KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang sering disapa Gus Baha dalam suatu majelis pengajian kitab bersama para santri menjelaskan tentang alasan kenapa hutang harus segera dibayar. Seperti apa penjelasannya?
Berikut ini penjelasan Gus Baha:
Saya ceritakan kepada sampean beberapa perilaku orang alim. Ini saya punya sanad kitab Khilyatul Auliya’. Kitab ini adalah induknya Ihya’ Ulumiddin.
Imam Al-Ghazali sampai-sampai bisa mengarang Ihya’ karena menginduk kitab yang dikarang tahun 300. Khilyatul auliya’ dikarang oleh Abu Nua’im Al-Ashfihani. Satunya lagi kitab Qutubul Qulub dikarang Abu Thalib al-Makki.
Dahalu ulama selalu khilaf. Misalnya ada ulama jenis Musthofa (santri Gus Baha). Ada pencuri meninggal karena oplosan. Musthofa lalu tidak mau menshalati karena alasan, “Nanti jadi syiar ada kiai kok nyolati (menshalatkan) orang meninggal minum oplosan.”
Saya juga pernah mengalami seperti itu. Ada orang meninggal bunuh diri, tidak ada yang mau menshalatkan. Beda desa. Bingung semua.
Yang mau nyolati malah orang-orang alim. Malah beruntung si mayit itu. Orang awam tidak ada yang berani.
Begini ceritanya, kalau dalam hadits Nabi. Ada orang hutang 2 dinar. Nilai 1 dinar itu sekitar 4 gram emas. Sedangkan 2 dinar sekitar 8 gram. Kalau dikali 300.000 (rupiah) berarti 2.400.000.
Nabi itu seni memang, oleh karena itu harus hormat kiai-kiai alim. Bagaimanapun adat di Indonesia awalnya menganut ke Nabi.
Nabi datang dan berkata, “Apa orang ini punya hutang?”
“Benar ya Rasulullah, dia punya hutang 2 dinar.”
Nabi balik kanan tidak mau menshalati. Nabi kalau dengan hutang tidak cocok. Nabi tidak cocok kalau umatnya hutangnya banyak.
Tetapi unik. Ketika akan meninggalkan jenazah, Nabi bersabda, “Shollu ala shohibikum. Kamu shalatlah, aku tidak usah.”
Nabi pulang. Ditututi oleh Sahabat Qatadah (bin Nu’man).
“Ya Nabi, hutang itu tanggungan saya,“ kata Qatadah.
Sehingga mayit itu terbebas hutang. Padahal dia bukan ahli warisnya, tetapi orang lain.
Lalu Nabi berbalik badan dan bersedia menshalati jenazah tersebut.
Adat para kiai Jawa ketika melepas jenazah bilang, “Kalau ada hutang diminta ngibrokno (membebaskan hutang). Apabila berat, maka diminta menagih ahli waris.
Itu bagus karena Nabi tadi mengkonfirmasi bahwa apabila ada hutang yang ditanggung mayit, Nabi enggan menshalatinya.
Tapi, ada satu jeleknya di Jawa, “Lek ono utang diibrakno nggeh” (Kalau ada hutang dibebaskan ya). Orang yang jawab “nggeh” malah yang tidak memberi hutang, justru orang yang menghutangi malah diam saja. Itu kan kasus.
Setelah dua hari Nabi memanggil Qatadah. “Yaa Qatadah, apakah kamu sudah bayar hutangnya?”
“Belum, ya Rasulullah”
“Aku masih melihat dia masih dibakar api. Bayar sekarang karena kamu yang menyanggupi membayar.”
Kemudian Qatadah segera membayar.
“Sekarang kulitnya sudah adem.”
Nah jeleknya kalau di Jawa, mayit punya hutang ditagih seminggu setelah kematian dianggap tidak etis.
“Baru meninggal seminggu kok ditagih hutang”. Ditunggu setahun lagi. Malah semakin lama panasnya (di alam kubur).
Harusnya keluarga apabila sayang mayit, hari kedua ketiga harus diselesaikan. Jangan menggunakan etika, “Tidak etis habis meninggal kok nagih hutang”. Tidak boleh begitu. Demikian keterangan pada era Nabi. (Hafidhoh Ma’rufah)
Simak sumber video pengajian ini di sini.