Dalam tulisan sebelumnya dengan tokoh yang sama, yaitu Ratu Kalinyamat paparan lebih banyak pada prestasi kepemimpinan Ratu Kalinyamat. Tetapi, rasanya kurang adil jika melihat sosok sang pemimpin Jepara pada abad ke-16 tersebut hanya dari dimensi kepiawaian memimpin semata.
Karena nyatanya ada ekspresi spiritualitas yang banyak dikenal oleh masyarakat umum dengan sebutan Laku Tapa Wuda. Laku tapa wuda seakan menjadi identitas yang melekat dari diri sang ratu yang terkenal sebagai perempuan kaya dan pemberani tersebut.
Menelisik arti dari laku tapa pada dasarnya berasal dari bahasa Jawa yang berarti pertapaan tanpa mengenakan pakaian. Lantas, apa alasan yang menyebabkan Ratu Kalinyamat memutuskan untuk melakukan laku tapa wuda? Dan, bagaimana analisis-analisis yang dipaparkan oleh para akademisi dan para penulis mengenai laku tapa wuda tersebut?
Keputusan untuk melakukan tapa wuda tidak berdiri di ruang kosong. Bermula dari terbunuhnya sang suami Sultan Hadiri yang menyususl sang kakak Sunan Prawata di tangan Arya Penangsang. Dua tragedi tersebut menjadikan Ratu Kalinyamat terpukul.
Di balik kegigihan dan keberaniannya memimpin Jepara, Ratu Kalinyamat tetaplah seorang manusia yang tidak terlepas dari kesedihan dan keterpurukan. Menyikapi kondisi tersebut sang Ratu kemudian memutuskan untuk melakukan pengasingan diri melalui pertapaan.
Secara umum banyak yang menyebut Laku Tapa Wuda Ratu Kalinyamat dengan sebutan tapa wuda sinjang rambut (rikma), atau tapa wuda sinjang rambut sinjang yang berarti bertapa telanjang dengan media rambut sebagai penutup tubuh. Adapun tempat pelaksanaan dari tapa wuda ini dilakukan di perbukitan yang masuk wilayah Donorojo, tepatnya di Dukuh Sonder, Desa Tulakan, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara.
Laku Tapa Wuda yang dilakukan Ratu Kalinyamat menunjukkan kebutuhan umat manusia pada dimensi spiritual. Menilik arti kata spiritual menurut KBBI adalah berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin). Adapun dalam Dictionary Cambridge, spiritual diartikan dengan berbagai hal berkaitan dengan perasaan dan keyakinan mendalam yang berhubungan dengan kepercayaan beragama.
Secara garis besar dari dua pengertian tentang spiritual tersebut bisa ditarik makna bahwa spiritual merupakan bentuk dari perasaan dan keyakinan beragama yang ada dalam diri seseorang dan bersifat kejiwaan, rohani atau kebatinan. Untuk itu Laku Tapa Wuda yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat merupakan bentuk dari ekspresi spiritual atau ekspresi dari keyakinan kebatinan yang dilakukan untuk maksud tertentu.
Dalam konteks masyarakat Indonesia atau Nusantara secara luas karakteristik spiritual masyarakat sebelum datangnya Islam banyak dikenal dengan sebutan animisme maupun dinamisme, serta berbagai kepercayaan beragama seperti Hindu, Budha, Kristen dan sebagainya. Keyakinan-keyakinan tersebut menggambarkan bentuk dari perkembangan spiritual masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu, sampai kemudian Islam datang dan turut mewarnai berbagai eskpresi spiritual di Nusantara.
Berkaitan dengan dinamika keberagamaan masyarakat, seorang ilmuwan sosial Auguste Comte (1798-1857) memotret perkembangan pemikiran umat manusia dalam 3 (tiga) fase. Yaitu teologi, metafisik dam positivistik (Mike Gane,2006:3).
Fase teologi merupakan tahap tertua dari perkembangan pemikiran umat manusia. Tahap ini manusia mempercayai bahwa satu-satunya kekuatan berada di luar dirinya.
Kemudian pada tahap metafisik atau tahap revolusi dan krisis, manusia mulai berpikir bahwa berjalannya hukum alam juga dapat ditemukan dalam akal budi. Artinya akal budi yang ada dalam diri manusia mempunyai kekuatan untuk mengintervensi tatanan alam yang akan berjalan.
Terakhir, fase positivistik disebut juga dengan fase sains yaitu tahap keyakinan tentang kebenaran berdasar pada data empiris. Fase ini menjadikan ukuran kebenaran dari penemuan ilmiah dan jika dapat teruji serta dibuktikan secara nyata dan melalui standar-standar tertentu.
