Menyuarakan emansipasi perempuan bisa dilakukan dengan beragam cara, salah satunya melalui seni. Adalah Nasida Ria, grup kasidah modern tertua, beranggotakan 9 perempuan, tampil menyemai nilai-nilai islami melalui lagu-lagunya yang selalu membumi di hati masyarakat.
Grup bentukan (Alm.) H. Muhhamad Zain pada tahun 1975, dan sekarang di bawah managemen Abdul Choliq Zain ini gencar menyuarakan isu-isu global seperti lingkungan, bencana, kritik sosial-politik, dan isu perempuan.
Syair lagunya dibuat berbahasa Indonesia (meskipun beberapa berbahasa arab) agar lebih mudah diterima oleh masyarakat. “Tentu bersumber dari al-Qur’an dan Hadits,” kata sang pencipta lagu, Abu Ali Haidar.
Dari sisi produktifitas, Nasida Ria menunjukkan angka yang fantastis di mana grup kasidah yang sangat hits di era 80-90 an ini telah memiliki lebih dari 34 album, serta memiliki kurang lebih 350 lagu. Namun, di antara banyak lagu tersebut, bagaimana lagu-lagu Nasida Ria yang membincang perempuan?
Penulis melakukan penelusuran serta interpretasi minimalis terhadap lagu Nasida Ria, dan berikut merupakan emansipasi yang hendak disuarakan oleh mereka.
Sebelum kedatanganmu dunia gelap gulita
Manusia tak mengenal ke-esa-an Tuhannya
Yang lama diperbudak dan diperas yang perkasa
Gunung harta memisahkan si miskin dan si kaya
Wanita diperdagangkan untuk pemuas nafsu.
Bait ini tertera pada lagu berjudul “emansipasi”. Nasida Ria agaknya ingin menggambarkan betapa perempuan sebelum Islam datang tidak dinilai layaknya sebagai manusia. Sisi ontologisnya sebagai manusia direduksi.
Ia tidak lebih hanya sebagai barang dagangan semata. Ia adalah liyan dari laki-laki, bukan manusia, sehingga kejahiliyahan menempatkan perempuan pada titik terendah.
Alhamdulillah kau datang Muhammad oh… nabi..
Dengan nur tauhid kau terangi gelapnya dunia
Derajat manusia kau sejajarkan dalam taqwa
Dalam syafa’at kau pertemukan sang miskin dan yang kaya
Wanita menemukan derajat emansipasinya.
Dalam bait ini, Nasida Ria mengafirmasi bahwa Nabi Muhammad saw., merupakan sosok revolusioner, yang membawa Islam pada perubahan terutama dalam bidang ketuhanan dan kemanusiaan. Tauhid yang dibawanya merupakan alat untuk menyadarkan manusia bahwasanya yang patut disembah adalah Allah semata.
Sebagaimana yang ditulis oleh beberapa cendekiawan Muslim dan pegiat keadilan gender seperti Prof. Musdah Mulia, KH. Faqihudin Abdul Kodir, dan Nyai Nur Rofi’ah, bahwa sejatinya konsep tauhid menerangkan bahwa posisi tertinggi dan yang patut disembah adalah Tuhan, bukan laki-laki.
Bertauhid yang benar akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang harmonis dan bahagia yang sejati. Tauhid juga membebaskan manusia dari jeratan kezaliman berupa diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. (Musdah Mulia, 2020).
Konsep tauhid menjadikan laki-laki dan perempuan berada pada level yang sama, yakni sesama manusia. Perbedaan keduanya bukan pada kelas-kelas manusia, namun pada ketakwaan masing-masing individu.
Sebagaimana dalam Qs. al-Hujurat (49): 13. Takwa sendiri merupakan tolok ukur, standar manusia di hadapan Tuhan yang melahirkan kemaslahatan bagi manusia. (Nur Rofi’ah, 2020).
Masih terkait dengan Tauhid, lagu berjudul “Masyitoh Indonesia” juga menjadi cerminan bagaimana seorang perempuan mempertahankan keimanannya bahkan ketika diancam hukuman mati yang mengerikan.
Tokoh Masyitoh yang tercatat dalam sejarah itu bagi penulis laksana uswatun hasanah, melawan stigma perempuan makhluk perasa dan sedikit akalnya. Tokoh Masyitoh justru membuktikan bahwa ia adalah makhluk intelektual, berpendirian dan diselimuti keberanian, bahkan pada bara api yang disiapkan untuk melahapnya.
