Ngaji Gus Baha: Cara Ulama Menyikapi Pelaku Maksiat
KH. Bahauddin Nursalim atau Gus Baha dalam pengajiannya di Pusat Studi Al-Quran (PSQ) Jakarta, belum lama ini, menjelaskan pentingnya melakukan “amar ma’ruf nahi munkar” dengan aturan ulama. Di antara aturan yang harus ditegakkan, kata Gus Baha, adalah jangan sampai “nahi munkar” itu justru mendatangkan kemungkaran yang lebih besar.
Beliau memberikan contoh, apabila ada orang melakukan maksiat seperti mabuk di jalan, ibunya pasti sangat sedih. Kadang-kadang atas nama nahi munkar ada orang yang menegurnya. Tetapi karena tidak terima ditegur, orang itu kemudian justru membunuh si penegur.
Inilah contoh nahi munkar yang justru mendatangkan kemungkaran lebih besar. Bisa jadi ibunya masih menoleransi maksiat karena mabuk, namun maksiat karena membunuh tentu menjadi maksiat yang lebih berat.
Begitu pula misalnya ada orang yang rajin ke masjid untuk shalat berjamaah, namun cara berpakaiannya masih belum menutup aurat. Kita harus mempunyai perhitungan apakah kita harus menegur cara berpakaiannya atau tidak. Kalau ternyata gara-gara kita tegur orang itu jadi tidak shalat, maka lebih baik tidak usah kita tegur.
Salah satu kelemahan orang sekarang, menurut Gus Baha, adalah banyak yang tidak siap mendakwahi ahli maksiat. Padahal di zaman Rasulullah, yang didakwahi bukan hanya pelaku maksiat, melainkan orang yang masih kafir.
Lalu bagaimana para ulama memandang seorang pelaku maksiat?
Dulu di zaman nabi banyak orang yang mabuk, judi, dan hal-hal buruk lainnya. Namun, mereka yang berstatus fasik tersebut tidak diasingkan begitu saja. Sebagaian sahabat bereaksi keras terhadap mereka dan memperlihatkan ketidaksukaannya. Sebagian sahabat lainnya tidak bereaksi alias bersikap pasif. Sebagian lagi melihat pelaku maksiat dengan panuh kasih sayang.
Melihat pelaku maksiat dengan penuh kasih sayang dengan membina dan menyayangi mereka bagi kelompok ketiga ini adalah sarana menarik simpati agar merekaa menjadi baik. Menurut Gus Baha, kelompok ketiga inilah yang sangat khas Walisongo.
Dengan memahami beragam cara pandang ini, kalau kita melihat Walisongo atau kiai yang tidak reaktif terhadap pelaku maksiat atau bahkan malah membinanya, jangan sampai kita berpikiran kiai tersebut tidak nahi munkar. Sikap itu ada ilmunya, dan yang menjelaskan adalah Imam Ghazali, orang yang diberi gelar “hujjatul Islam”.
Kelompok yang ketiga ini tidak memutus hubungan dengan pelaku maksiat. Tetapi, yang perlu digarisbawahi, alasan tidak memutus hubungan dengan pelaku maksiat adalah karena niat ingin membina agar mereka menjadi lebih baik. Inilah yang dulu dilakukan misalnya oleh Gus Mik Ploso.
Landasan sikap kelompok ketiga ini adalah kesadaran bahwa salah satu nikmat besar dari Allah adalah “mualafah”, merasa nyaman dengan saudara kita meskipun beda ormas, beda kultur, dan sebagainya. Kebencian itu, terang Gus Baha, tidak termasuk nikmat yang dihitung Allah. Jadi jangan mentang-mentang demi nahi munkar yang ada hanyalah kebencian.
Al-Qur’an telah jelas mengatakan bahwa termasuk pemberian Allah terbesar adalah merasa nyaman, merasa penuh kasih sayang. Bahkan Rasulullah yang kekasih Allah saja tidak bisa mengendalikan rasa itu. Walaupun digelontorkan dana yang sangat besar untuk melakukan rekonsiliasi nasional, misalnya, hal itu tidak akan bisa karena “mualafah” itu urusan hati.
Kita tidak bisa dipaksa menyukai seseorang walaupun diberi iming-iming uang banyak. Demikian pula kita tidak perlu diberi iming-iming apa pun untuk menyukai seseorang. Kita tidak bisa menyukai seseorang yang selalu berbuat jahat kepada kita, tetapi kalau Allah sudah menghendaki, semua bisa.
Kadang kita punya teman dan sudah lama kenal namun tak bisa menyukainya. Sebaliknya, kita tidak pernah bertemu seseorang tetapi begitu melihat pertama kali langsung suka. Itu semua membuktikan bahwa persoalan “mualafah” adalah urusan Allah.
Menurut penjelasan Gus Baha, berdakwah dengan penuh kasih sayang lebih efektif karena manusia pada dasarnya adalah hamba kebaikan (al-insan abdu al-ihsan). Apabila ada dua orang penjaga warung, yang satu salehah tetapi tidak pernah senyum dan tidak mau memberi hutang, sedangkan yang satunya lagi tidak begitu salehah namun murah senyum dan mau memberi hutang, pasti kita memilih yang kedua.
Di sini Gus Baha mengingatkan kita bahwa jangan-jangan banyak orang melakukan maksiat dan tertarik menuju tempat-tempat maksiat karena kemudahan dan kenyamanannya. Sementara untuk pergi ke tempat-tempat kebaikan, ke rumah orang saleh harus melakukan sekian prosedur yang tidak mudah.
Inilah alasan kenapa para kiai sering merangkul dan membina anak-anak muda. Para kiai itu sering mengajak mereka makan dan melakukan hal-hal yang membuat senang.
Pada intinya, bagi Gus Baha kebaikan tidak boleh menjadi problem. Semua kebaikan, bahkan termasuk ritual ibadah seperti shalat, harus mempertimbangkan aspek sosial. Dulu Nabi pernah menyalahkan Muadz bin Jabal karena ketika menjadi imam shalat terlalu lama. Betapa indahnya agama ini, ibadah sesakral shalat saja bisa dikompromikan.
Sikap terhadap pelaku maksiat, sebagaimana dijelaskan Gus Baha, adalah detail-detail yang sejak dulu orang berbeda pendapat. Hal itu wajar karena setiap orang memiliki kadaaan, psikologi, dan latar belakang yang berbeda-beda. Ada orang yang gampang menyayangi orang lain karena trauma, ada yang mudah marah pada orang lain karena dendam, dan seterusnya.
Yang jelas, dengan dakwahnya yang merangkul dan membina para pelaku maksiat, Walisongo dapat mengislamkan Nusantara.