Pernikahan menjadi momen sakral dalam bentang jalan hidup seseorang. Pernikahan ibarat pintu gerbang pengantar sepasang anak manusia menuju kehidupan baru penuh tanggung jawab dan kewajiban. Niat tulus melaksanakan sunnah dan menyempurnakan agama membuat pernikahan tak berhenti soal memenuhi naluri berketurunan. Menikah adalah ibadah dalam rangka mengharap rida dan keberkahan Tuhan.
Di masyarakat, hidup beragam tradisi pernikahan. Seringkali, tradisi-tradisi tersebut menyimpan sejarah, filosofi, makna, dan nilai-nilai berharga dalam kehidupan. Salah satu tradisi pernikahan yang lekat dengan pesan dan makna adalah tradisi pengantin mubeng (mengelilingi) gapura yang sampai sekarang masih dijaga di masyarakat Desa Loram Kulon, Jati, Kudus.
Tradisi pengantin mengelilingi gapura Masjid At-Taqwa atau sering disebut Masjid Wali ini merupakan warisan dari Sultan Hadlirin, menantu Sunan Kudus. Menurut keterangan Masijan, juru pelihara Masjid Wali, tradisi ini sudah ada sejak zaman Sultan Hadlirin sekitar tahun 1400-an. Konon, saat itu setiap warga yang hendak menggelar hajatan, termasuk pernikahan, selalu meminta doa ke Sultan Hadlirin. Karena murid beliau semakin banyak dan tak semua warga bisa bertemu beliau, sebagai gantinya, Sultan meminta warga mengelilingi gapura di depan Masjid Wali. Sejak saat itu, tradisi pengantin mubeng gapura terus dijaga dan hidup hingga sekarang (Sundoyo Hardi: 2010).
Berdasarkan keterangan Afrohamanudin, takmir Majis Wali Loram, Masjid Wali tersebut didirikan seorang muslim keturunan Tionghoa bernama Tji Wie Gwan, ayah angkat Sultan Hadlirin, yang diperintahkan langsung oleh Sunan Kudus. Gapura masjid didesain mirip arsitektur pura demi memikat masyarakat sekitar yang saat itu mayoritas menganut Hindu-Budha (seputarkudus.com, 11/6/2016).
Doa, Amal, dan Keberkahan
Tradisi penganting mubeng gapura Masjid Wali menyimpan berbagai makna dan pesan spiritual. Pemilihan gapura masjid sebagai tempat ritual mubeng bertujuan mendekatkan pengantin ke masjid. Masjid adalah simbol ibadah. Tak sekadar dekat dalam arti fisik, “mendekatkan” pengantin ke masjid berarti juga bagaimana membangun rumah tangga yang selalu dalam rida dan keberkahan Allah Swt.
Jika kita hayati, tiap-tiap prosesi dalam tradisi pengantin mubeng gapura juga lekat dengan nilai-nilai maupun norma ajaran agama. Mengutip laporan Faruq Hidayat dan Atika di majalah Paradigma (2016), dalam prosesi tersebut, ketika rombongan pengantin sampai di depan gapura Masjid Wali, dilanjutkan dengan pasangan pengantin berjalan kaki menuju pintu sebelah selatan. Sebelum masuk pintu, pasangan pengantin disarankan berinfaq atau beramal jariyah dengan memasukkan sejumlah uang di dalam kotak amal masjid secara bersamaan.
Ada pesan bahwa pasangan pengantin mesti punya semangat kepedulian. Menikah berarti juga membangun kepedulian terhadap kebaikan bersama, yang dalam hal ini diwujudkan lewat infak di kotak amal masjid.
Bahkan, spirit berbagi tersebut juga sudah ditunjukkan keluarga pengantin yang punya hajat sebelum prosesi mubeng gapura dilakukan. Jika yang menikah warga asli Desa Loram Kulon dan masih mempunyai garis keturunan Hindu, sepekan sebelum dilaksanakan prosesi pernikahan biasanya mereka membagikan nasi kepel (nasi yang dibungkus daun jati) kepada orang-orang yang ada di masjid.
Masih menurut laporan Faruq Hidayat dan Atika (2016), setelah memberi infak di masjid, selanjutnya pengantin berjalan menuju pintu sebelah utara dan keluar menuju depan pintu gapura utama Masjid Wali. Tepat di depan gapura yang sekilas mirip arsitektur menara di Masjid Al Aqsa Kudus tersebut, pengantin berdiri sejenak menghadap ke barat (ke arah pintu), dan dipandu mengucapkan doa. Salah satu doanya: “Bismillahirrohmanirrohim. Allahumma bariklana bilkhoir” (Ya Allah berkahilah kami dengan kebaikan).”
Doa menjadi wujud kesadaran spiritual yang mesti dimiliki pasangan pengantin. Bahwa pernikahan yang dilangsungkan dan kehidupan rumah tangga yang akan dibangun adalah dalam rangka mencari rida dan keberkahan dari Allah Swt.
Restu Masyarakat, Menghindari Fitnah
Seluruh prosesi mubeng gapura tersebut disaksikan masyarakat lingkungan sekitar. Tahap demi tahap dijalani pengantin sembari mengharapkan doa dan restu masyarakat yang menyaksikan, baik masyarakat yang ikut serta dalam iring-iringan pengantin, maupun masyarakat sekitar yang sengaja datang untuk menyaksikan prosesi tersebut.
Bagi masyarakat, prosesi tersebut menjadi penanda secara sosial bahwa sejak saat itu, di lingkungan mereka telah bertambah satu pasangan atau keluarga baru. Diharapkan, pasangan pengantin mendapatkan doa restu serta diterima masyarakat untuk bergaul secara sosial menjadi bagian mereka. Di sini, di saat bersamaan, kita juga memahami bahwa prosesi mubeng gapura bisa menghindarkan pasangan pengantin dari fitnah. Sebab, masyarakat yang menyaksikan prosesi mubeng gapura otomatis tahu bahwa pasangan tersebut telah sah sebagai pasangan suami-istri.
Sebagai tradisi yang hidup di masyarakat, memang tak ada peraturan tertulis di Desa Loram Kulon yang mewajibkan sepasang pengantin melakukan tradisi mubeng di gapura Masjid Wali yang berarsitektur khas Hindu-Budha tersebut. Namun, kenyataannya tradisi tersebut terus dijalankan masyarakat setempat demi melestarikan dan menghormati warisan leluhur. Bahkan, ada mitos yang tumbuh di masyarakat bahwa akan ada bala (musibah) bagi pasangan pengantin dari Desa Loram Kulon jika tak menjalani prosesi mubeng gapura Masjid Wali.
Terlepas dari hal tersebut, tradisi pengantin mubeng gapura Masjid Wali yang masih terus dijaga masyarakat setempat memang menyimpan nilai dan memancarkan pesan-pesan bermakna. Tradisi tersebut secara tersirat mengajak kita memahami bagaimana pernikahan dimaknai secara sakral sebagai peristiwa spiritual (dilandasi niat ibadah dan do’a kepada Allah Swt.), kebudayaan (menjaga tradisi leluhur), juga sosial (permohonan do’a restu, sekaligus bentuk “izin” bergabung dalam komunitas sosial masyarakat). Wallahu a’lam