Ia dengan segala pengetahuannya meyakini bahwa iman-Islam adalah jalan kebenaran. Masyitoh tak gentar mempertahankan apa yang telah menjadi pilihannya.
Nasida Ria pun dalam syair lagunya hendak memuliakan seorang ibu. Dalam lirik lagu disebutkan “Ibu kaulah wanita yang mulia//derajatmu 3 tingkat dibanding ayah//kau mengandung, melahirkan, menyusui//mengasuh dan merawat..”
Bait lagu Nasida Ria ini sangat menarik sebab memunculkan kepekaan terhadap pengalaman biologis perempuan yang acap kali dipandanag sebelah mata dan sebatas mesin reproduksi. Hal ini tentu menjadi sumber ketidakadilan gender.
Ya, hanya karena ia seorang perempuan ia didiskriminasi. Pengalaman biologis ini seharusnya justru menjadi apresiasi kepada perempuan sebagai makhluk mulia, dari rahimnya melahirkan generasi-generasi penerus bangsa.
Pengalaman perempuan tersebut juga sepatutnya menjadi sebuah perspektif dan bukan terbatas sebagai topik. Jika pengalaman biologis ini dipandang sebagai perspektif, maka hal ini akan menjadi pertimbangan untuk merumuskan keadilan dalam kehidupan sosial.
Lagu selanjutnya menurut penulis dapat menggambarkan sisi seksualitas perempuan. Seperti “wajah ayu untuk siapa”. Lagu yang sempat booming beberapa waktu lalu oleh warganet, ternyata menyimpan makna bahwa ke-ayu-an perempuan tidak sembarang dinikmati oleh laki-laki.
Ke-elokan dan keayuan tersebut mempersyaratkan hanya untuk lelaki beriman dan bertakwa. Bukan pada sembarang laki-laki yang berkacamata nafsu.
Selanjutnya lagu berjudul “wanita dan kecantikan”. Siapa sangka Nasida Ria merespons dikotomi gender yang menempatkan perempuan sebagai makhluk yang senang merias diri. Lewat lagu ini, make up dan berdandan bukan sesuatu yang dianggap ribet, mencari-cari perhatian, sumber fitnah dan lain sebagainya.
Keunikan tersebut dianggap sebagai kebutuhan dan diperbolehkan. Secara tidak langsung lagu ini mendorong perempuan untuk berani mengekspresikan diri dengan rasa tanggung jawab, bukan untuk mencari perhatian semata.
“Hey Sabar dulu jangan merayu//aku kan belum milikmu” adalah penggalan lagu berjudul “Jangan Merayu”. Syair lagunya dapat diinterpretasikan sebagai kepemilikan tubuh perempuan seutuhnya sebagai hak pribadinya, bukan milik orang lain.
Perempuan berhak menolak sesuatu yang berbau seksis atas dasar pengetahuannya. Seksualitas dalam sudut pandang keadilan gender berarti memberikan akses, kontrol yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Mereka berhak berkata ‘tidak’ atas apa yang menjadi pilihan mereka. Seperti tidak mau dirayu dan ini memberi kesan tegas. Perempuan dengan kesadarannya menggunakan tubuhnya secara bermartabat.
Mari menyorot pada sisi lain Nasida Ria. Mereka membuktikan bahwa perempuan dapat mengaktualisasikan diri, mereka adalah contoh bahwa gerakan emansipasi tak perlu keluar dari ruang privat perempuan.
Mereka berdaya dan memberdayakan banyak kalangan, dari segi ekonomi maupun kebudayaan, baik laki-laki maupun perempuan. Alhasil, Nasida Ria menjadi pusat perhatian masyarakat. Mode pakaian dan hijab ikonik yang dikenakan menjadi trend fashion muslimah Indonesia kala itu.
Nasida Ria berhasil mendefinisikan makna identitas perempuan muslimah Indonesia. Nasida Ria adalah role model kita semua untuk terus meningkatkan kemampuan, untuk berdaya dan memberdayakan perempuan.
Sumber:
Nur Rofi’ah, Nalar Kritis Muslimah: Refleksi atas Kemanusiaan, Keperempuanan dan Keislaman. Bandung: Afkaruna.id
Musdah Mulia. Ensiklopedia Muslimah Reformis. Tangerang: Baca, 2020.
Hilmy Firdausy. “Nasida Ria; Dari Kiblat Fesyen, Bias Gender Hingga Kritik Industrialisme”. dalam harakah.id/nada-dakwah-nasida-ria-dari-kiblat-fesyen-bias-gender-hingga-kritik-atas-industrialisme/
Akun instagram dan Youtube Nasida Ria.