Ramadan tahun ini serasa istimewa bagi saya. Keistimewaan tersebut ada pada suasana pengajian online via livestreaming di facebook yang diinisiasi oleh beberapa cendekiawan dan kiai pondok pesantren. Saya menamakan pesantren virtual, pesantren yang cair dan siapa pun serta dari latar belakang apa pun diperbolehkan mengikutinya.
Dunia maya menjadi semacam pesantren global yang menampung berbagai santri dari berbagai latar belakang untuk mengikuti pengkajian Islam yang diampu oleh seorang kiai atau cendekiawan. Inilah fungsi lain dari kemanfaatan sosial media di era milenial ini.
Pengajian daring yang saya sering ikuti adalah pengajian kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali oleh Cendekiawan Nahdhatul Ulama (NU) Ulil Abshar Abdallah, setiap malam pukul 21.00-22.00 WIB. Pengajian kitab Bidayatul Hidayah, kitab tasawuf dasar karya Hujjatul Islam Al-Ghazali, oleh Kiai Mustofa Bishri (Gus Mus) lewat akun Youtube Gus Mus Channel saban hari pukul 20.00-22.00 WIB dari pondok pesantren Raudhotut Thalibin Leteh, Rembang.
Dalam amatan saya, pengajian Live streaming via facebook belum ada pada Ramadan dua tahun yang lalu lalu. Bahkan tahun lalu suasana medsos kita didominasi oleh ustadz karbitan yang begitu dangkal keilmuwan Islam mereka. Ketika itu para kiai dan cendekiawan NU belum menguasai panggung media sosial.
Pengajian daring yang diadakan oleh para kiai dan cendekiawan NU merupakan perwujudan dari keinginan untuk mendeseminasikan gagasan Islam moderat, menghargai perbedaan, dan keragaman serta ingin memberikan suara lain kepada warganet.
Gus Ulil Abshar Abdallah misalnya memilih kitab Ihya Ulumiddin yang kesohor sebagai kitab tasawuf karena melihat fenomena maraknya intoleransi dan meningkatnya eskalasi radikalisme yang membahayakan. Sufisme menjadi oase penyejuk kekeringan spiritualitas yang penting untuk dibaca sebagai obat mujarab radikalisme.
Medsos menjadi panggung untuk direbut dan diisi dengan content sejuk, damai, dan tidak menebarkan ujaran kebencian. Syi’ar pengajian posonan di medsos ternyata menjadi viral dan menjadi pembicaraan. Bahkan Ulil Abshar Abdallah setelah Ramadhan kebanjiran tawaran untuk kopdar (Kopi Darat) mengaji kitab Ihya Ulumiddin di berbagai daerah dan bahkan hingga ke Korea.
Ramai ngaji Ramadhan daring ala pesantren memiliki banyak manfaat, di antara manfaatnya–menurut amatan penulis adalah banyak nilai-nilai yang terdapat di dalam kitab yang diajarkan, yang perlu diunggah secara online untuk membendung radikalisme yang marak akhir-akhir ini. Sebagai contoh dari pengajian kitab Ihya’ulumidin karya hujjatul Islam Al-Ghazali, yang diampu oleh KH Ulil Abshar Abdallah, pentingnya menjaga hati. Hati oleh Al-Ghazali didefinisikan dengan lathifatun rabbaniyatun ruhaniyah (sesuatu yang lembut, bersifat ketuhanan, bersifat ruhaniyah yang terdapat dalam diri manusia dan bahkan hakikat/esensi kemanusiaan).
Hati tidak dalam pengertian organ tunggal, yang ada di sebelah kiri dada manusia, tetapi hati dalam konteks ruhaniyah. Hati menempati posisi yang penting dalam konteks sufisme. Oleh Imam Ghazali, diibaratkan sebagai raja atau ratu, sementara tubuh manusia adalah kerajaanya.
Jika hati seseorang baik maka apa yang dikeluarkan dari anggota tubuhnya juga akan baik, dan sebaliknya jika hati jahat, maka yang keluar dari manusia juga akan jahat dan destruktif. Ketika seseorang bisa menjaga hatinya, maka dia akan bisa mengontrol apa yang keluar dari mulutnya, atau apa yang akan dituliskan lewat tanganya.
Ketika berhadapan dengan medsos (twitter, facebook dan lain-lain) seseorang yang bisa mengontrol hati akan lebih mampu untuk menjaga diri tidak menyebarkan berita hoax, atau menyebarkan susupan paham radikal. Dia akan lebih dulu melakukan klarifikasi atau tabayun kepada pihak yang berwenang. Jadi ngaji daring tasawuf sebetulnya juga dapat menjadi benteng pertahanan dari ideologi radikalisme dan terorisme. Wallahu A’lam Bi Ashwaab