hadis tersebut, yang turun dalam kaitannya dengan sistem kerajaan yang memberlakukan kebijakan tunggal, berbeda dengan sistem di Indonesia yang menganut sistem demokrasi dan trias politika.
Pemahaman di atas, didukung oleh pemahaman kompromi antara dua hadis yang sangat terkenal. Pertama, yang masyhur yang berbunyi:
Dari Abu Bakrah: dia berkata: Sungguh Allah telah menganugerahi keberkahan bagiku dengan sebuah kalimat yang aku pernah dengar dari beliau. Setelah aku hampir saja bergabung dengan peperangan Jamal dan aku akan memerangi mereka. Kalimat itu adalah, “ketika Rasulullah menerima informasi tentang suksesi kepemimpinan kerajaan Persia yang mengangkat putri Kisra sebagai ratu, Nabi bersabda: Tidak akan bahagia kaum yang menyerahkan urusannya pada seorang perempuan”.
Kedua adalah hadis lain yang berbunyi:
“Dari Abu Bakrah, dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda: “Tidak berbahagia seorang kaum yang menyerahkan urusannya pada perempuan”.
Jadi, yang dimaksud dalam hadis adalah “menyerahkan secara penuh”, perempuan memiliki otoritas penuh, otoritas tunggal. Sementara dalam konteks hari ini di mana demokrasi menjadi jalan yang dipilih maka tidak tepat menerapkan pemahaman hadis tersebut.
Dalam negara demokrasi, seorang pemimpin tidak memiliki kekuatan penuh, kekuasaanya dibatasi dengan sistem politik, seperti konsep trias politika, eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Di negara ini, gubernur atau presiden tidak memiliki wewenang penuh, ia masih terikat dengan lembaga-lembaga lain bahkan presiden hanya melakukan kebijakan sesuai dengan GBHN.
Menurut Prof. Abu Yasid, seorang guru besar filsafat Hukum Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, hadis tentang pelarangan perempuan termasuk beberapa hadis yang perlu dikritisi muatan syariatnya. Menurutnya, ada beberapa hadis yang perlu diapresiasi ulang kandungan syariatnya sesuai tujuan asasi ia disabdakan. Salah satunya adalah soal pelarangan kepemimpinan perempuan.
Dari hadis Abu Bakrah itu, lanjut dosen Ma’had Aly Situbondo itu, fuqaha abad kedua hijriyah cenderung mengharamkan perempuan menjadi pemimpin. Kenyataan itu dimaklumi karena mekanisme kepemimpinan pada waktu mirip dengan kondisi kerajaan di Persia di mana hadis disabdakan.
Selanjutnya kondisi berbeda secara diametral dengan kondisi di mana ada perkembangan masyarakat dan ilmu ketatanegaraan, kira-kira mulai abad pertengahan ketika Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah runtuh, dan puncaknya ketika bubarnya kekhilafahan Turki Usmani pada abad 19 Masehi. Pasca fase itu, terjadi pergeseran secara besar-besaran dalam konsep kepemimpinan di dunia modern, termasuk di dunia Islam.
Dalam sistem kekhilafahan para era al-Khulafa’ al-Rasyidun, masa-masa awal dan kerajaan (mamlakah) pada masa pertengahan, figur seorang khilafah dan raja sangat sentral dalam roda pemerintahan. Berdasarkan alasan itulah, kepemimpinan perempuan menjadi salah satu hal yang dilarang dalam produk-produk fikih.
Berbeda dengan pada masa-masa sesudah itu, model pemerintahan yang dikembangkan mulai bergeser pada sistem demokrasi seiring dengan perkembangan masyarakat. Sistem kepemimpinan yang mengedepankan demokritisasi, personifikasi pemimpin tidak lagi dominan. Berangkat dari sini, kandungan hadis tentang pelarangan perempuan menjadi pemimpin perlu ditinjau ulang secara kontestual dan sesuai dengan samangat zaman.
Ditinjau dari kajian ushul fiqh, tepatnya dengan teori al-Qawaid al-Usuliyah al-Lughawiyah, sebenarnya teks hadis tersebut yang mengharamkan perempuan menjadi pemimpin sebenarnya tak cukup syarat untuk masuk kategori haram. Sebab dalam kitab-kitab ushul fiqh, sebuah perkara dikategorikan haram jika memenuhi beberapa berikut.
Pertama, secara redaksional teks tersebut menggunakan kata haram. Kedua, teks berbunyi larangan yang berisikan nahi. Ketiga, teks pelarangan diiringi ancaman dan sanksi (uqubah). Keempat, menggunakan lafaz yang secara gramatikal bahasa Arab bersifat tuntutan yang harus dilaksanakan.
Dalam hadis redaksi yang digunakan adalah lafaz “lan yufliha..” yang maknanya adalah tidak akan bahagia. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan kebahagiaan itu: jika yang dimaksud adalah kebahagiaan akhirat, maka perempuan tidak boleh menjadi pemimpin agung (al-Imamah al-Kubra) atau kepala negara.
Sementara jika yang dimaksud adalah kebahagiaan dunia maka tidak sampai pada tingkatan dosa bagi perempuan yang menjadi pemimpin publik, artinya perempuan sah-sah saja menjadi pemimpin negara asalkan memenuhi syarat yang lain yani kemampuan (al-Quwwah) dan integritas (al-Amanah).
Pelarangan kepemimpinan publik perempuan berdasarkan hadis dari Abu Bakrah itu perlu ditinjau ulang. Pertama, hadis itu berlaku khusus sesuai dengan sabab al-Wurudnya berlaku khusus yakni dalam kasus kepemimpinan dan pola pemerintahan di mana kekuasaan berada dalam wewenang penuh seorang raja seperti dalam kasus kepemimpinan Kisra di masa lalu. Sehingga tidak bisa diberlakukan umum dalam berbagai keadaan dan kesempatan.
Kedua, dalam konteks negara demokrasi seperti di Indonesia pelarangan kepemimpinan perempuan sebagaimana alasan di atas adalah tidak tepat sebab dalam negara demokrasi seorang pemimpin kebijakannya dibatasi dengan beberapa elemen pemerintahan yang lain seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. []