Kiai Afifuddin Muhajir dalam buku beliau, Fiqh Tata Negara, menyebutkan tiga nilai utama yang terkandung di dalam ajaran Islam. Ketiga nilai yang dimaksud adalah tawassuth (jalan tengah), ta’adul (keadilan), dan tawazun (keseimbangan). Ketiga nilai ini kemudian berpadu dalam sebuah corak utama ajaran Islam yang wasathiyyah (moderat). Dan seyogianya spirit keberislaman yang moderat ini dapat dijalankan secara kafah dalam segala lini kehidupan.
Sayangnya, pengejawantahan watak moderasi Islam, jika menyangkut isu-isu perempuan, tampaknya masih sering tersandera oleh pengaruh budaya patriarkis. Salah satu contohnya dalam bahasan tentang seksualitas, perempuan “dituding” sebagai pihak yang porsi gairah seksualnya jauh lebih besar daripada lelaki, dan klaim-klaim lainnya yang bertendensi negatif terhadap perempuan.
Kalau ditelisik, selama ini bahasan mengenai seksualitas dalam Islam memunculkan dua pandangan arus utama. Sebagian kalangan memandang seksualitas sebagai anugerah dari Yang Mahakuasa yang mesti diapresiasi.
Sedangkan sebagian yang lain berpandangan bahwa seksualitas merupakan hal tabu yang harus dihindari sedemikian rupa karena bertentangan dengan aspek spiritualitas. Berbeda dengan pandangan arus pertama yang merekognisi seksualitas sekaligus menekankan adanya relasi kesetaraan antara lelaki dan perempuan, justru pandangan arus kedua memiliki kecenderungan bias gender dan subordinasi kaum perempuan.
Di samping itu, selama ini pula seksualitas acap kali dipersepsikan sama dengan seks. Padahal, sejatinya tidak demikian, karena seksualitas tidak selalu tentang seks dan sementara seks sudah barang tentu seksualitas.
Sebaiknya terlebih dahulu perlu dimafhum perbedaan pengertian di antara istilah seks, seksual, dan seksualitas. Adapun seks berarti karakter jenis kelamin biologis antara laki-laki dan perempuan; atau sesuatu yang berkenaan dengan organ-organ kemaluan dan percumbuan ataupun berhubungan badan.
Lalu, yang dimaksud dengan seksual adalah perihal tingkah laku atau emosi terhadap rangsangan organ-organ kemaluan (reproduksi). Sedangkan seksualitas sendiri merupakan ihwal bagaimana seseorang memikirkan, merasakan, dan mengekspresikan dirinya selaku makhluk yang memiliki fitrah seksual. Karena itu, konsep seksualitas berbeda-beda bergantung ruang dan waktu, serta terkait erat dengan perbedaan konstruksi sosial dan latar budayanya.
Dalam pada itu, memperbincangkan seksualitas dalam ranah fikih haruslah dimulai dari tinjauan Alquran dan hadis, yang menjadi sumber primer hukum Islam. Adapun di dalam Alquran memang tidak terdapat penjelasan spesifik mengenai seksualitas, namun Alquran menjelaskan bagaimana relasi seksual antar suami istri. Sehingga, nikah sebagai pelembagaan relasi sosial-seksual, mendapat porsi penjelasan yang cukup lengkap dalam Alquran.
Selain nikah, Alquran juga menjelaskan hal-hal lain yang berhubungan dengan nikah, antara lain tentang tata laku suami-istri dalam berumah tangga (mu’asyarah bil-ma’ruf), talak dan idah, serta perkara lain menyangkut penyimpangan seksual.
Dari itu, kendati tidak secara langsung menjelaskan seksualitas, nyatanya Alquran menyinggung banyak hal menyangkut karakteristik dan perilaku seksual manusia, yang notabene termasuk bagian dari seksualitas. Di sisi lain, kenyataan ini sekalian menjustifikasi konsep seksualitas yang fleksibel dan ditentukan oleh konstruksi sosial dan kebudayaan, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
Sementara itu, dalam menjelaskan kedua hal tersebut, yakni karakteristik dan perilaku seksual, Alquran menilai laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan. Untuk menyebut salah satu contohnya adalah surah Ar-Rum ayat 21.
Dalam ayat tersebut, Alquran juga sama sekali tidak menyubordinasi kaum perempuan. Malar-malar, secara tidak langsung melalui ayat ini Alquran menentang budaya misogini (sikap antipati terhadap wanita). Jelas hal ini kian mengukuhkan eksistensi Alquran sebagai pedoman hidup (way of life) manusia yang mampu merespons segala problematika kemanusiaan.
Selanjutnya, seksualitas menurut tinjauan hadis. Pada dasarnya berbicara tentang hadis sama halnya dengan membicarakan sirah hidup Nabi saw. Sebuah potret sejarah hidup Rasulullah, ketika Siti Khadijah yang melamar beliau dan bukan sebaliknya. Ini menjadi bukti terang persinggungan langsung Rasulullah dengan fenomena seksualitas.
Tindakan Siti Khadijah tersebut mencerminkan seksualitas perempuan yang aktif, yang selama ini malah kontras dengan kondisi sosiokultural kebanyakan masyarakat. Bahwa kelumrahan seksualitas seorang perempuan adalah seksualitas pasif, sehingga bagi yang aktif akan diganjar stigmatisasi orang-orang di sekitarnya.
