Di bulan Muharam, ada dua tanggal yang bersejarah bagi masyarakat muslim yaitu tanggal 1 dan 10 Muharam. Perjalanan Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah di 14 abad yang lalu memang diabadikan sebagai penanda awal penanggalan di kalangan muslim, dan 10 Muharam diingat dalam sejarah Islam sebagai peristiwa politik berdarah di masa awal keislaman.
Oleh sebab itu, menarik dipertanyakan bagaimana dinamika isu keislaman, terutama isu Islam politik, di dunia maya sepanjang tahun 1441 Hijriah?
Pertanyaan ini muncul karena isu politik Islam di ranah internet seakan tidak pernah habis diperbincangkan, dan malah terus membesar karena gerakan mereka yang cukup massif justru makin diminati oleh masyarakat muslim di Indonesia.
Ada tiga hal penting yang diperbincangkan dalam esai ini, terkait dinamika dunia maya dan isu-isu keislaman. Yaitu ruang perdebatan, audien atau pembaca, dan fenomena slacktivism. Saya menilai tiga hal ini sangat mungkin mempengaruhi besar dinamika isu keislaman di dunia maya, terlebih di media sosial.
Dalam asumsi saya, saat arus informasi sebagai jembatan dan sumber kekuatan dalam dunia maya, yang sekarang didominasi oleh gerakan Islam politik setelah mulai menggeliat pasca Orde Baru. Mereka telah mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan internet sebagai inkubator pergerakan sosial dan ruang pertarungan baru di ranah politik. Di antara ruang perdebatan, audien, dan fenomena slacktivism, arus informasi adalah sisi penghubung paling penting.
Kehadiran internet bagi gerakan Islam politik telah memberikan ruang pertarungan baru di ranah sosial-politik. Yaitu sebagai ruang pertarungan terbuka terhadap negara bagi kebanyakan kalangan penyokong Islam politik. Hal ini membuat spasial di dunia maya selaras dengan apa yang ditulis Henri Lefebvre soal Ruang Sosial, sebuah ruang diproduksi secara sosial dan berfungsi sebagai alat pemikiran dan tindakan, sebagai alat produksi, kontrol, dominasi, dan kekuasaan.
Dalam pertarungan narasi dan wacana di dunia maya, gerakan Islam politik memang memiliki keuntungan besar di wilayah ini. Sebab, internet telah menjadi lahan subur dalam menumbuhkan kesadaran politik Islam lewat pengorganisasian, perekrutan hingga mobilisasi massa. Namun, ada yang sering luput perhatian penggiat dan Negara dalam pertarungan wacana atau narasi di internet yaitu indepedensi audien.
Perbincangan soal audien di dunia maya atau media sosial belum banyak diperhatikan. Sebagai agama yang paling banyak memiliki pemeluk, perbincangan Islam dan media sosial dalam bingkai audien adalah hal yang tak terhindarkan dalam dinamika dunia maya di tahun 1441 H. Jumlah warganet muslim yang tidaklah sedikit dan jumlah informasi yang beririsan dengan agama jelas besar, kondisi ini yang akan mempengaruhi dinamika Islam politik di dunia maya dalam perjalanan sepanjang tahun ini.
Politik digital Indonesia sekarang dalam kajian politik digital masuk dalam kategori demokrasi kompleks, hal ini juga berdampak pada partisipasi dan konsumsi warganet, termasuk yang muslim, di ranah perpolitikan. Kondisi ini ditandai dengan media massa besar, seperti televisi, masih memiliki kontribusi besar dalam menyumbang informasi keagamaan kepada mayoritas masyarakat Indonesia. Namun di saat yang bersamaan, warganet muslim juga mengkonsumsi informasi Islam politik dari sumber yang “cair”.
Makna diksi “cair” merujuk pada media alternatif yang memproduksi konten yang lebih luas ketimbang berita politik saja yang beredar di media yang juga alternatif, seperti media sosial. Sehingga, perhatian publik bisa saja berubah menjadi sangat fokus jika ada sebuah isu atau objek menarik, terutama yang beririsan dengan agama.
Informasi kemudian semakin cepat tersebar dan bisa berdampak cukup luas dalam waktu singkat dengan kemunculan media sosial. Kemampuan prosumer yaitu memproduksi dan mengkonsumsi sekaligus dimiliki oleh warganet, menjadikan informasi yang diterima bisa dijadikan informasi yang baru dan bisa diubah dengan mudah sesuai keinginan.
