KH Bahauddin Nursalim atau yang akrab dengan sebutan Gus Baha dalam suatu majelis pengajian bersama para santri menjelaskan tentang apakah sama sanksi bagi orang yang batal puasa karena ‘begituan’ (jimak) dan makan.
Berikut penjelasan Gus Baha:
Orang yang membatalkan puasa lewat jimak (berhubungan intim) itu kan sanksinya berat.
Sanksinya ini karena jimak apa karena hatqu hurmati rhamadhan bi ghairi udzrin syar’iyyin (merusak kehormatan bulan Ramadhan tanpa uzur syara’)?
Menurut Imam Malik, itu sanksinya karena merusak kehormatan bulan Ramadhan tanpa uzur syara’.
Sehingga tidak jimak pun hukumnya sama. Misalnya makan tanpa uzur syara’, ya hukumnya sama. Kenapa sama? Jimak istri hukumnya apa? Halal apa haram? Halal kan. Makan juga hukumnya halal.
Maka kalau itu kamu lakukan di siang hari Ramadhan tanpa udzur syara’, maka sanksinya sama-sama berat. Hal ini karena dianggap sama-sama melecehkan kehormatan Ramadhan.
Menurut Imam Syafi’i, jimak sama makan mulai dahulu sudah beda. Kamu makan wajib mandi ndak? Ndak. Kalau jimak? Wajib.
“Kan beda!”
Ya beda itu maksudnya ndak sama. Ya sudah, Imam Syafi’i memberi sanksi untuk jimak, untuk makan tidak.
Wong podo pintere kan yo penak (Kalau sama pintarnya kan enak).
Seng ora penak iku podo gobloke, nek debat podo sok pintere. Iku nek debat ora bar bar (Yang gak enak itu sama bodohnya, kalau debat sama sok pintarnya. Itu kalau debat, gk selesai-selesai).
Kulo nek arep debate wong-wong iku kudu guyu. Malah melok goblok. Ngerungokno tok melok goblok (saya kalau dengar debatnya orang-orang itu ingin ketawa. Malah ikut bodoh. Denger aja jadi ikut bodoh).
Wong debat ogomo kok gak ono referensi. Ra ono kitab pe. Awakmu muni menurut saya. Emangnya Anda penting? (Debat agama kok tidak ada refrensinya. Gak ada kitabnya. Kamu ngomong menurut saya).
Wali ora, ulama ora, debat agama kok muni menurut saya (Wali bukan, ulama bukan, debat agama kok mengatakan menurut saya).
Memangnya Anda mujtahid!
Seharusnya tidak!
“Menurut kitab yang saya baca, dalam mazhab Syafi’i kitabnya ini, begini.”
Yang satunya bantah, “Dalam mazhab Maliki, kitabnya ini”.
Ini keren! Aku teko neng majelise (aku datang ke majelisnya).
Debat kok menurut saya, emang Anda siapa? Nabi ndak, wali ndak, ulama ndak, agama kok menurut Anda. Suargomu ora mesti kok! (debat kok menurut, Anda memang siapa? Nabi bukan, wali bukan, ulama bukan, kok menurut Anda. Surgamu tidak pasti kok!).
Makanya dibiasakan pakai referensi, pakai sanad. Agama ini butuh sanad!
اِنَّ هذا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
Inna haadzal ‘ilma diinun. Fandzuruu ‘amman ta’khudzuuna diinakum.
“Agama ini ilmu, ilmu ini agama. Maka lihatlah ilmu itu kamu ambil dari mana.”
Lihat di Muqaddimah Shahih Muslim. Karena tanpa sanad itu bahaya! (Riski Maulana Fadli)
Simak sumber video pengajian berikut ini: klik >> “Gus Baha – Sanksi Puasa”