Nyai Abidah adalah salah satu tokoh perempuan di Indonesia yang kiprahnya tidak bisa diabaikan. Beliau adalah putri Nyai Khairiyah dan cucu Kiai Hasyim Asy’ari. Lahir pada tahun 1924. Beliau tumbuh besar dan dikenal sebagai ‘Ibu Kartini dari Jombang’.
Sebutan sebagai ‘Ibu Kartini dari Jombang’ mungkin kurang begitu populer bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun, sebutan ini mulai dikenal secara global, setidaknya, sejak diterbitkannya buku Eka Srimulyani di Universitas Amsterdam pada tahun 2012. Dalam buku Women from Traditional Islamic Educational Institutions in Indonesia (2012:95), Eka Srimulyani mengatakan bahwa menurut penuturan informannya, Nyai Abidah adalah ‘Ibu Kartini dari Jombang’.
Meskipun ini hanya dituturkan oleh salah satu informan Eka Srimulyani, julukan sebagai ‘Ibu Kartini dari Jombang’ rasanya tidak berlebihan mengingat kiprah Nyai Abidah yang begitu besar. Pasalnya, kiprah beliau sebagai figur perempuan di masa-masa menjelang dan awal kemerdekaan Indonesia bukan hanya terasa dalam dunia pendidikan, namun juga dalam dunia politik.
Eka Srimulyani dalam Women from Traditional Islamic Educational Institutions in Indonesia mencatat bahwa satu-satunya pesantren yang menerima santri perempuan di Jombang pada awal-awal abad kedua puluh adalah Pesantren Denanyar. Kiai Bisri Syansuri selaku pendiri pesantren mulai menerima santri perempuan pada tahun 1919. Meski begitu, penerimaan santri putri secara formal baru mulai berjalan sejak didirikannya madrasah khusus putri di Pesantren Denanyar pada tahun 1930.
Pada tahun 1939, pesantren perempuan di Jombang mulai bertambah dengan berdirinya Pesantren Seblak. Pesantren ini sebenarnya sudah berdiri sejak tahun 1921 di bawah kepemimpinan Kiai Maksum Ali dan Nyai Khairiyah. Namun, hingga pada tahun 1938, pesantren ini hanya memiliki santri putra.
Berdasarkan keterangan Eka Srimulyani, Pesantren Seblak baru mulai menerima santri perempuan setelah Nyai Abidah melanjutkan kepemimpinan pesantren pada tahun 1939. Jumlah santri putri pada awalnya masih sedikit. Kegiatan belajar mengajar juga masih diselenggarakan di kediaman Nyai Abidah sendiri. Setelah semakin dikenal adanya penerimaan santri putri di Pesantren Seblak, jumlah santri putri kemudian menjadi semakin bertambah banyak.
Meskipun semakin dikenal, bukan berarti kegiatan pembelajaran selalu dilakukan secara terbuka di pesantren. Bukan karena adanya penentangan dari sebagian ulama terhadap berdirinya pesantren perempuan, namun karena disebabkan oleh situasi politik saat itu.
Pada rentang tahun 1942 hingga 1945 misalnya, dinyatakan bahwa kegiatan pembelajaran terkadang dilakukan secara tertutup dan sembunyi-sembunyi, seperti di halaman belakang rumah Nyai Abidah dan di sawah, karena pada waktu itu kegiatan di pesantren selalu diawasi oleh tentara kolonial.
Tentu saja, Nyai Abidah tidak sendirian. Ada beberapa figur penting yang ikut membantu kesuksesan Nyai Abidah dalam mengelola pesantren putri. Di antaranya adalah suaminya sendiri, Kiai Mahfudz Anwar, ulama ahli falak. Dukungan dan bantuan beliau pada Nyai Abidah bisa dibilang signifikan sekali terhadap kesuksesan kegiatan belajar mengajar.
Selain suaminya adalah pamannya sendiri, Kiai Wahid Hasyim. Atas dorongan Kiai Wahid Hasyim, Nyai Abidah bukan hanya mengajar di Pesantren Seblak, namun juga di Pendidikan Guru Agama (PGA) Putri di Jombang. Dengan mengajar di kedua lembaga ini, tidak jarang Nyai Abidah berkonsultasi kepada Kiai Wahid Hasyim, terlebih ketika mengajar di PGA yang dinilai lebih sulit.
Meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan formal dan hanya belajar kepada Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahid Hasyim, dan Nyai Khairiyah, hal ini tidak lantas menghalangi kiprah Nyai Abidah untuk terjun di dunia politik. Berkat aktif di Muslimat NU, ia mampu menjadi anggota DPRD di Jombang pada tahun 1950.
Menarik dicatat, di tahun tersebut Nyai Abidah sebenarnya masih mengurus anaknya yang masih kecil dan juga masih mengurus Pesantren Seblak. Tiga pekerjaan dalam waktu bersamaan seperti ini tentunya bukan pekerjaan yang mudah bagi semua orang. Namun, kapasitas Nyai Abidah dalam mengatasi semua itu tampak teruji dengan baik tanpa harus mengabaikan salah satu di antaranya.
Sebagai contoh adalah antara tanggung jawabnya sebagai Ibu dan anggota DPRD. Nyai Abidah mampu melakukan keduanya secara bersamaan dengan baik. Meskipun suaminya, Kiai Mahfudz, sudah menyatakan kesediaannya untuk merawat anaknya yang masih kecil, Nyai Abidah tetap tidak mau mengabaikan anaknya begitu saja. Lily Zakiyah Munir, putri Nyai Abidah, bahkan menceritakan bahwa dirinya pernah disusui oleh Nyai Abidah pada waktu sedang berada di kantor DPRD.
Setelah menjadi anggota DPRD Jombang, kiprah Nyai Abidah semakin meluas ketika menjadi anggota Konstituante Republik Indonesia (KRI) pada tahun 1956-1959. Nyai Abidah adalah satu dari tujuh perempuan yang berasal dari Partai Nahdhatul Ulama. Meskipun hanya anggota, posisi ini tetap saja sangat signifikan bagi Indonesia. Mengingat tugas KRI adalah menyusun konstitusi baru untuk Indonesia sebagai pengganti Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Setelah KRI dibubarkan pada tahun 1959, kiprah Nyai Abidah terus berlanjut di pemerintahan ketika dipilih sebagai Hakim Agama di Pengadilan Agama Jombang selama dua periode berturut-turut. Periode pertama dari tahun 1960 hingga 1964, dan periode kedua dari tahun 1965 hingga 1968.
Pada paruh kedua abad kedua puluh, peran perempuan sebagai hakim agama masih menjadi perbincangan hangat di lingkungan NU. Berdasarkan penelusuran Eka Srimulyani, tercatat hasil Bahsul Masail yang diterbitkan di Majalah Tebuireng Jombang tahun 1986 masih cenderung tidak membolehkan perempuan untuk menjadi hakim. Alasannya karena perempuan kurang akalnya.
Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan kiprah Nyai Abidah yang mampu menjadi hakim, Eka Srimulyani kemudian berpandangan bahwa Nyai Abidah adalah salah satu perempuan unggul pada masanya. Karena dia mampu mematahkan anggapan tentang kurangnya akal pada perempuan.
Begitulah sekelumit kiprah dari Nyai Abidah, Ibu Kartini dari Jombang.