KH Ahmad Asrori al-Ishaqi merupakan sosok penuntun dan pengayom umat terutama bagi murid-muridnya. Tutur katanya yang lembut kerap kali menjadi solusi dan tuntunan bagi umat hari ini meskipun beliau sudah wafat.
Dalam salah satu pengajiannya, beliau memberikan sebuah nasihat dalam kiat untuk mengontrol dan menjaga kebersihan hati atau rohaniyah manusia.
Kiai Asrori menuturkan, banyak orang merasa dekat dengan Allah tetapi ketika Allah sudah mendekat kepada hamba tersebut dengan membawa berbagai ujian, musibah, dan fitnah justru malah menjadikan hatinya ingkar dan tidak menerima ketetapan tersebut. Padahal seseorang harusnya mengetahui bahwa segala musibah yang menimpanya juga merupakan pemberian dari Allah dan tanpa kita inginkan.
Segala hal yang datang dari Allah walaupun berupa barang yang tidak menyenangkan dan tidak diterima dalam hati adalah lebih utama dan lebih mulia daripada apa saja yang dihaturkan kepada Allah baik berupa ilmu, ibadah, dzikir, dan perjuangannya. Sebaik apapun sesuatu kalau itu masih berasal dari sendiri yang diajukan kepada Allah pasti masih ada cacat dan kurangnya.
Sejatinya berbagai macam musibah adalah pemberian Allah kepada hambanya. Hal ini bukan berarti sebagai bentuk ketidaksukaan Allah kepada hambanya yang diuji.
Adanya ujian berupa musibah ini adalah sebuah pemberian yang menentukan seberapa kuat dan besar hati orang yang diuji. Tetapi dalam kenyataannya, banyak orang-orang yang tidak kuat mental dalam menghadapi ujian sehingga mereka menyangkal kenikmatan dari Allah.
Sebaliknya, segala pemberian dan nikmat yang diberikan Allah sebenarnya juga merupakan sebuah ujian yang perlu kita mawas diri. Terkadang seseorang yang diberi berbagai macam kenikmatan malah merasa bangga diri dan tidak kuat ketika sewaktu-waktu Allah mengambil nikmat tersebut dengan mendatangkan berbagai ujian.
Hal ini disebabkan karena hati orang tersebut yang sudah terpaut dengan dzahirnya kenikmatan tanpa melihat sejatinya pemberi nikmat. Senada dengan hal tersebut, Imam Ibnu Atha’illah as-Sakandari mengatakan dalam kitab al-Hikam :
“Tidak setiap orang yang memperoleh keistimewaan sepenuhnya terbebas dari dorongan hawa nafsu.”
Maqalah tersebut mengungkap bahwa tidak setiap orang yang sudah memiliki keistimewaan, keagungan, atau kekeramatan itu sepenuhnya benar-benar istimewa dan bahkan banyak yang tidak sempurna di dalam hatinya. Orang-orang tersebut memang secara zahir diberi keistimewaan dan kemuliaan tetapi dalam kenyataan di dalam hatinya masih merasa berharap dan memiliki bagian dari Allah berupa merasa istimewa dan mengaku-ngaku akan nikmat itu.
Dalam hal ini, Kiai Asrori memberikan sebuah solusi untuk menyelamatkan hati dari hal-hal tersebut. Beliau menganjurkan kepada setiap orang untuk selalu mujahadah diri dan memarahi hatinya sendiri. Dalam artian selalu menepis setiap kali hati merasa ujub dan melakukan hal yang melenceng. Mujahadah ini sebaiknya dibiasakan agar nantinya terbiasa dan dapat digunakan dalam mengontrol diri.
Al-Imam Syihabuddin Umar as-Suhrowardi pernah suatu ketika didatangi seorang muridnya untuk menanyakan suatu masalah. Dia bertanya tentang seseorang yang hatinya mudah riya dan ujub ketika dilihat orang, maka apakah sebaiknya orang itu terus beribadah atau tinggal dan beribadah sendirian?
Maka dijawab oleh Imam Syuhrowardi untuk tetap melakukan ibadah. Jika dalam perjalanan ibadahnya dia benar-benar menghadapi hal seperti itu maka hendaknya dia menolaknya, dan memohon ampun kepada Allah.
Tujuan Imam Suhrowardi dalam menganjurkan untuk tetap beribadah meskipun riya adalah beliau tahu bahwa rekayasa seseorang yang seperti itu malah menjadikan orang itu tidak berangkat beribadah. Hal ini merupakan tipu daya setan untuk menyesatkan manusia.
Maka seseorang yang beribadah harus menolak tipuan hati ketika dalam situasi tersebut. Dan inilah yang disebut mujahadah.
Seyogyanya, setiap orang harus mengetahui bahwa kemuliaan, keagungan yang didapatkan olehnya adalah urusan hak Allah sehingga tidak berhak untuk diakui dan merasa miliknya sendiri. Tetapi hal ini pun sulit untuk dilakukan bagi orang awam mengingat fitrah manusia yang tak bisa dilepaskan dari kekurangan dan kesalahan.
Terlepas dari hal itu, manusia juga dituntut untuk selalu berusaha memperbaiki diri dalam segala hal terutama dalam masalah rohaniah. Wallahu A’lam bis Sawaab.