Nyai Hj Durroh Nafisah merupakan putri keempat dari KH Ali Maksum dan Nyai Hj. Hasyimah Munawwir Krapyak. Beliau lahir di Bantul, 18 Agustus 1954. Saat ini beliau menjadi pengasuh di Bait Tahfidz An-Nafisah Pesantren Ali Maksum Krapyak Yogyakarta.
Beliau mengaji dan menghafal Al-Qur’an di Pesantren Krapyak sejak kecil, dan melanjutkan pendidikan keagamaanya di Pesantren Al-Hidayat Lasem. Selain Al-Qur’an, beliau juga memperdalam kitab-kitab kuning di Pondok Pesantren Kempek Cirebon.
Bu Nafis, begitu sapaan akrab dari santri-santrinya, merupakan salah satu Bu Nyai yang nyentrik dan serba bisa. Beliau terampil dalam hal yang di luar bidang keagamaan, salah satunya pandai menyetir mobil sejak masa mudanya.
Ada beberapa hal yang bisa diteladani dari sosok Nyai Hj. Durroh Nafisah bagi perempuan masa kini, di antaranya adalah cinta kebersihan. Nyai Hj. Durroh Nafisah merupakan sosok perempuan yang sangat peduli dan cinta terhadap kebersihan. Beliau tidak segan-segan untuk ikut memantau langsung hal-hal yang menyangkut dengan kebersihan santri setiap hari.
Bahkan ada jam ngaji khusus yang diganti dengan ngaji kebersihan agar tertanam kuat jiwa kebersihan pada diri masing-masing santri, karena mencintai kebersihan adalah upaya untuk memenuhi sebagian iman seorang Muslim.
Penampilan menjadi hal yang penting bagi seorang perempuan. Pepatah Jawa mengatakan “Ajining raga saka busana” kepribadian dan kehormatan seseorang tergantung dari caranya berbusana. Oleh karena itu, Nyai Nafisah memberikan contoh untuk tampil berpakaian rapi dan syar’i.
Ketika mengaji pun, santri-santrinya diwajibkan berseragam agar dipandang rapi. Santri yang tidak berseragam biasanya dikenai hukumaan untuk murajaah pada jam pengajian tahfidz.
Sering sekali beliau ngendikan bahwa “Gusti Allah itu indah dan menyukai keindahan”. Tercermin dari lingkungan tempat beliau tinggal yang sangat rapi dan serba indah untuk menjadi barang contoh kepada santrinya.
Beliau mengadakan ekstrakurikuler angklung di komplek pesantren asuhannya dengan mendatangkan pelatih khusus setiap minggunya. Hal itu bertujuan agar para santri tidak hanya mengaji Al-Qur’an, tetapi juga mengaji kesenian supaya mereka turut serta melestarikan budaya Nusantara.
Melanjutkan maqolah dari ayahandanya, KH. Ali Maksum “dadi santri iku ojo kagetan ojo gumunan” (Jadi santri jangan mudah terheran-heran), Nyai Nafisah pun mewanti-wanti dan mengajarkan santrinya untuk tidak mudah terheran-heran terhadap hal-hal baru.
Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang bersifat dinamis memberikan dampak terhadap semua kalangan. Bagi Nyai Nafis kalangan santri pun harus berfikir terbuka, bisa mengikuti arus, dan memilih perkembangan yang baik yang bisa diikuti.
Selain empat hal pokok di atas masih banyak lagi keteladanan yang bisa kita ambil dari beliau. Nyai Hj. Durroh Nafisah juga mengajarkan terkhusus kepada santrinya dan perempuan umunya untuk berkepribadian cerdas, terampil, dan trengginas.
Cerdas dalam artian pandai secara keilmuan maupun emosional, terampil dalam arti cekatan, dan trengginas dalam artian bersemangat mengerjakan hal-hal baik tanpa meninggalkan sisi keanggunan seorang perempuan. Keteladanan yang Nyai Nafisah berikan tentu tidak lepas dari didikan ayahandanya, KH Ali Maksum, untuk terus dicontohkan kepada santri-santrinya dan masyarakat luas. Wallahu A’lam.