Bulan Ramadan tiba. Sebagaimana biasanya, umat Islam di seluruh dunia, di bulan ini menjalankan ibadah puasa. Ibadah tahunan tersebut dijalankan oleh umat Islam karena merupakan salah satu rukun atau unsur pokok agama Islam.
Semenjak turunnya ayat 183 Surat Al-Baqarah, puasa Ramadan sah menjadi salah satu ibadah wajib yang harus dilakukan oleh umat Islam. Konsekuensinya bahkan cukup berat, menurut Abdullah bin Husain dalam Risalah fi Al Shiyam, status kafir bisa melekat bagi orang yang tidak mengakui kewajiban puasa sebagaimana ia tidak mengakui kewajiban shalat dan rukun Islam lainnya.
Dalam ayat tersebut setidaknya ada tiga aspek yang terkandung. Pertama, aspek yuridis. Aspek ini, dengan redaksi “Kutiba alaikum al shiyam”, memberi ketentuan hukum bahwa puasa Ramadan hukumnya wajib dijalankan.
Kedua, aspek historis. Aspek historis dari ayat tersebut, dengan memahami redaksi “kama kutiba ala alladzina min qablikum” menerangkan bahwa sebelum umat Nabi Muhammad diperintah berpuasa, umat Nabi sebelumnya terlebih dahulu sudah diwajibkan puasa meskipun dengan teknis dan bentuk ritual yang berbeda.
Nabi Daud dengan puasa sehari dan sehari berbuka serta Siti Maryam (Q.S. Maryam {19}: 26) yang berpuasa dengan tidak berbicara, bisa menjadi contoh puasa umat sebelum Nabi Muhammad.
Ketiga, aspek spiritual. Puasa yang diatur oleh syariat diharapkan mampu meningkatkan ketakwaan -yang disebut oleh Abdullah Al Haddad dalam risalah Al mudzakarah dengan menukil pendapat Al Ghazali sebagai upaya membersihkan hati (la’allakum tattaqun).
Dengan berpuasa, manusia mampu lebih mendekat kepada sang khalik dengan berupaya menjalankan seluruh perintahnya dan menjauhi larangannya.
Harus Menahan Hasrat Konsumerisme
Sayangnya, fenomena yang muncul akhir-akhir ini justru sebaliknya. Puasa yang seharusnya menjadi media melatih menahan hawa nafsu, seolah hanya sebagai formalitas belaka. Sebagian umat Islam hanya sebatas mengubah jadwal makan. Menjelang fajar makan sahur berlebihan dan waktu malam dijadikan sebagai pelampiasan.
Selain itu, pada bulan Ramadan masyarakat berubah tampak lebih konsumtif. Tingkat konsumsi makanan semakin tinggi. Setiap hari harus berpikir membeli makanan serba manis, berlebihan dan bahkan kalau perlu tampak mewah.
Alasannya sederhana, “berkah Ramadan”. Padahal apabila ditinjau dari esensinya, justru dengan puasa seseorang harus mampu menahan hasrat konsumerisme, termasuk hasrat berbuka dan sahur berlebihan.
Situasi lebih mengerikan terjadi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Menjelang lebaran masyarakat yang kebanyakan Muslim itu justru memadati pasar, pusat perbelanjaan dan toko-toko pakaian serta aksesoris lainnya.
Padahal sepuluh hari terakhir ini justru waktu paling sakral. Di sana -sebagaimana penjelasan para ulama, di antaranya Abu Bakar Syatha dalam I’anah Al Thalibin- kemungkinan terbesar datangnya Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Selain itu berbagai riwayat juga menjelaskan bahwa sepuluh hari terakhir bulan Ramadan adalah hari pembebasan dari neraka sebagaimana dipaparkan Nawawi al-Bantani dalam Bahjah Al Wasail. Di sini umat Islam seharusnya memperbanyak ibadah dan semakin dekat dengan Tuhan.
Masjid-masjid seharusnya semakin ramai dengan lantunan Qur’an dan dzikir dan surau-surau semakin sesak dengan kehadiran jamaah. Bukan sebaliknya: Masjid dan surau sepi ditinggal jamaah yang beralih meramaikan pusat perbelanjaan.
Konsumerisme berlebihan itu -menurut penulis- adalah penghalang tercapainya tujuan puasa yang sesungguhnya, yakni ketakwaan pada Tuhan. Ukurannya sederhana. Setelah Ramadan, seharusnya umat Islam tetap dalam bingkai spiritualitas tertinggi, mampu menjaga ibadah dan perilaku, serta mampu memberi kontribusi pada tatanan sosial yang lebih baik.
Apabila belum mampu menahan hasrat konsumerisme, maka puasa yang dijalankan umat Islam tersebut masih sebatas rutinitas formal tahunan semata. Puasa yang dijalankan baru sampai tahap menggugurkan kewajiban, belum menyentuh sisi spiritual yang sesungguhnya.
Puasa tersebut hanya sebatas menahan lapar di siang hari, sementara di malam hari konsumsi jauh melampaui batas kewajaran. Setelah Ramadan usai, Idul Fitri hanya menjadi momentum selebrasi. Seolah-olah menang, padahal gagal.
Oleh sebab itu, supaya tujuan puasa tercapai, umat Islam harus kembali menghayati betul esensi puasa. Sebagaimana petuah Nabi, menjalankan puasa untuk mengagungkan Ramadan harus dengan iman dan ihtisaban bersungguh-sungguh mengharap Ridha Allah.