Di Indonesia, Oktober itu “bulan bahasa dan sastra”. Acara-acara untuk menghormati bahasa dan sastra Indonesia diselenggarakan di sekolah, universitas, instansi pemerintah, komunitas partikelir, dan lain-lain. Oktober selalu dianggap mengingatkan Sumpah Pemuda (1928). Peristiwa puluhan tahun lalu memberi kepastian dalam bahasa.
Di sumpah ketiga: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Kaum muda menginsafi ada pilihan berbahasa untuk persatuan, kemajuan, dan penguatan identitas kebangsaan.
Pada masa berbeda, peristiwa 1928 diperingati dengan dalih pemuda dan bahasa. Kita dianjurkan pemerintah menjadikan Oktober itu bulan istimewa. Tahun demi tahun berlalu, sekian acara di Oktober sering berulang dan kadang memicu bosan. Acara diskusi, lomba, pemberian anugerah, dan kongres dimaksudkan semakin membuat publik memiliki kemauan berbahasa Indonesia secara bangga dan terhormat. Sekian dalih justru membuat bahasa Indonesia belum beruntung dalam tata kehidupan publik. Tumpukan masalah berkaitan bahasa Indonesia terus bertambah.
Kini, Oktober tak cuma bahasa. Oktober itu santri dan pesantren.
Kita mengingat membuat peringatan dan pemaknaan bersama: bahasa-santri-pesantren. Pada 1957, terbit buku pelajaran bahasa Indonesia berjudul Bahasa Persatuan. Buku digunakan di madrasah untuk kelas lima. Buku disusun oleh tim: Sutan Abdul Gani, Sutan Muhammad Sa’id, Muhammad Maksud, Abdul Manan, dan Djalus Djalil. Buku diterbitkan oleh W Versluys NV, Amsterdam-Jakarta. Anggap saja buku itu langka, tak lagi gampang ditemukan atau dibaca oleh para murid madrasah atau santri di abad XXI.
Cerita-cerita di Bahasa Persatuan memiliki tema kesantrian. Kita simak bacaan disusun mirip puisi di pelajaran 5: Si Karman anak Pak Sarkam,/ Di PBH sekolahnja tamat,/ Idjazah dapat, pahampun dalam,/ Menambah ilmu kini terniat.// Pak Sarkan semula putus harapan,/ Badan miskin uang tak ada,/ Untuk menambah sekolah si Karman,/ Ia merasa tak berdaja.
Masalah itu bisa dirampungi dengan kedatangan guru bernama Pak Halim. Pak Sarkam diberi bantuan agar bisa menuruti Karman terus berpendidikan. Mereka memutuskan Karman meneruskan pendidikan ke Cirebon. Pak Sarkam tinggal di Majalaya, mengikhlaskan Karman menempuhi jalan ilmu di tempat agak jauh, di Cirebon.
Kita lanjutkan bacaan: Djarak Tjirebon dari Madjalaja,/ Empat djam lamanja oto berdjalan,/ Menjambung sekolah disana si Karman,/ Dipesantren modern dengan temannja. Dipesantren si Karman giat beladjar,/ Menuntut ilmu dunia achirat,/ Untuk membantu kaum-kerabat/ Bila kemudian sudah keluar.
Karman terus belajar, meniti alur ilmu-pengetahuan. Di pesantren, ia rajin belajar untuk bekal hidup. Pada masa depan, ia sudah berpikiran bahwa ilmu-ilmu dipelajari di pesantren bisa digunakan untuk membantu kaum-kerabat di pelbagai hal. Di pesantren, ia sedang merancang masa depan.
Kehadiran cerita mengenai kehidupan santri di pesantren cukup memberitahukan ke murid-murid mengenai kesungguhan dan kegirangan. Karman diceritakan kerasan di pesantren. Ia memiliki kebiasaan di pagi hari.
Hidup sudah dimulai menjelang subuh. Sekian peristiwa di pesantren setelah salat dan membaca Alquran: “Setelah selesai belajar pagi itu, tiap-tiap bagian melakukan tugasnja sebaik-baiknja. Bagian menjiapkan sarapan, sibuk bekerdja di dapur. Bagian mentjutji pakaian, radjin bekerdja pada pantjuran. Jang harus mengisi bak, menimba air dengan tangkas. Jang mendjaga kebersihan, asjik mengajunkan sapu. Kjai, Direktur Pesantren, berkeliling melihat-lihat murid-muridnja bekerdja. Di sana-sini bertjakap-tjakap dengan ramah-tamah. Pukul tudjuh tepat duduklah sekalian murid itu bersama-sama makan. Alangkah senang hati si Karman hidup di pesantren itu.”
Pada masa berbeda, Oktober itu pesantren. Kita ingin mengingat kerja P3M dalam mengumumkan dan memajukan pesantren melalui riset-riset dan publikasi jurnal. Oktober, kita memiliki Hari Santri. Kita pun pantas mengingat Oktober 1984. Bulan itu menjadi bukti publikasi nomor perdana jurnal Pesantren, berkala kajian dan pengembangan.