Alih-alih melindungi marwah kaum perempuan, pemasifan terhadap seksualitas perempuan ini pada akhirnya mengakibatkan marjinalisasi terhadap peran-peran perempuan. Bahwa kelumrahan seorang perempuan adalah berdiam di rumah dan sebatas mengisi ruang-ruang privat. Berbeda dengan kaum laki-laki yang dianggap lebih kuasa dan perkasa untuk leluasa beraktivitas di ranah publik.
Ironisnya, manakala pemasungan seksualitas perempuan ini dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Sedangkan Rasulullah sendiri tidak mempermasalahkan seksualitas aktif Siti Khadijah ketika itu, bahkan beliau dengan senang hati menerima pinangan sang Khadijatul Qubra. Lagi pula senyampang penelaahan penulis, ini tak termasuk bagian dari khasha’ishun-nabi (hal ahwal eksklusif yang berlaku terbatas bagi Nabi).
Selain itu, pemasifan seksualitas perempuan kentara sekali dalam pembahasan fikih tentang khitbah (lamaran). Dalam konteks ini, yang menjadi subjeknya selalu laki-laki atau disebut khathib, sehingga hampir tidak ditemukan istilah khathibah (peminang perempuan). Begitu pula dengan objek khitbah yang melulu perempuan (makhthubah), dan mana pernah ada sebutan makhthub (laki-laki yang dipinang).
Pemasifan seksualitas perempuan dalam fenomena khitbah ini menjadi sebentuk realitas pembonsaian terhadap seksualitas perempuan. Kendati demikian, sebagaimana dimaklumi bahwa setiap permasalahan fikih meniscayakan keragaman pendapat di antara fuqaha’. Tidak ada pendapat fikih yang absolut, yang ada adalah pendapat yang unggul dan kurang diunggulkan, atau antara yang kuat dan yang lemah, dan sebutan-sebutan khas khazanah fikih yang lain.
Ranah fikih memang menjadi arena “pertentangan paradigma” atau paradigm war antar ulama ahli fikih (fuqaha’). Bagaimana kemudian paradigma Imam Abu Hanifah yang bercorak rasionalistik (ahlur-ra’yi) berbenturan dengan paradigma atsari Imam Malik (ahlul-hadist).
Lalu, menyusul hadir paradigma Imam Syafi’i yang menyintesis kedua paradigma pendahulunya tersebut. Seterusnya, paradigma sintesa Imam Syafi’i kemudian dikonter oleh paradigma Ibnu Hazm Azh-Zhahiri yang cenderung tekstualistik. Namun, adakalanya dalam masalah-masalah tertentu mazhab-mazhab fikih ini berpandangan relatif sama.
Salah sebuah amsal pergulatan dialektis mazhab-mazhab fikih menyangkut isu seksualitas perempuan adalah persoalan hak dan kewajiban suami istri dalam melakukan “hubungan intim”. Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa seorang istri memiliki hak atas suaminya untuk mengajaknya berhubungan badan. Adapun sang suami dalam hal ini berkewajiban untuk mengabulkan kehendak istrinya tersebut.
Untuk masalah ini mazhab Maliki juga berpandangan demikian, namun dengan menambahkan sedikit anotasi. Bahwa seorang suami diwajibkan untuk menuruti kehendak seksualitas istrinya, senyampang si suami tidak sedang menyandang halangan yang memang direkognisi syariat. Intinya, relasi seksual suami istri mesti terbangun secara sehat tanpa unsur paksaan.
Contoh lainnya, dalam persoalan relasi seksual suami istri menyangkut praktik ‘azl (senggama terputus). Sederhananya, ‘azl adalah kontrasepsi konvensional yang ditempuh orang bahela dengan cara suami melakukan ejakulasi di luar, sehingga tidak terjadi pembuahan di dalam rahim istrinya. Tentang praktik ‘azl ini, mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali membolehkannya dengan syarat adanya izin dari pihak istri.
Izin istri menjadi pertimbangan lantaran praktik ‘azl berhubungan dengan pemenuhan hak istri untuk merasakan kenikmatan seksualnya (orgasme). Sebab, praktik ‘azl pada biasanya akan menyebabkan sang istri tidak dapat mencapai puncak orgasmenya.
Karena itu, suami harus meminta izin dalam rangka menjaga hak istrinya tersebut. Bahkan, khusus menurut mazhab Maliki, si suami yang melakukan ‘azl tanpa seizin istrinya dikenai kewajiban untuk membayar uang ganti rugi. Besaran uangnya pun dipatok sepuluh dinar per sekalinya melakukan ‘azl alias “keluar di luar”.
Demikianlah sekelumit perbincangan yang dapat penulis suguhkan di sini, menyoal isu seksualitas perempuan dalam ranah fikih. Silahkan disimpulkan sendiri sesuai tangkapan kita masing-masing atas bacaan ini. Adapun penulis, memang sedari awal telah meniatkan untuk tidak mengeksplorasi kedalaman isu ini. Selain karena kedangkalan pengetahuan penulis, tulisan prasaja ini ditujukan sekadar untuk menggugah kepedulian kita terhadap isu seksualitas perempuan.
Sekurang-kurangnya, dengan adanya sedikit kepedulian, maka pandangan kita terhadap isu-isu perempuan semacam ini tidak lagi tersandera oleh pengaruh budaya patriarkis yang telah menghegemoni masyarakat kebanyakan.
Arkian, in uriidu illal-ishlaaha mastatho’t, wa maa taufiiqiii illaa billaah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib (Aku hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya pula aku kembali). Wallahu a’lam bish-shawab.