Jakarta – Menteri Agama Periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, Kampung Moderasi Beragama seharusnya jangan menyeragamkan yang berbeda, tetapi menyikapi keragaman dengan kearifan.
Menurutnya, dalam ajaran Islam, Allah menciptakan manusia dengan segala perbedaannya, baik dari sisi jenis kelamin, suku, maupun bangsa, agar mereka saling mengenal, berkomunikasi, mengisi, melengkapi, dan bersinergi.
“Kalau seragam, tidak ada yang bisa disinergikan,” katanya saat mengisi acara Penguatan Pokja Kampung Moderasi Beragama (KMB) Lintas Kementerian dan Lembaga di Gereja Toraja Jemaat Keramat-Klasis Pulau Jawa di Cilincing, Jakarta Utara, Senin (25/3/2024).
Dalam ayat lain, lanjutnya, keragaman adalah ujian bagi umat beragama. Ujian adalah tahapan yang harus dilalui agar seseorang bisa naik kelas. Derajat kemanusiaan umat beragama harus meningkat dari waktu ke waktu.
“Kita bisa naik kelas dengan ujian. Dengan demikian ujian adalah anugerah tuhan. Bentuk ujiannya adalah perbedaan,” jelasnya.
Ia mengingatkan, perbedaan, termasuk perbedaan agama, jangan sampai mengingkari inti pokok ajaran agama. Perbedaan atau keragaman adalah keniscayaan sehingga itu harus disikapi dengan toleransi.
Kenapa Harus Moderasi Beragama?
Lukman memaparkan, agama dan beragama adalah dua hal yang berbeda. Agama adalah ajaran Tuhan dan pasti benar. Sementara beragama adalah bagaimana umat memahami dan mengamalkan ajaran agama.
“Moderasi beragama penting agar umat beragama tidak berlebihan dan melampaui batas dalam beragama. Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik,” tegasnya pada kegiatan yang dihelat oleh Subdit Penyuluh Agama Islam, Direktorat Penerangan Agama Islam.
Dalam pandangannya, umat yang hanya melihat teks-teks keagamaan dan mengabaikan konteks yang melingkupinya akan menjadi seorang yang tekstualis dan kaku. Semuanya dianggap haram jika tidak ada dalam teks. Siapa pun dianggap kafir manakala ia tidak menggunakan hukum Allah.
Pada saat yang sama, imbuhnya, umat yang mendewakan konteks dan meninggalkan teks akan menjadi seorang yang liberal dan permisif. Kedua kutub ekstrem (tekstualis dan liberalis) itu harus ditarik ke tengah sehingga beragamanya menjadi moderat.
“Penyimpangan agama bisa terjadi karena ekstrem dalam beragama, baik terlalu kaku atau terlalu longgar. Prinsip moderasi beragama adalah adil dan berimbang,” ujar laki-laki yang dijuluki Bapak Moderasi Beragama ini.
Lukman menyebut, ajaran agama apa pun bisa diklasifikasi ke dalam dua kelompok. Pertama, ajaran agama yang bersifat universal, inti, atau ushuliyyah. Misalnya memanusiakan manusia, menegakkan keadilan, membangun kemaslahatan bersama, larangan membunuh, larangan mencuri, melestarikan lingkungan, saling berbagi, kasih sayang, dan lainnya.
“Orang tidak beragama pun akan meyakini bahwa ajaran-ajaran agama yang bersifat universal itu benar,” terangnya.
Kedua, lanjutnya, ajaran agama yang partikular, cabang, furu’iyyah. Misalnya qunut subuh, penetapan awal dan akhir Ramadan, tata cara beribadah, dan lainnya. Perbedaan partikular sehingga memunculkan keragaman mazhab, alirab, dan kelompok dalam suatu agama disebabkan keterbatasan manusia dalam memahami agama, perspektif yang tidak sama, wawasan yang berbeda, dan lingkungan strategis yang tidak sama.
“Moderasi beragama berfokus pada ajaran yang universal, bukan yang cabang,” katanya.*