Belakangan ini, panggung sastra kita sedang ramai dengan pendatang baru dengan genre sastra islami. Apa itu sastra islami? Adalah sebutan untuk kecenderungan karya sastra yang mengangkat sisi-sisi formal ajaran Islam dalam sebuah karya sastra.
Genre demikian ini diwakili oleh karya populer dari Habiburahman El-Syirezi dengan karya-karyanya yang sangat banyak dibaca, tentu saja yang paling populer adalah Ayat-ayat Cinta 1 dan 2. Bahkan, tak hanya dibaca, namun karya Habiburahman tersebut juga difilmkan.
Nama lain dari penulis novel dengan genre islami ini bisa kita sebut adalah Hanum Salsabila Rais, putri seorang politisi Amien Rais, belakangan Hanum juga menjadi politisi. Hanum menulis novel dengan judul 99 Cahaya di Langit Eropa.
Novel tersebut digemari oleh banyak pembaca muslim. Dan juga, tak hanya dibaca, novel tersebut bernasib sama seperti karya Habiburrahman, karyanya tersebut difilmkan. Di panggung film, adaptasi novel tersebut juga berhasil memikat banyak penonton.
Di tengah kondisi perkembangan genre sastra islami tersebut, penting bagi kita untuk membahas di manakah posisi sastra pesantren di tengah perkembangan tersebut?
Apakah sastra pesantren tersebut adalah bagian dari sastra islami? Jika benar ia adalah bagian dari sastra islami, lantas apa alasannya? Dan jika sastra pesantren bukan dari sastra islami, juga harus dikemukakan alasannya?
Secara tampilan formal, baik sastra islami maupun sastra pesantren mengusung isu yang sama: yakni menampilkan ajaran agama ke dalam medium kesusastraan. Upaya ini adalah bagian dari dakwah penyebaran ajaran Islam.
Namun, dengan kesamaan tema dan isu tersebut, apakah lantas di antara keduanya ada kesamaan konten ataupun isi?
Dalam sastra islami konten yang diangkat hanyalah ajaran Islam secara formal. Bahkan oleh beberapa pihak, sastra islami ini dianggap sebagai bentuk lain dari Islam Politik yang belakangan ini sedang berkembang.
Dalam konteks konten dan isi demikian itu, maka ada poin yang berbeda dengan spirit dari sastra pesantren. Secara konten, sastra pesantren adalah mewakili dari budaya yang dipraktikkan dalam keseharian di pesantren.
Di pesantren tak hanya mementingkan tampilan formal dari ajaran Islam. Namun, spiritualitas juga menjadi poin penting juga. Maka tak heran dalam pesantren familiar istilah sufi dan tasawuf. Sisi sufisme dan tasawuf tidak diakomodasi dalam sastra islami.
Pada tahun 1974, Gus Dur penah menulis esai seputar tema yang sedang kita bahas kali ini dengan judul “Pesantren dan Kesusastraan”. Menurut Gus Dur, sastra pesantren harus berorientasi kepada spiritualitas dari ajaran Islam, bukan hanya tampilan formal ajarannya.
Maka tak heran, jika dalam tulisan tersebut Gus Dur menganjurkan kita kalangan pesantren untuk meniru dari karya seorang penulis Chaim Potok dengan novelnya berjudul My Name Is Asher Lev.
Dalam novel tersebut, digambarkan bagaimana dinamika penghayatan keimanan seorang pelukis Yahudi. Pelukis tersebut bernama Asher Lev. Asher Lev merasa gamang karena dilarang oleh ayahnya untuk melukis.
Dalam kondisi kegamangan tersebut, sisi keimanan Asher Lev malah justru tampak. Dan yang menarik, novel tersebut menggambarkan dinamika keimanan seseorang tidak secara hitam dan putih.
Sepertinya dari situlah kenapa Gus Dur merekomendasikan novel tersebut, supaya visi ke depan sastra pesantren tidak jatuh kepada kedangkalan gagasan yang lebih mementingkan tampilan formal dari ajaran Islam.
Dengan demikian, visi sastra pesantren seharusnya melampaui dari bentuk sastra islami. Secara tema, sastra pesantren dan sastra islami sama, mengusung ajaran Islam dalam panggung sastra sebagai medium dakwah.
Namun, secara visi dan gagasan berbeda. Sastra pesantren lebih mementingkan sisi spiritualitas dan pergulatan batin seseorang muslim dalam mengimani agamanya. Bukan hanya tampilan formal saja. Wallahua’lam.