KH. Ahmad Muwafiq (Gus Muwafiq) menyampaikan uraian menarik ketika menjadi pembicara dalam silaturahim dan halalbihalal Keluarga Besar Nahdlatul Ulama (KBNU) Majalengka Jawa Barat belum lama ini.

Sebagian yang disampaikannya adalah tentang wawasan “bursa efek, perbankan, dan teknologi”.  Penyampaian itu dimaksudkan supaya mindset orang NU, yang selama ini “terjebak” dengan anggapan “haram” terhadap beberapa isu kekinian, berubah lebih terbuka dan bisa masuk mempelajari ilmu tersebut.

Dunia ini diciptakan dari kata “Kun (كن) ” yang merupakan derivasi makna dari “kana (كان)” . كان tidak bisa lepas dari “waakhwatuha (واخواتها)”. Sehingga terbentuklah “sistem”. Bagaimana sistem keuangan: mulai dari perbankan, bursa efek, sampai pembangunan masjid sekalipun.

“Agama saja tidak mampu menyelesaikannya,” tutur Gus Muwafiq. Makanya kiai, ulama yang benar, selalu hati-hati dalam mengeluarkan hukum halal atau haram. Sebab semuanya berkesinambungan (واخواتها).

Hadist ” من يرد الله به خيرا يفقهه فى الدين ” selama ini kita maknai sebatas “يفقهه فى الدين” difaqihkan dalam urusan agama. Bagaimana tata cara shalat dengan baik dan benar, dipelajari dari ilmu agamanya, rukun, syarat sah dan sunahnya. Tetapi kita tidak pernah memikirkan dari segi dunianya “واخواتها “. Bagaimana air wudu didapatkan, bagaimana masjid bisa dibangun, dan lain-lain.

Gus Muwafiq mencontohkan yang paling jelas dan klasik adalah “hukum perbankan”. Jika ada yang mengatakan keharaman bank maka wajib konsisten untuk tidak menggunakan uang kertas karena ini merupakan produk bank.

Bagaimana bangun masjid, pergi haji jika bank dihukumi haram? Disambung juga dengan  hukum rokok yang menghasilkan bea cukai sebagai salah satu sumber APBN yang digunakan untuk infrastruktur pembangunan.

Sejauh pengetahuan saya, kata Gus Muwafiq, sistem dicetaknya uang kertas sebagai alat tukar yang sah. Pemerintah memberikan wewenang kepada BI (Bank Indonesia) untuk mencetak uang (tanpa ada intervensi pemerintah). Kemudian uang tersebut ditransmisikan kepada bank-bank konvensional dan lain-lain.

Dan, pasti disalurkan kepada rakyat melalui kredit untuk membangun perekonomian. Timbullah transaksi jual beli yang dikenakan Pajak. Pajak inilah merupakan salah satu sumber APBN pemerintah. Sistem inilah yang terus berputar dan berkesinambungan.

Makna ”  يفقه فى الدين ” ternyata “faqih” dalam segala aspek. Bahkan ulama sekarang hampir semua mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Jual beli sudah pakai uang kertas, tidak lagi barter. Komunikasi tidak lagi harus bertatap muka, tapi menggunakan surat atau HP. Itu semua adalah “sistem” atau واخواتها.

Selanjutnya, literasi keuangan kita yang minim membuat selalu terjadi gesekan dengan pemerintah. Saat ada wacana pemindahan ibu kota baru ke daerah Waktu Indonesia Tengah  yang waktu tersebut lebih cepat 1 jam dari Jakarta, justru banyak sekali masyarakat yang kontra.

Padahal dilihat dari ekonomi hal itu memberikan pengaruh etos kerja. Jam kerja pemerintah akan lebh cepat 1 jam. Dan tidak ada lagi saham-saham yang sisa dan jelek diperjualbelikan di Indonesia, tetapi bersaing dengan negara tetangga Malaysia, Singapura, dan lain-lain.

Jika pemerintah dan rakyatnya kompak dan bersatu maka NKRI ini akan menjadi sebuah negara maju dan percontohan dunia. Terbukti NKRI ini terdiri dari berbagai bangsa, suku dan budaya tetapi tetap berdiri dalam 1 Negara yaitu NKRI.

Apa yang disampaikan Gus Muwafiq adalah keseimbangan. Beragama (khususnya Islam) dan bernegara harus dapat dipahami dan tidak dapat dipisahkan. Beragama saja, hasilnya akan selalu menyalahkan pemerintah. Bernegara saja, hasilnya akan otoriter.

Timbul pertanyaan, apakah ayat dalam Al-Qur’an yang diawali ” ومن ءايته ”  (kholqusamawati wal al-ard, an kholaqolakum azwaja, dan lain-lain) ini sedang mengajarkan kita tentang “keseimbangan”? Ada langit dan bumi, laki-laki dan perempuan. Lebih jauhnya negara dan agama, pemasukan dan pengeluaran, dan seterusnya, merupakan dua hal berbeda yang tidak dapat dipisahkan.

Topik Terkait: #Gus Muwafiq

Leave a Response