Kitab suci Al-Qur’an dalam sejarahnya diturunkan kepada Nabi selama 22 tahun lebih beberapa bulan. Kitab suci itu berisi kandungan ayat-ayat berbagai macam petunjuk dan peraturan yang disyariatkan, karena beberapa sebab dan hikmah yang bermacam-macam. Ayat-ayatnya diturunkan melalui Malaikat Jibril sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh Rasulullah.
Susunan ayat-ayat dan surah-surahnya ditertibkan sesuai dengan yang terdapat di lauh al-mahfudh, sehingga tampak adanya persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat yang lain dan antara surah yang satu dengan surah yang lain. Karena itu, timbul cabang dari ulumul Qur’an yang khusus membahas persesuaian-persesuaian tersebut. Ilmu ini dinamakan ilmu Munasabah atau Ilmu Tanasubil Ayati Was Suwari.[1]
Sebagaimana Asbabun Nuzul yang mempunyai pengaruh pada pemahaman terhadap tafsir ayat-ayat Al-Qur’an, maka pengetahuan tentang munasabah juga bisa membantu dalam menakwili dan memahami ayat secara baik dan cermat.
Munasabah dalam pengertian bahasa berarti (al-muqarabah) kedekatan. Seperti halnya seseorang mengatakan, “Si Anu munasabah dengan si Fulan” berarti ia mendekati dan menyerupai si Fulan itu. Dalam hal ini yang dimaksud munasabah adalah sisi hubungan (korelasi) antara kata dengan kata lain di dalam satu ayat, atau antara ayat dengan ayat, atau antara surah dengan surah.[2]
Sama halnya Al-Zarkasyi yang juga menerangkan bahwa munasabah berarti al-muqarabah yang bermakna kedekatan, kemiripan, dan keserupaan.[3] Sedangkan Al-Baqa’i menjelaskan munasabah merupakan suatu ilmu untuk mengetahui mengenai alasan-alasan sistematis perurutan bagian-bagian Al-Qur’an.[4]
Orang pertama yang menulis Ilmu Munasabah ini ialah Imam Abu Bakar An-Naisaburi (324 H.), kemudian disusul oleh Abu Ja’far Ibnu Zubair yang mengarang kitab Al-Burhanu fi Munasabati Suwari al-Qur’ani dan diteruskan oleh Burhanuddin Al-Buqa’i yang menulis kitab: Nudzumud Durari Fi Tanasubil Aayaati Was Suwari dan As-Suyuthi yang menulis kitab Asrarut Tanzili Wa Tanasuqud Durari Fi Tanasub al-Ayati wa al-Suwari serta M. Shodiq Al-Ghimari yang mengarang kitab Jawahir al-Bayani fi Tanasub Suwar al-Qur’ani.[5]
’Ulum al-Quran sebagai metodologi tafsir sudah terumuskan secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriah, yaitu saat munculnya dua kitab ’Ulūm al-Qur’ān yang sangat berpengaruh sampai kini, yakni al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, karya Badruddīn al-Zarkasyī (w.794 H) dan al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, karya Jalāluddīn al-Suyūthī (w. 911 H).
Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat Al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Sebagaimana tampak dalam salah satu metode Tafsir Ibn Katsīr “al-Qur’ān yufassiru ba’dhuhu ba’dhan”, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka memahami kitab suci harus utuh. Jika tidak, maka akan masuk dalam model penafsiran yang sepotong-sepotong (atomistik).[6]
Dari perdebatan akademik tentang munasabah yang diperbincangkan di atas, secara garis besar dapat dipetakan menjadi dua aliran. Pertama, pihak yang menyatakan bahwa memastikan adanya pertalian erat antara surat dengan surat dan antara ayat dengan ayat, dengan kata lain, perlu adanya munasabah.
