IQRA.ID, Jombang – Majelis Masyayikh Pesantren memberikan enam rekomendasi untuk pesantren agar semakin mandiri, terjaganya mutu pendidikan, dan sustainabilitas pesantren. Pertama, tata kelola dan akuntabilitas pesantren.
“Yang direkognisi undang-undang nomor 18 Tahun 2019 meliputi lulusan pesantren, tradisi akademik, metode pembelajaran, otonomi tata kelola, dan keragaman model,” jelas salah satu anggota Majelis Masyayikh Prof KH Abdul A’la Basyir saat sosialisasi UU Pesantren di Pesantren Tebuireng, Jombang, Selasa (29/11/2022), sebagaimana dikutip dari situs NU Online.
Menurut Prof A’la, alasan pesantren perlu memiliki tata kelola dan akuntabilitas pesantren karena zaman terus berubah. Tata kelola meliputi keuangan pesantren. Hal ini akan berdampak pada sustainability serta akses pendanaan pesantren akan terbuka.
Kedua, perlu memiliki database pesantren yang valid, reliabel, dan up to date agar dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan. Sehingga pesantren perlu proaktif memperbarui data pesantren dan pengelolaan data base pesantren.
“Ada pesantren yang tidak mau menerima bantuan pemerintah tidak masalah, tetap kita jaga dan dihormati. UU nomor 18 tahun 2019 dan Peraturan Presiden nomor 82 Tahun 2021 bukan bentuk intervensi pemerintah. Itu lebih sebagai bentuk pemberdayaan. Pemerintah menyediakan dan mengelola dana,” tegasnya.
Ketiga, penguatan kompetensi dewan masyayikh. Karena sebagai katalisator peningkatan kualitas pesantren. Keempat, optimalisasi tiga fungsi pesantren meliputi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
Peningkatan tiga fungsi pesantren tersebut akan memberikan dampak positif bagi pengembangan masyarakat pesantren, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
“Pemerintah menghormati ciri khas pesantren. Terpenting adalah pesantren menjadi bagian dari pendidikan nasional. Cuma dalam pelaksanaannya dikembalikan ke UU pesantren nomor 18 Tahun 2019,” imbuhnya.
Keempat, yang perlu dilakukan pesantren yaitu bermitra dengan swasta dan pemerintah diberbagai level untuk mewujudkan tiga fungsi pesantren.
Untuk bermitra dengan berbagai pihak, maka pesantren perlu memiliki kualifikasi yang diperlukan, mulai dari aspek administrasi sampai sumber daya manusia.
Kelima, pesantren perlu menjadi subjek aktif pembangunan. Sehingga insan pesantren dapat berkiprah secara lebih luas.
“Pesantren harus memiliki kesetaraan dalam mengakses ruang publik, sama dengan pendidikan lain yang diakui negara,” tandas Prof A’la. (Syarif Abdurrahman/Musthofa Asrori)