KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau sering disapa Gus Baha adalah sosok ulama yang kini sangat populer, terutama kalangan yang menyimak berbagai ceramah dan ngajinya diunggah para content creator di media sosial. Faktor utama popularitas Gus Baha salah satunya adalah karena ilmunya di bidang tentang keislaman yang luas dan mendalam.
Selain itu, penampilannya pun sederhana dan cara penyampaian yang santai serta mudah dipahami. Sehingga siapa saja yang mendengarkannya akan mudah tercerahkan.
Tak heran bila sebagian masyarakat ada yang penasaran tentang bagaimana sebenarnya proses dan metode belajarnya Gus Baha ketika mondok khususnya di Pesantren Al-Anwar, Sarang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Gus Baha, saat mengisi acara bedah kitab Adabul Alim wal Muta’allim karangan KH Hasyim Asya’ari, menjelaskan metode belajarnya saat proses menuntut ilmu di pondok pesantren yang diasuh almaghfurlah KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) di Sarang, Jawa Tengah dulu.
Menurutnya, salah satu metode yang digunakan sang guru yaitu santri membaca dan guru menyimak. Model tersebut dilakukan oleh sang kiai hingga wafat.
“Dulu saat belajar kitab Shohih Muslim, saya yang baca sendiri dan disimak. Saya biasa sorogan dan baca kitab di depan Mbah Moen. Jadi saya percaya diri saja baca kitab di sini. Di depan Mbah Moen saja berani,” katanya dalam acara yang berlokasi di Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, seperti dikutip dari situs NU Online.
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menambahkan, cara lain yang digunakan Mbah Moen yaitu meminta santrinya menulis teks khutbah Jumat sekaligus membacanya dalam waktu yang relatif singkat.
“Dulu kalau Mbah Moen menguji santri maka diminta buat teks khutbah. Jika satu jam sebelum khutbah sudah siap, maka tandanya sudah hebat,” imbuh Gus Baha.
Dikatakan Gus Baha, metode yang digunakan Mbah Moen cocok dengan pesan pendiri Nahdlatul Ulama KH M Hasyim Asy’ari di dalam kitab Adabul Alim wal Muta’allim. Di kitab tersebut, Kiai Hasyim meminta santri mentashih bacaannya kepada guru sebelum menghafal.
“Di kitab Adabul Alim wal Muta’allim ada pesan Mbah Hasyim tentang pentingnya menjaga kualitas ilmu. Pesannya yaitu melakukan kroscek bacaan di hadapan guru,” ujar kiai kelahiran Kabupaten Rembang tahun 1970 itu.
Pesan Kiai Hasyim tersebut, menurut Gus Baha sangat penting. Berdasarkan pengalaman pribadinya saat mengajar di Sarang, Gus Baha menemukan ada bacaan kitab santri yang keliru. Jika tidak dibenarkan maka berakibat fatal.
“Waktu mengajar di madrasah milik Mbah Moen, saya pernah dengar bacaan kitab Arbain Nawawi santri yang membaca handuk atau anduk. Saya kaget, ternyata maksudnya endok atau telur. Ada yang kasih makna bom, padahal bumi makna aslinya,” beber Gus Baha.
Karena meniru metode Mbah Moen dan pesan Kiai Hasyim tentang tidak boleh menyakinkan bacaan sendiri sebelum ditashih gurunya. Maka Gus Baha sampai saat ini masih menerima sorogan santri.
“Saya mohon sekali, kualitas ilmu harus dijaga. Saya masih menerima sorogan hingga saat ini. Jangan sampai ada yang baca umaryoto, aslinya imriti,” tandas Gus Baha. (Syarif Abdurrahman/Syamsul Arifin)