Dari potret tiga fase pemikiran manusia menurut Comte, ekpresi spiritual dari tapa wuda yang dilakukan Ratu Kalinyamat merupakan bagian dari fase metafisik. Yaitu adanya dialog antara akal budi manusia dengan kekuatan alam untuk mengeskpresikan keyakinan serta kepercayaan batin yang ada dalam diri seseorang untuk mencapai tatanan tertentu yang diinginkan.
Dalam konteks Laku Tapa Wuda yang dilakukan Ratu Kalinyamat ada benturan idealitas antara ajaran teologi atau agama dengan ekspresi spiritual yang sang Ratu pilih. Benturan terjadi karena secara kepercayaan Ratu Kalinyamat merupakan keturunan dari penganut ajaran Islam. Secara formal Islam memerintahkan pada perempuan untuk menutup aurat di seluruh tubuh kecuali telapak tangan dan wajah.
Namun, Ratu Kalinyamat justru memilih melakukan pertapaan tanpa busana dan membiarkan rambut terurai sebagai media penutup. Hal ini yang kemudian mengundang kontroversi di mata masyarakat. Kontroversi tapa wuda Ratu tersebut kemudian mendapatkan respon akademik beragam dari berbagai peneliti maupun penulis dengan meyajikan berbagai perspektif dan sudut pandang yang beragam.
Berikut adalah hasil rangkuman yang penulis lakukan dari beberapa karya akademik maupun laporan hasil penelitian yang membahas tentang kontroversi tapa wuda Ratu Kalinyamat:
Dalam sebuah tulisan tapa wuda yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat merupakan bentuk dari upaya untuk meminta keadilan pada Tuhan atas terbunuhnya saudara lelaki dan suaminya di tangan Arya Penangsang. Selain itu, bertapa menurut keyakinan Jawa merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan kekuasaan (Departemen Pendidikan Nasional, 2000:51).
Selanjutnya dalam tulisan Nur Said (2013) disebutkan bahwa kontroversi dari tapa wuda Ratu Kalinyamat memunculkan beberapa pendapat, sebagian masyarakat menganggap karena hal itu bisa mengundang gairah seksual. Kemudian dari pandangan kaum Sufis bahwa tapa wuda merupakan bentuk dari simbol huruf alif yang berarti meninggalkan segala macam urusan dunia termasuk kekuasaan, materi serta jabatan. Telanjang juga dimaknai sebagai media pertobatan dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah sebagai simbol pengosongan diri.
Dari hasil analisisnya kemudian Nur Said (2013) menuturkan bahwa tapa wuda Ratu Kalinyamat menunjukkan bentuk dari penentangan terhadap budaya patriarki yang ada di Jawa saat itu, dan menjadi bagian dari perkembangan tren ekofeminism dalam kajian poskolonial.
Kemudian Kholil Lur Rohman (2015) mengemukakan analisis yang berbeda tentang tapa wuda Ratu Kalinyamat. Bahwa sebagai salah satu keturunan dari Kesultanan Demak Bontoro menurut Rohman seharusnya Ratu Kalinyamat lebih menghadirkan nilai-nilai spiritualitas dan menjunjung tinggi nilai moralitas dalam pertapaan, sehingga tidak diidentikkan dengan mitos dan simbol dari sensualitas-eksotis seksual, birahi dan ambisi seorang perempuan.
Berbagai pendapat tentang hasil kajian akademik yang berhubungan dengan kontroversi eskprsi spiritual tapa wuda Ratu Kalinyamat merupakan kekayaan dari khazanah intelektual yang harus bersama-sama disikapi dengan bijak. Selain itu, ada dimensi positif yang bisa menjadi inspirasi dari laku tapa wuda Ratu Kalinyamat yaitu kegigihannya mempertahankan komitmen atas prinsip kebenaran dan keadilan. Wallahu a’lam.
Gane, Mike. 2006. Auguste Comte (New York: Routledge).
Hayati, Chusnul, dkk. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat Di Jepara Pada Abad Ke XVI (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional).
Rochman, Kholil Lur. 2015. “Spiritualitas-Erotis Ratu Kalinyamat (Menafsir Simbol Kecantikan, Seksualitas dan Birahi Yang Terkait Dengan Mitos Topo Wudho, Wit Jati Bolong Dan Pelacur Keraton Terhadap Pilihan Hidup Pragmatisme-Hedonis Perempuan Jepara)”. JPA, Vol. 16 No. 1, Januari – Juni 2015.
Said, Nur. 2013. “Spiritualisme Ratu Kalinyamat: Kontroversi Tapa Wuda Sinjang Rambut Kanjeng Ratu di Jepara Jawa Tengah”, Jurnal el-Harakah, Volume 15, No 2, Tahun 2013.