Cuaca yang dingin dengan guyuran salju menyambut saya pagi ini di tanah Khurasan. Mendengar Khurasan, ingatan saya langsung kembali ke abad pertengahan di mana Islam sedang menikmati masa keemasannya. Saat itu, ilmu pengetahuan berkembang pesat di wilayah ini. Di samping Bukhara, Samarkhand, Merv, dan Herat, Nishapur adalah salah satu kota utama dan terbesar di Khurasaan waktu itu.
Kota Nishapur atau Naisabur pernah menjadi ibukota Dinasti Seljuk untuk wilayah Khurasan sebelum dipindahkan ke kota Rey. Menyandang status Ibukota, Nishapur tentu menjadi kota besar dan ramai. Kota ini selain menjadi pusat pemerintahan juga menjadi pusat ilmu pengetahuan.
Hal tersebut terbukti dengan banyaknya tokoh yang tumbuh di kota ini. Sebut saja Imam Muslim, Imam Hakim, Imam Haramain, Omar Khayyam, dan Fariduddin Attar adalah sebagian tokoh penting Islam yang lahir di sini.
Memori terhadap masa lalu Nishapur membangkitkan rasa penasaran saya untuk menyaksikan langsung keadaannya saat ini. Dari kota Mashad posisi saya saat itu, kota yang terletak di provinsi Khurasan Rezavi Iran ini berjarak sekitar 126 km dan dapat ditempuh selama dua jam perjalanan dengan menggunakan bus. Ada banyak bus maupun kereta yang secara reguler melayani penumpang Mashad-Nishapur.
Setelah dua jam perjalanan, saya tiba di terminal Nishapur. Sekilas, kota ini nampak tidak terlalu ramai. Jalanan terlihat lengang dan tidak macet seperti kota besar Tehran atau Mashad. Nishapur saat ini sudah berubah menjadi kota kecil yang tidak memperlihatkan kemegahan yang pernah dicapainya.
Jika kita tidak membaca sejarah Nishapur, kita tidak akan menyangka jika kota ini pernah menjadi kota metropolitan. Bahkan, Ibnu Battuta menjulukinya sebagai Little Damascus.
Walaupun demikian, ada beberapa jejak masa lalu yang masih bisa ditelusuri hingga saat ini seperti masjid Jami Nishapur. Masjid ini dibangun tahun 1493 Masehi pada masa dinasti Timurid. Selain masjid, ada juga caravanserai Shah Abbas yang digunakan sebagai tempat istirahat oleh para musafir yang datang ke Nishapur.
Selain itu, di kota ini juga terdapat makam dua tokoh yang sangat dihormati di dunia Islam. Mereka adalah Omar Khayyam dan sang sufi Fariduddin Attar. Makam keduanya berada di dalam komplek yang sama.
Salju yang menyelimuti tanah Nishapur tidak menyurutkan saya untuk tetap menelusuri jejak-jejak kebesaran Islam di sana. Ketika berada di makam Attar, saya berbincang dengan penjaganya. Saya menanyakan keberadaan makam Imam Muslim, seorang ulama hadis pengarang Sahih Muslim. Namun, nampaknya ia tidak mengetahui keberadaannya. Bahkan, nama Imam Muslim pun tidak dikenalnya.
Kemudian, saya memasuki toko buku yang berada di dalam komplek makam Attar. Di sini saya sedikit mendapat informasi tentang Imam Muslim. Dari penuturan penjaga toko, makam Imam Muslim kemungkinan berada di suatu wilayah Nishapur yang dikenal dengan nama Turb Abad.
Wilayah tersebut merupakan kota lama Nishapur yang sekarang hanya tinggal reruntuhannya saja. Ia menunjukkan buku sejarah Nishapur dengan gambar Turb Abad di dalamnya.
Saya pun segera mencari taksi untuk pergi ke ke sana. Daerahnya tak begitu jauh dari makam Attar. Ternyata benar, Turb Abad merupakan kota tua yang sudah tidak berpenghuni. Letaknya berada di tengah-tengah ladang. Setelah berkeliling, saya tidak menemukan makam Imam Muslim yang dimaksud.
Di sana hanya ada reruntuhan bangunan kuno yang telah tertutup oleh tanah. Nampaknya, jejak Imam Muslim sudah hilang ditelan zaman.
Hal ini terjadi karena Nishapur pernah porak poranda oleh serangan pasukan Mongol. Kota yang ramai berubah menjadi puing-puing yang susah untuk dikenali kembali. Selain itu, Nishapur juga pernah diguncang gempa hebat yang meluluhlantahkan bangunan-bangunan yang ada.
Sejak saat itu, kejayaan Nishapur berakhir dan banyak makam tokoh penting serta situs sejarah di kota itu yang terputus jejaknya. Nishapur tidak pernah bangkit lagi dan sekarang hanya menjadi kota kecil yang sepi.
Nishapur mengajarkan satu hal bahwa kejayaan tidak akan abadi. Akan ada masanya dimana suatu kota mengalami kemunduran yang tidak bisa dielakkan. Kita sudah mengetahui bahwa dulu pusat ilmu pengetahuan berada di Baghdad, Kairo, Bukhara, Samarkand, dan Nishapur.
Namun, sekarang dengan berjalannya waktu, pusat itu berpindah ke London, Paris, Berlin, dan kota besar dunia lainnya. Tidak menutup kemungkinan jika suatu saat kota-kota tersebut mengalami kemunduran juga dan muncul kota-kota lain yang menandingi dan mengalahkan kebesarannya.