Bertempat di Kotabaru, D.I. Yogyakarta berdiri sebuah masjid yang megah dan penuh dengan sejarah. Mayoritas masyarakat Yogyakarta, mahasiswa khususnya, sangat familiar dengan masjid ini. Lantaran setiap bulan Ramadhan masjid ini menjadi salah satu destinasi berbuka puasa (takjil gratis) yang diburu oleh para mahasiswa. Sedikitnya kurang lebih 200-an jamaah memadati masjid ini untuk berbuka dan salat maghrib berjamaah setiap harinya.
Masjid ini selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 20 September 1952. Bertempat di Jalan I Dewa Nyoman Oka 13, Kotabaru, Yogyakarta. Sesuai dengan namanya—Syuhada’—masjid ini didirikan untuk mengenang jasa para pejuang-pahlawan pada masa kolonialisasi yang terjadi di Indonesia. Masjid ini juga didirikan sebagai hadiah dari pemerintah Indonesia kepada masyarakat Yogyakarta.
Tentu masih sangat lekat pada benak kita, bahwa Indonesia pernah mengalami perpindahan pusat pemerintahan pada tahun 1946, satu tahun kurang setelah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia. Pada tahun itu, Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, kembali diduduki oleh Belanda. Oleh karenanya, dengan pertimbangan keamanan dan geo-politik Indonesia, maka pusat pemerintahan Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta.
Adalah Gubernur D.I. Yogyakarta, Sultan Hamungkubawana IX, yang memfasilitasi penuh pemerintahan sementara Indonesia pada masa revolusi saat itu.
Pembangunan Masjid Syuhada sendiri juga didasari oleh tidak adanya tempat ibadah bagi umat Islam di Kotabaru. Mengingat tidak jauh dari sana berdiri megah bangunan gereja yang bernama Gereja Kristen Batak Protestan.
Pembangunan masjid ini hanya berawal dari pengajian kecil yang bertempat di rumah Moch. Joeber Prawiroyuwono. Pengajian tersebut digelar setelah mundurnya pihak Belanda dari Yogyakarta dan menjelang dipindahkannya ibu kota Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta. Ketika itu, beberapa tokoh hadir memikirkan tentang apa yang pantas dihadiahkan pada masyarakat Yogyakarta atas peristiwa perpindahan ibu kota sementara dan para pejuang dari Indonesia.
Selain daripada latar belakang dibangunnya masjid tersebut, tentu tidak menjadikan kita lupa menelisik filosofi dari bangunan masjid Syuhada itu. Beberapa bangunan detail yang ada di dalam bangunan tersebut bukan berangkat dari ruang kosong dan tanpa makna.
Pada lantai utama masjid tersebut misalnya, terdapat lubang ventilasi yang mirip dengan mihrab yang berjumlah lima. Jumlah tersebut disesuaikan dengan rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, salat, zakat, puasa dan haji bagi yang mampu.
Secara sederhana, hal itu memiliki makna bahwa ketika umat Islam mengerjakan 5 rukun Islam tersebut, maka akan dapat memberikan kesejukan dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan. Selain itu, lubang ventilasi yang ada berjumlah 20, hal itu mengisyaratkan akan sifat Allah yang 20.
Naik ke lantai dua, terdapat dua pilar besar yang kokoh, yang dimaksudkan sebagai pengingat umat Islam agar senantiasa seimbang satu sama lain dalam dua urusan, yakni duniawi dan ukhrawi. Selain pada dua hal tadi, kedua pilar tersebut juga mengisyaratkan bahwa manusia niscaya terus menjaga dua hubungan, hubungan antar manusia (hablun min al-nas) dan hubungan dengan Sang Khaliq (Hablun minallah).
Bangunan Masjid Syuhada bukan hanya mengajarkan hubungan baik pada Allah, melainkan juga mengajarkan hubungan yang baik pula pada sesama mansuia.
Di dalam filosofinya, Masjid Syuhada juga mengambil simbol 17 Agustus 1945 untuk dijadikan tanda jasa dari para pahlawan yang telah berjuang guna membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan selama berabad-abad lamanya. Simbol tersebut berada pada anak tangga masjid yang berjumlah 17 dan angka 8 untuk merujuk pada bulan Agustus disimbolkan dengan adanya pilar gapura di depan tangga utama yang berbentuk segi delapan.
Kemudian angka 45 disimbolkan dengan jumlah kupel pada bagian atap masjid. 4 kupel berada pada atap bagian bawah, sedangkan 5 kupel lainnya berada pada bagian bawah atap dan salah satunya merupakan kubah masjid.
Atap Masjid Syuhada pun masih menerapkan budaya khas jawa yang disebut dengan Mustaka. Atap tersebut juga memgang konsep Meru yang merupakan sisa peninggalan masa Hindu dan Budha sebelum Islam berkembang di Nusantara.
Selain menjadi tempat ibadah dan pusat kegiatan masyarakat Islam di daerah Yogyakarta, khususnya Kotabaru, Masjid Syuhada juga mengajarkan pada kita betapa pentingnya menghormati jasa para pejuang dahulu. Serta mengajarkan pula pada kita antara sikap relegius dan nasionalisme itu tidaklah bertentangan. Oleh sebab itu, doktrin Hubbul wathan minal Iman senantiasa dapat kita terjemahkan ke dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara kita.