Nyi Ageng Serang adalah sosok perempuan pemberani yang memiliki kemahiran menaiki kuda, memahami penggunaan senjata, mahir mengatur taktik dan strategi perang. Bahkan memimpin pasukan perang yang anggotanya bukan hanya perempuan, melainkan juga laki-laki. Atas kemahiran dan kecerdikannya dalam mengatur siasat perang, posisi Nyi Ageng Serang setara dengan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Joyokusumo.
Ketika Perang Jawa sudah berlangsung selama tiga hari, Nyi Ageng Serang menerima surat dari Pangeran Diponegoro. Surat tersebut berisi permohonan Pangeran Diponegoro agar Nyi Ageng Serang memberikan bala bantuan untuk memperkuat pertahanan pasukan dalam perang. Begitu surat telah diterima, Nyi Ageng Serang bergegas mengenakan segaram perang dengan menaiki kuda putihnya dan melilitkan selendang pusaka pada tombaknya menuju ke sektor Serang-Demak.
Bersama pasukan Semut Ireng-nya yang terdiri dari 500 prajurit, Nyi Ageng Serang berhasil menghancurkan pos Belanda yang berada di Gambringan dengan taktik “Serangan Hanoman” dan melanjutkan penyerangannya menuju Purwodadi.
Dalam tragedi Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang diangkat sebagai penasihat perang pada usia 73 tahun. Selain itu, Nyi Ageng Serang dipercaya untuk memimpin pasukan yang diberi nama Laskar Gula Kelapa yang juga terdiri dari pasukan Semut Ireng.
Laskar Gula Kelapa yang memiliki kecepatan dalam setiap gerak penyerbuannya menjadi salah satu pasukan yang ditakuti bahkan membuat Belanda kewalahan. Meski sudah memasuki usia sepuh, semangat Nyi Ageng Serang dalam melawan Belanda dan membela tanah air sedikitpun tidak mengalami pasang surut.
Meski diangkat sebagai penasihat perang, Nyi Ageng Serang tetap turun langsung ke medan pertempuran sebagai panglima kavaleri bersama sang suami, Pangeran Mutia Kusumowijoyo. Meski sang suami lebih dulu gugur di medan pertempuran, semangat dalam diri Nyi Ageng Serang tidak memudar sedikitpun.
Semangat dan komitmen Nyi Ageng Serang bukan saja membara saat ia memasuki usia dewasa. Karena terlahir dari keluarga bangsawan dari seorang ayah yang memiliki kedudukan sebagai panglima Perang Sultan Hamengku Buwono I menjadikan Nyi Ageng Srang tidak awam dalam dunia peperangan.
Sejak kecil, jiwa patriotik dan semangat nasionalisme sudah tertanam dalam dirinya. Berlatih perang, memahami setiap medan pertempuran sampai ikut terjun langsung dalam medan pertempuran melawan penjajah sudah ia lakukan sejak dini.
Perempuan yang lahir kisaran tahun 1762 di Desa Serang, perbatasan Purwodadi dan Sragen ini ikut angkat senjata dalam membantu putranya, Pangeran Serang II dalam tragedi Perang Jawa. Ketangkasan Pangeran Serang II dalam memimpin 500 Prajurit di kawasan Serang-Demak pada bulan-bulan pertama Perang Jawa dimulai membuktikan bahwa peran Nyi Ageng Serang bukan saja berpengaruh di luar melainkan juga berhasil di dalam mendidik anak-anaknya.
Kegigihan Nyi Ageng Serang dalam melakukan perlawanan terhadap para penjajah, menjadikan ia sering menjadi incaran penjajah dan pernah menjadi tawanan kolonial Belanda pada usia 16 tahun. Meski tidak ada keterangan jelas tentang kapan tepatnya Nyi Ageng Serang dibebaskan dari tawanan Belanda.
Namun, beberapa literatur menyebutkan bahwa Nyi Ageng Serang dibebaskan bersamaan dengan upacara penobatan Sultan Yogyakarta yang baru yakni Sri Sultan Hamnegku Buwono II. Pada saat itu pula, Nyi Ageng Serang langsung diserahkan kepada Pangeran Sundoro (Sri Sultan Hamengku Buwono II) yang baru saja dilantik.
Menurut beberapa sejarawan, sebelum menikah dengan Pangeran Serang I (Mutia Kusumowijoyo), Nyi Ageng Serang sempat menikah dengan Sultan Hamengku Buwono II namun memutuskan untuk bercerai karena merasa tidak cocok dengan kondisi kehidupan di dalam keraton. Setelah diizinkan meninggalkan Yogyakarta dan kembali ke Serang, Nyi Ageng Serang menjalani laku riyadloh dengan berbagai amalan tasawuf guna mempersiapkan mental dan spiritual untuk kembali ke medan pertempuran.
Selain karena pengalamannya di medan tempur dan posisinya sebagai penasihat perang di Keraton Mataram, Nyi Ageng Serang sangat disegani karena laku spiritualnya. Peter Carey dan Vincent Houben yang meneliti Perang Jawa (1825-1830) dalam buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX menjelaskan, bahwa laku tirakat yang dijalani Nyi Ageng Serang lah yang membuat Pangeran Diponegoro begitu menghormati dan memperhitungkan kesaktiannya. Bahkan, meski menjadi seorang penguasa dan banyak berlaga di medan tempur, Nyi Ageng Serang memiliki kedekatan yang amat erat dengan rakyat-rakyatnya.
Spiritualitas Nyi Ageng Serang memang tidak diragukan. Meski lahir dari daerah Serang yang terkenal sebagai markas pejuang dan basis perlawanan terhadap kolonial Belanda, Nyi Ageng Serang juga sempat mendalami ilmu agama. Nyi Ageng Serang bersama saudara-saudaranya pernah dikirim ke padepokan yang didirikan oleh Sunan Kalijaga di Kadilangu. Sang Ayah (Panembahan Serang), juga memiliki pengetahuan agama yang dalam pasca menarik diri dari dunia politik akibat terjadinya perjanjian Giyanti.
Atas perjuangannya sejak muda belia hingga tua melawan penjajah, Nyi Ageng Serang dinobatkan sebagai pahlawan Nasional. Selain itu, keteladanan Nyi Ageng Serang sebagai perempuan yang memegang peran penting dalam pertempuran melawan penjajah juga tidak memudarkan kedalaman spiritualnya dalam beragama. Selain kecintaannya terhadap bangsa dan nasionalismnya yang tinggi, keyakinannya akan iman dalam berislam juga sama sekali tidak diabaikan.