Sekitar 118 tahun lalu, sejarah baru penghargaan hadiah Nobel tercipta saat lahir perempuan kali pertama mendapatkan hadiah atas wasiat salah seorang ilmuwan berkebangsaan Swedia, Alfred Nobel. Ia adalah Manya Sklodowska, perempuan terlahir di Warsawa, Polandia pada 7 November 1867 silam, kemudian populer dengan sebutan Marie Curie.
Curie dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam ranah sains kealaman menjadi tonggak peran dan andil perempuan dalam urusan ilmu pengetahuan. Sebab, sejarah perkembangan ilmu pengetahuan acapkali didominasi oleh kelompok laki-laki.
Kita membaca sebuah buku garapan A. Haryono berjudul Kamus Penemu diterbitkan Kompas pertama kali pada 1986. Dari seratus tujuh puluh tokoh ternama dalam ilmu pengetahuan, satu-satunya perempuan tercantum dalam buku tersebut adalah Marie Curie.
Selain merupakan seorang perempuan penerima Nobel pertama, ia juga merupakan satu-satunya hingga sekarang sebagai perempuan peraih Nobel sebanyak dua kali. Penghargaannya didapatkan masing-masing pada 1903 tatkala temuannya akan radioaktivitas dan tahun 1911, lewat upayanya menemukan polonium, radium, dan mengisolir radium.
Akan tetapi, terlalu naif saat menyebut secara glorifikasi dan menganggap Curie sebagai satu-satunya ilmuwan perempuan dalam kancah dunia sains. Mulanya kita perlu memahami bahwa fajar abad XX menjadi awal pergerakan sains secara besar-besaran (Big Science). Sosok sebagai tonggak itu bernama Albert Einstein, menyumbangkan gagasan besar dalam dunia mekanika kuantum.
Abad itu juga menjadi pertaruhan bagi umat manusia dengan revolusi pengetahuan dalam menghadapi perubahan dan perkembangan zaman. Ilmu pengetahuan menjadikan diri manusia sebagi pemilik akal daif untuk melatih akal budi dalam membaca realitas secara dalam.
Sains memang tak bisa diidentikan milik seorang laki-laki saja. Namun, baik laki-laki maupun perempuan, kesemuanya berpeluang dalam andil pengembangannya. Curie menjadi tonggak dalam labirin dunia sains dan teknologi akan martabat seorang perempuan gigih dan berani melibatkan pada kemajuan peradaban.
Sir Peter Brian Medawar, ahli anatomi Inggris, salah satu penerima Nobel Kedokteran pada 1960, melalui buku Advice a Young Scientist, diterjemahkan Andi Hakim Nasoetion dan diterjemahkan Yayasan Obor Indonesis dengan judul Nasihat untuk Ilmuwan Muda (1990) menulis, baik laki-laki maupun perempuan di dalam sains, kuncinya adalah: semangat, cerdas, penuh pengabdian, dan bekerja keras.
Situasi penting perlu direfleksikan dalam kesadaran bangsa Indonesia adalah bagaimana kita masih menghadapi tantangan besar dalam upaya bersama atas nama jihad ilmu pengetahuan. Kesadaran tersebut membawa pada tilikan lanskap mendasar dalam sistem bangsa ini. Baik itu pendidikan, politik, ekonomi, hukum, hingga kebudayaan.
Kita menyandarkan laju perkembangan ilmu pengetahuan tidak didasarkan satu maupun dua lanskap saja. Melainkan dari itu, kesemuanya terkoneksi dalam visi bersama: kemajuan, kemanusiaan, dan martabat. Perwujudan kesetaraan gender menjadi satu lapisan untuk menunjang peradaban.
Pada bidang sains dan teknologi, upaya itu tentu kait-kelindan antara institusi pendidikan, lembaga penelitian, dan dunia industri. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menerbitkan buku dengan mengetengahkan persoalan gender, sains, dan teknologi.