Oleh sebab itu, video Ahok dan berita Meliana bisa diberi makna baru untuk membangkitkan atau mengaduk emosi umat Islam dan berdampak luas dengan sangat cepat, tanpa ada yang bisa menghentikannya.
Sebuah pertanyaan muncul, informasi seperti apa yang mampu mengaduk-aduk emosi warganet?
Wilayah sakral (baca: suci) dari agama atau ideologi mayoritas penduduk dunia maya adalah jawaban sebagai faktor paling dominan dalam menyebabkan segregasi dalam masyarakat. Karena, ada faktor proximity (kedekatan) yang dulu bermakna sangat geografis namun di dunia maya adalah isu yang paling dekat dengan emosi masyarakat (baca:umat). Jadi, jika wilayah tersebut coba digoyang, maka respon kontra-produktif mudah muncul. Emosi warganet menjadi mudah tersulut dan rentan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Di tengah antara arena pertarungan wacana, terombang-ambingnya konsumsi informasi hingga betapa mudahnya warganet tersulut emosi, fenomena slacktivism atau clicktivism adalah hal patut diperbincangkan walau ini masih baru dalam kajian media, khususnya media sosial.
Slacktivism tersebut berasal dari dua kata yaitu slack (arti: malas) dan acitivism (arti: gerakan), merujuk pada aktivitas politik yang tinggi di media sosial namun berbanding terbalik dengan rendahnya tingkat komitmen di ranah gerakan dunia nyata.
Lema tersebut menegaskan bahwa aktivitas gerakan politik di dunia maya yang mendapatkan respon bagus tidak selalu selaras antara komitmen dan jumlah pengklik tombol like (suka) atau love tersebut. Jumlah like tidak menjamin isu atau informasi yang diklik tersebut akan mendapatkan dukungan dalam gerakan massa di dunia nyata. Fenomena slacktivism memang lebih akrab dengan kalangan millenial yang sedang mencari identitas.
Disadari atau tidak, media sosial dengan segala platformnya berfungsi penuh dalam membangun kesadaran. Sehingga, dengan platform media sosial yang terus berkembang, organisasi massa juga harus bekerja keras untuk menciptakan kampanye yang inovatif dan dirancang khusus yang tidak hanya membangun kesadaran audien, tetapi juga mempertahankannya. Karena, pencarian identitas keislaman yang juga sedang mewabah di generasi millenial, yang menjadi objek dakwah kalangan Islam politik, menuntut pada “kesadaran identitas bersama” yang kemudian membentuk kekuatan relasi yang semakin luas.
Informasi yang dibagikan di media sosial yang lebih laku ke depan adalah informasi yang dikemas dalam bingkai relasi setara dan bungkus yang menarik. Tidak peduli apakah informasi tersebut mengandung unsur ekstrimisme atau radikalisme, karena bungkus informasi menarik lebih cenderung diterima ketimbang pesan yang disampaikan secara kaku.
Arkian, tumbuh suburnya slacktivism di kalangan anak muda millenial juga akan menambah warna perkembangan Islam politik dalam bernegosiasi dengan nilai-nilai yang sesuai dengan karakter mereka. Dinamika pergerakan massa dalam isu Islam politik, jika menelisik kondisi di atas akan lebih banyak ditentukan dari inovasi pesan, kemasan informasi hingga kreativitas .
Islamisme yang sedang menjadi arus utama akhirnya harus bernegosiasi dengan nilai-nilai tersebut seperti gaya hidup dan bahasa anak muda namun tetap dibingkai dalam narasi Islam politik. Sehingga, wacana Islam politik di sepanjang tahun depan dalam arena pertaruangan narasi sepertinya akan lebih bernuansa ajakan yang inovatif pada kalangan millenial untuk lebih terlibat di gerakan mereka (baca: offline), karena penyesuaian audien dan fenomena slacktivism.
Bujukan tersebut harus dikemas dengan narasi anak muda, suasana yang instagramable hingga model gerakan media sosial yang semakin kuat. Jika, sebuah organisasi Islam, termasuk NU dan Muhammadiyah, yang tidak mampu beradaptasi maka berpotensi ditinggalkan oleh kalangan millenial sebagai penerus masa depan.