Disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmizi, Nabi Muhammad pernah menyatakan bahwa doa merupakan intisari ibadah, (ad-du’au mukhkhul ibadah). Adapun alasannya ialah: pertama, berdoa sama halnya dengan menjalankan perintah Allah; kedua, doa mampu memutus pengharapan kepada selain Allah. Keterangan tersebut sekaligus menunjukkan betapa pentingnya seorang hamba memanjatkan doa kepada Allah Swt.
Penjelasan tentang doa ini sering disinggung oleh KH. Bahauddin Nursalim atau Gus Baha dalam berbagai kesempatan. Misalnya ketika beliau mengutip pendapat Sayyid Abdullah al-Haddad yang menyatakan bahwa doa itu tidak penting mustajab (diijabahi) atau tidak, karena doa itu sudah ibadah. Doa juga sudah bentuk penghambaan diri kepada Allah dan menjadi bukti bahwa hamba itu lemah sehingga meminta kepada Allah.
Menurut Gus Baha, jika setiap orang yang berdoa kepada Allah hanya berdasar keinginan hati, maka ia juga berharap supaya yang dipanjatkan dikabulkan oleh Allah Swt. Berbeda halnya apabila doa juga didasari dengan ilmu.
Orang berilmu tatkala berdoa akan sadar bahwa ia sekadar hamba, dan sudah selayaknya jika hamba itu memohon pada Dzat yang bisa memberi. Dengan landasan ilmu itu, diberi atau tidak diberi, dikabulkan maupun tidak, maka yang dilakukannya adalah kebenaran, karena ia hanya meminta pada Dzat yang benar.
Lantas Gus Baha menyebutkan seutas syair yang sangat masyhur di Indonesia, karangan Sayyid Abdullah al-Haddad, yang berisi tentang kelemahan seorang hamba dan pentingnya doa.
“Telah cukuplah bagiku pengetahuan Tuhanku akan permintaan dan usahaku. Doa dan permohonanku merupakan bukti kefakiranku”
Berkenaan doa sebagai bentuk pengakuan bahwa Allah adalah Dzat yang memberi, beliau juga mencontohkan interaksi yang terjadi antara pembantu dengan majikan. Ketika seorang pembantu meminta kepada majikan, maka pembantu itu sama dengan menunjukkan kelemahannya kepada majikannya, menunjukkan bahwa ia adalah seorang buruh, sekaligus mengakui bahwa yang dimintai adalah seorang majikan yang memiliki memampuan di atasnya. Begitu juga ketika berdoa kepada Allah, maka seseorang menunjukkan bahwa dirinya lemah sekaligus mengakui kekuasaan Allah Swt.
Jika sudah demikian, maka urusan hati ingin dikabulkan tadi, akan menjadi urusan kesekian. Yang terpenting, perasaan kita bisa menghamba. Bukti penghambaan itu ialah bahwa kita bisanya hanya meminta kepada Allah, tidak bisa berjasa, apalagi menggurui Allah. Oleh karenanya, dalam berdoa kita tidak sepatutnya menggurui Allah supaya menuruti apa yang kita minta.
Gus Baha kemudian menyebutkan sebuah kisah yang terdapat dalam kitab Al-Hikam, berkenaan dengan doa seorang hamba yang dekat dengan Allah Swt. Dikisahkan ada seorang hammal (kuli panggul) yang biasa mengangkut barang di suatu pasar. Dengan mengangkat barang dari kendaraan atau menurunkannya itu, maka ia mendapat upah sebagaimana mestinya.
Begitu mendapat upah yang sekiranya cukup untuk biaya makan dirinya sendiri hari itu, maka ia mencukupkan pekerjaannya dan memutuskan pulang. Hari-hari pun berlalu seperti yang ia jalani biasanya.
Pernah suatu waktu setelah ia menjalani pekerjaannya, ia merasakan mengeluh dengan yang ia jalani. Sehingga ketika pulang, ia bergumam sembari memanjatkan doa kepada Allah Swt., “Ya Allah, saya ini hamba-Mu. Fokus saya itu hanya ibadah. Tetapi karena saya miskin, maka saya harus tersibukkan dengan bekerja. Ya Allah, saya ingin mendapatkan rezeki tanpa harus bekerja, supaya dapat memanfaatkan waktu untuk beribadah kepada-Mu.”
Singkat cerita, Allah ternyata benar-benar mengabulkan doa yang ia panjatkan, tetapi dengan cara yang unik dan mungkin tak pernah ia sangka-sangka. Suatu saat ia mendapat musibah, yakni dituduh mencuri. Hingga menyebabkannya dipercajara sebab tuduhan yang mengarah kepadanya. Di penjara itu, ia setiap hari mendapatkan makanan tanpa perlu susah payah mencari uang untuk makan.
Karena kejadian yang menimpanya itu, ia pun kembali mengeluh kepada Allah dengan mempertanyakan mengapa ia dipenjara. Setelah beberapa waktu tinggal di penjara, ia teringat bahwa pernah meminta kepada Allah supaya diberi rezeki tanpa perlu bekerja.
Ia lupa bahwa salah satu cara mendapatkan rezeki tanpa bekerja ialah dengan dipenjara. Di penjara pula, ia akhirnya bisa fokus beribadah tanpa perlu sibuk memikirkan dunia. Sejak saat itu, hamba yang dekat dengan Allah tadi menjadi lebih berhati-hati ketika berdoa.
Jadi khayalan manusia itu memang terkadang repot kalau dituruti. Gus Baha mencontohkan ketika ada orang yang berdoa meminta dijadikan kaya supaya dapat merawat ribuan anak yatim, fakir, dan miskin. Doa seperti itu jika dituruti tentu repot.
Memang di satu sisi niatnya baik untuk menolong orang lain. Tetapi di sisi lain, Allah harus membunuh ribuah bapak atau harus menciptakan ribuan orang fakir dan miskin.
Kemudian Gus Baha berpesan supaya kalau berdoa itu jangan sampai seakan-akan menggurui Allah Swt. Karena doa kalau sesuai hati kita saja itu kadang seenaknya, meski yang diinginkan baik. Lebih lanjut, berdasar pendapat ulama, Gus Baha menjelaskan bahwa doa yang aman dan paling baik untuk dipanjatkan itu ialah doa yang warid atau ada sanadnya hingga Rasulullah saw. Wallahu a’lam bish shawab.