Kedua, golongan atau pihak yang menganggap bahwa tidak perlu adanya munasabah ayat, karena peristiwanya saling berlainan, alasannya yakni: (1) kelompok kedua berargumen bahwa Al-Qur’an diturunkan dan diberi hikmah secara tauqifi[7], hal ini atas petunjuk dan kehendak Allah; (2) bahwa satu kalimat akan memiliki munasabah bila diucapkan dalam konteks yang sama. Karena Al-Qur’an diturunkan dalam berbagai konteks, maka ia tidak memiliki munasabah.[8]
Sebagai produk ijtihad, maka adanya berlainan pendapat di kalangan mufassir adalah hal yang wajar. Oleh sebab itu tidak tepat suatu hasil ijtihad mengikatkan orang lain untuk mengikuti atau menolaknya.[9]
Kendati kalangan ulama berbeda, namun dalam tulisan akan tetap menjelaskan pendapat yang menyatakan bahwa munasabah itu perlu ada dalam pembahasan ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Ilmu munasabah berfaedah dalam memahami keserasian antarmakna, mukjizat Al-Qur’ansecara retorik, kejelasan keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya. Al-Zarkasyi menyebutkan manfaat munasabah adalah menjadikan sebagian pembicaraan berkaitan dengan sebagian lainnya, sehingga hubungannya menjadi kuat, bentuk susunannya kukuh dan bersesuaian bagian-bagiannya seperti sebuah bangunan sangat kukuh.[10]
Selain itu, faedah lain dari mempelajari ilmu munasabah ini masih banyak, antara lain sebagai berikut:
Pertama, setiap ayat mempunyai aspek hubungan dengan ayat sebelumnya dalam arti hubungan yang menyatukan, seperti perbandingan atau perimbangan antara sifat orang mukmin dengan sifat orang musyrik, antara ancaman dengan janji untuk musyrikin, penyebutan ayat-ayat rahmat sesudah ayat-ayat azab, penyebutan ayat-ayat anjuran sesudah ayat-ayat ancaman, ayat-ayat tauhid dan kemahasucian Tuhan sesudah ayat-ayat tentang alam, dan seterusnya.
Kedua, aspek terhadap lawan bicara. Sebagaimana dalam surah al-Ghasyiyah ayat 17-19:
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
Penggabungan antara unta, langit, dan gunung-gunung di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, di mana kehidupan mereka bergantung pada unta sehingga mereka amat memperhatikannya. Maka apabila penghuni padang pasir, di mana kehidupan mereka bergantung pada unta sehingga mereka amat memperhatikannya. [12]
Munasabah atau kaitan bagian Al-Qur’an yang satu dengan yang lain itu bisa bermacam-macam, jika dilihat dari berbagai seginya. Jika munasabah ditinjau dari segi sifat munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam, yaitu:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
Ayat tersebut menerangkan isra’ Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya, ayat 2 surah Al-Isra tersebut yang berbunyi:
وَآتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ
Ayat tersebut menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s. Persesuaian antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang Nabi/ Rasul tersebut.
Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 surah Al-Baqarah dengan ayat 190 surah Al-Baqarah. Ayat 189 surah Al-Baqarah tersebut berbunyi:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Ayat tersebut menerangkan bulan sabit/tanggal untuk tanda-tanda waktu dan jadwal ibadah haji. Sedangkan ayat 190 surah Al-Baqarah berbunyi:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا
Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya atau hubungan yang satu dengan yang lainnya samar.
Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 surah Al-Baqarah mengenai soal waktu untuk haji. Sedang ayat 190 surah Al-Baqarah menerangkan bahwa sebenarnya, waktu haji itu umat Islam dilarang berperang, tetapi jika mereka diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.[13]
[1] Ridlwan Nasir, Ulumul Quran, Cet-II, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1999), h. 153.
[2] Manna’ al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 91-92.
[3] Badruddin Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Turats, 1984), h. 61.
[4] Burhanuddin al-Baqa’i, Nadhmu al-durar fi Tanasub al-Ayati wa al-Suwar, (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, 1984), h. 6.
[5] Abdul Jalal, Ulumul Quran, Cet-II, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1999), h. 153.
[6] Hasani Ahmad Said, Menggagas Munasabah Al-Quran Peran dan Model Penafsiran Al Quran, Hunafa: Jurnal Studia Islamika Vol. 13, No. 1, Juni 2016, h. 4-5.
[7] Tauqifi ialah ketentuan yang dijelaskan langsung oleh syari’ (Allah).
[8] Hasani Ahmad Said, Menggagas Munasabah Al-Quran…, h. 23-24
[9] Muis Sad Iman, Al-Munaasabah (Cabang Ulumul Qur’an), Tarbiyatuna, Vol. 7 No. 1 Juni, 2016, h. 11-12.
[10] Aroemni Drajat, Ulumul Qur’an: Pengantar Ilmu-Ilmu Quran, (Depok: Kencana, 2017), h. 56.
[11] Abdul Jalal, Ulumul Quran…, h. 153.
[12] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, cet ke-13, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), h. 139-140.
[13] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an…, h. 156-157.