Ini adalah kitab berjudul “Majlis Uraian Muar Johor” karya seorang ulama besar Nusantara yang juga qadhi wilayah Muar di Kesultanan Johor (Malaya), yaitu Syaikh Abu Bakar b. Hasan (dikenal dengan Haji Abu Bakar Muar, 1875–1938).
Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu aksara Arab (Jawi) dan berisi tanggapan Haji Abu Bakar Muar atas fatwa yang dikeluarkan oleh A. Hassan (1887–1958), seorang peranakan India asal Singapura yang kemudian datang ke Jawa dan menjadi salah satu tokoh pelopor gerakan kaum modernis yang berhaluan ideologi puritan.
Dalam fatwanya, A. Hassan mengatakan jika babi itu hukumnya najis (haram) untuk dimakan, dan tidak (najis) untuk disentuh. Fatwa A. Hassan lainnya yang juga dibantah oleh Haji Abu Bakar Muar dalam karyanya ini adalah perihal hukum “mulut anjing dan tubuhnya itu tidak juga najis”.
Penegasan isi kitab karya Haji Abu Bakar Muar tersebut juga sebagaimana tertuang pada sub judulnya, yang berbunyi: “Pada Menjawab dan Membatalkan Fatwa Pengarang ‘al-Fatwa’ Persatuan Islam Bandung yang Mengatakan Babi itu Najis Dimakan Bukan Najis Disentuh dan Mulut Anjing pun Belum Tentu Najisnya”.
Tertulis pada halaman sampul kitab:
Dalam kolofon, diinformasikan jika karya ini diselesaikan pada 20 April tahun 1932 Masehi. Karya ini kemudian dicetak oleh Percetakan (Mathba’ah) al-Jîliyyah di Muar, Johor.
Wan Mohd Shagir Abdullah dalam karyanya yang berjudul “Ensiklopedia Naskhah Klasik Nusantara” (diterbitkan oleh Khazanah Fathaniah, 2015) telah memberikan ulasan atas kitab “Majis Uraian” karya Haji Abu Bakar Muar ini.
Sebelumnya, A. Hassan dalam fatwa-fatwa pribadinya (terangkum dalam sebuah buku berjudul “Soal Jawab”, terbit 1931) mengemukakan beberapa pendapat hukum fikih yang memantik kontroversi. Buku “Soal Jawab” karangan A. Hassan tersebut kemudian dicetak ulang pada tahun 1985 oleh Percetakan Persatuan yang berbasis di Bangil, Jawa Timur.
Di antara pendapat-pendapat hukum fikih A. Hassan yang terekam dalam buku tersebut adalah perihal “Jilatan Anjing” (dalam jilid IV, halaman 1354); “Perihal Najis Babi” (dalam jilid I, halaman 42); “Tiga Macam Najis” (dalam jilid II, halaman 460); “Berobat dengan Arak” (dalam jilid I, halaman 334); “Hukum Menangkap dan Menjual Kulit Ular” (dalam jilid I, halaman 344); dan perihal hukum “Menjual Anjing” (dalam jilid II, halaman 754).
Di antara pendapat A. Hassan dalam “Soal Jawab” yang ditanggapi oleh Haji Abu Bakar Muar dalam kitabnya yang berjudul “Majlis Uraian” adalah perihal kedudukan hukum babi dan anjing. Menurut A. Hassan, babi hukumnya najis (haram) untuk dimakan, dan tidak najis untuk disentuh.
A Hassan berpandangan, bahwa “najis” dikategorikan menjadi tiga, yaitu (1) najis yang harus disucikan ketika hendak melaksanakan shalat, (2) najis yang tidak boleh dimakan, dan (3) najis yang terdapat dalam hati manusia. Adapun najis yang pertama, yaitu yang harus disucikan ketika hendak melaksanakan shalat, maka hal tersebut hanya ada lima buah saja, yaitu (1) air kencing, (2) kotoran atau tinja, (3) air madzi, (4) darah haid, dan (5) darah nifas.
Selain kelima barang tersebut, menurut A. Hassan, hukumnya adalah tidak dianggap najis. Adapun najis yang kedua, yaitu yang haram untuk dimakan, maka hal tersebut hanya ada empat buah saja, yaitu (1) babi, (2) bangkai, (3) darah, dan (4) arak atau minuman keras.
Termasuk dalam hal ini adalah “hewan yang disembelih bukan atas nama Allah” (mâ uhilla li ghairillâh). Selain keempat barang tersebut, maka hukumnya halal untuk dimakan. Merujuk pada jalan keputusan A. Hassan ini, maka daging anjing hukumnya halal dimakan, karena tidak termasuk empat buah barang yang diharamkan untuk memakannya.
Dalam pandangan A. Hassan, daging babi, bangkai, arak dan darah bukanlah najis dalam kategori pertama (yang harus dibersihkan sebelum melaksanakan shalat), tetapi masuk ke dalam kategori najis kedua, yaitu najis yang tidak boleh dimakan. Artinya, manakala benda-benda seperti babi, anjing, darah dan arak itu mengenai badan, pakaian, atau pun tempat shalat, maka tidak akan berdampak apapun terhadap kesahihan shalatnya.
Badan, pakaian, atau pun tempat yang terkena babi, anjing, darah dan sejenisnya itu tidak perlu dicuci, karena najisnya benda-benda tersebut adalah untuk dimakan, bukan untuk dipegang atau disentuh.
Pandangan A. Hassan perihal masalah najis ini juga telah dikaji oleh Jamal Abdul Aziz dalam artikelnya yang berjudul “Reformulasi Konsep Najis Ala Ahmad Hassan” (termuat dalam “al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam”, vol. V, no. 1 Januari 2011: halaman 39–52).
Terlepas dari perdebatan soal hukum fikih di atas, baik Haji Abu Bakar Muar atau pun A. Hassan adalah tokoh penting dalam arus perjalanan sejarah pemikiran Islam di Nusantara. Perbedaan haluan ideologi antara keduanya, di mana Haji Abu Bakar Muar berhaluan tradisionalis dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang terafiliasi dengan madzhab fikih Imam Syafi’i, juga A. Hassan yang berhaluan modernis dan tidak terafiliasi dengan madzab fikih mana pun karena “merasa mampu berijtihad dengan merujuk langsung kepada al-Qur’an dan hadits”; telah melahirkan dinamika pemikiran Islam dan karya intelektual yang kaya bagi generasi Muslim Nusantara saat ini.
Manariknya, Haji Abu Bakar qadhi Muar ini juga memiliki koneksi dengan jaringan ulama Sunda di Makkah. Hal ini karena Haji Abu Bakar Muar tercatat sebagai salah satu murid Syaikh Mukhtâr ‘Athârid al-Bughûrî al-Jâwî al-Makkî atau yang dikenal dengan Syaikh Mukhtar Bogor (w. 1930), seorang mahaguru ulama Sunda yang mengajar di Makkah dan memiliki banyak karya intelektual dalam bidang hadits. Wallahu A’lam.
Sukabumi, Agustus 2021.