Tampilan jurnal Pesantren mirip Prisma. Di halaman sambutan, M Nashihin Hasan menjelaskan misi P3M dan penerbitan Pesantren sebagai bacaan publik: “… kajian dan dialog melalui Pesantren akan diprioritaskan pada tiga bidang. Pertama, kajian bidang sistem pendidikan Islam di Indonesia dengan proyeksi pada integrasi ke dalam sistem pendidikan nasional yang benar-benar terpadu. Kedua, dialog di bidang pengabdian masyarakat dan pembentukan jaringan komunikasi. Ketiga, pembahasan bidang pemikiran keagamaan dan kemasyarakatan dengan proyeksi khusus pada pertumbuhan etos kemasyarakatan sesuai dengan tuntutan keadaan.”
Pesantren edisi perdana memuat tulisan-tulisan dari tokoh-tokoh ampuh: Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Masdar F Mas’udi, Zamakhsyari Dhofier, A Syafii Ma’arif, dan lain-lain. Kini, kita bisa memperingati Hari Santri dengan membuka (lagi) halaman-halaman Pesantren. Kita mencatat jurnal itu penting dan bersejarah dalam alur keaksaraan di Indonesia.
Ingat pesantren, ingat udar gagasan diterbitkan dalam Pesantren. Kita berhak melakukan salinan atas jurnal sudah langka atau mulai bermufakat mengadakan lagi jurnal dengan situasi berbeda di abad XXI. Kita mengandaikan Hari Santri dan pengesahan Undang-Undang Pesantren semakin bermakna dengan publikasi jurnal atau majalah secara rutin.
Kita mengutip dari tulisan panjang berjudul “Asal Usul Tradisi Keilmuan di Pesantren” oleh Abdurrahman Wahid: “… tradisi keilmuan di pesantren memiliki asal usul yang sangat kuat, yaitu di satu segi berasal dari perkembangan tasawuf di masa lampau dan segi yang lain pada pendalaman ilmu-ilmu fikih melalui alat-alat bantunya… Terpulang kepada pesantren di masa depanlah untuk mencari aplikasi baru dari kedua kecenderungan yang telah diserap oleh tradisi keilmuan Islam di pesantren selama ini.”
Pengamatan itu dituliskan bertahun 1984. Pada abad XXI, kita memastikan ada perubahan berkaitan dengan pendalaman atau pengembangan dalam tradisi keilmuan di pesantren. Abdurrahman Wahid membuat catatan dan memberi sejenis tantangan atas kemungkinan perubahan bakal berlangsung di masa berbeda. Kini, perubahan itu terbaca di pemahaman dan penerapan sekian hal di Undang-Undang Pesantren.
Pemikiran kritis kita dapatkan di tulisan Nurcholis Madjid berjudul “Keilmuan Pesantren Antara Materi dan Metodologi”. Kritik pedas ke institusi-institusi pendidikan di naungan Departemen Agama. Kritik paling mengena ke IAIN (Institut Agama Islam Negeri).
Nurcholis Madjid menulis: “Pendiri dan orang-orang IAIN dahulu nampaknya terkecoh karena mengira bahwa dengan mengikuti sistem Al Azhar di Mesir berarti sudah Islami.” Terkecoh itu mengakibatkan IAIN “masih serba tanggung”. Nurcholis Madjid tak asal memberi kritik. Ia pun berada di situasi saat IAIN bermisi ingin maju dan unggul dengan segala keterbatasan atau kemacetan.
Simpulan Nurcholis Madjid pantas dicatat berlatar masa 1980-an: “IAIN terombang-ambing antara konsep perguruan tinggi modern dan semengat kepesantrenan.” Pilihan kalimat agak menohok: “IAIN itu terjepit!” IAIN belum mampu melaksanakan kajian atau studi agama secara serius tapi sulit pula membawakan gairah kepesantrenan dalam alur zaman mutakhir.
Tulisan itu mengingatkan kita hubungan antara pesantren dan perguruan tinggi Islam cap “negeri” di masa lalu. Nurcholis Madjid malah terlalu berharapan ke pesantren: “Karena itu kalau saja orang-orang pesantren bisa menangkap aspek-aspek modern dalam berbagai sistem kajian Islam dan mampu mengembangkannya secara kreatif, dia akan cepat melampaui IAIN dengan gampang dalam merebut masa depan.”
Di hadapan jurnal Pesantren dan buku pelajaran berjudul Bahasa Persatuan, kita mulai mengartikan Oktober memang bulan bertema bahasa Indonesia dan santri-pesantren. Pada bacaan-bacaan lama, kita sejenak mengingat pesantren berharap ada kesinambungan tematik, dari masa ke masa. Oktober itu saat penting bagi kita menjadi pembaca peristiwa, tokoh, tema, dan situasi zaman. Begitu.