Masing-masing adalah: Pengembangan Gender dalam IPTEK di LIPI: Suatu Memori Kelembagaan (2017) dan Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Perkembangan, Kebijakan, & Tantangannya (2018). Langkah tersebut menjadi landasan dalam pendiskursusan pada tantangan zaman baik itu revolusi digital dan progresivitas pengetahuan dengan menghadirkan pengaruh pada perkara gender.
Di tengah-tengah peleburan lembaga riset menuju Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui UU Sisnas IPTEK yang menyebabkan beberapa lembaga penelitian semula seperti LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN dibubarkan dan dilebur di bawah koordinasi lembaga baru, kita berharap lembaga riset memiliki arah dan tujuan ke depan dengan menitik beratkan salah satunya pada pengarusutamaan gender.
Di kata pengantar pada buku Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Perkembangan, Kebijakan, & Tantangannya (2018), Dr. Trina Fizzanty, Ketua Pappiptek LIPI waktu itu menggarisbawahi akan belum populernya diskursus gender dan IPTEK di Indonesia.
Seorang Pegiat Sains dan Budayawan, Nirwan Ahmad Arsuka dalam Harian Kompas edisi 31 Agustus 2021 lewat esai berjudul Metamorfosis melayarkan lanskap karya fiksi bersejarah dari seorang novelis kelahiran Praha, Ceko, Franz Kafka hingga pidato Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2021.
Ia mengajak kita bersama untuk mengarungi dan mengurai realitas alam semesta di tengah badai monster peradaban akibat kejumudan manusia dalam merevolusi sains dan teknologi tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan itu sendiri. Loncatan paradigmatik dalam sains dan teknologi tak ayal melahirkan risiko bagi manusia itu sendiri.
Pada kesunyian di laboratorium sederhana, dulu Curie mungkin hanya terpikirkan akan kerja kerasnya melakukan penilitan, pengamatan, dan pengujian terhadap struktur kimia itu untuk memahami rahasia semesta memberikan pelajaran pada umat manusia.
Pada gilirannya memang begitu, seperti saat dirinya termaktub dalam edisi khusus 14 Ilmiawan Dunia, Majalah Hai No. III Tahun 1979, berkat penelitiannya terhadap radium, para dokter dan ilmuwan mengerti kegunaannya bagi manusia, memusnahkan tumor dan kanker. Radium menjadi salah satu penyelamat manusia.
Penelitiannya tentang radioaktivitas tentu menjadi sarana penting bagi umat manusia untuk mengerti pengembangan energi nuklir, pemanfaaan kandungan alam sebagai energi bagi kehidupan. Tetapi, keduanya bukan tanpa masalah dalam aksiologi ilmu pengetahuan.
Ada masa ilmu pengetahuan membuat orang menjadi culas dan jahat. Apa yang terjadi saat teori atom digunakan untuk sarana pemusnah massal, meluluhlantakan gedung, bangunan peradaban, dan umat manusia.
Agaknya hari ini umat manusia memiliki tanggung jawab untuk melakukan keseimbangan dalam hidup sebagai manifestasi kemesraan pada alam semesta. Itu merujuk pada semangat kolektif dalam menjaga dan merawat peradaban.
Tanpa kesadaran untuk kerjasama maupun kolaborasi, ideologi hingga agama pun kewalahan dalam mengarungi peradaban ini. Abad XXI tidak lain adalah momentum bagi umat manusia terus diuji akan nalar ilmiah dalam meneroka kehidupan.
Pandemi Coronavirus dalam dua tahun terakhir setidaknya menjadi sarana tilikan mendalam, bahwa peradaban manusia bukan lagi berada bayang-bayang bom nuklir maupun perang antar negara. Namun, bayang itu berupa kemunculan makhluk berukuran mikro dengan ganas dan radikal mengancam kehidupan manusia.
Ilmu pengetahuan menjadi kesadaran pada tiap generasi penerus sebagai sarana untuk membongkar rahasia yang sejauh ini masih disembunyikan oleh alam semesta.