Berjuang melawan penjajahan merupakan suatu perkara yang tidak mudah dan memiliki resiko yang tinggi. Para pejuang kemerdekaan rela menghabiskan harta, jasa, bahkan nyawa sekalipun. Dalam literatur sejarah, mayoritas pejuang tersebut adalah laki-laki. Namun, terdapat seorang perempuan hebat dari Palopo yang rela melepas gelar kebangsawananya demi berjuang menentang penjajahan. Perempuan tersebut adalah Opu Daeng Risaju.
Perempuan hebat yang memiliki nama asli Famajjah ini lahir pada tahun 1880 di Palopo, Luwu, Sulawesi Selatan. Ia dilahirkan dari seorang ayah yang bernama Muhammad Abdullah To Bareseng dan ibu yang bernama Opu Daeng Mawellu. Darah bangsawan mengalir pada diri Famajjah, hal ini dikarenakan ibunya masih keturunan (cicit) dari Raja Bone ke-22 yaitu La Temmasonge Matimoeri Malimongeng.
Pendidikan agama telah ditanamkan dalam dirinya semenjak kecil. Setiap harinya ia menghabiskan masa kanak-kanak dengan belajar mengaji Alquran kepada guru agama setempat. Tidak hanya itu, ia juga mempelajari beberapa dasar keilmuan Islam, mulai dari fikih, nahwu, shorof, dan ilmu balaghah. Kesibukanya dalam belajar agama tersebut mengakibatkan ia tidak pernah menempuh pendidikan umum di sekolah formal. Sehingga mengakibatkan kemampuan ilmu agamanya lebih menonjol dari pada pengetahuan umum.
Setelah beranjak dewasa, Famajjah dinikahkan dengan seorang ulama Bone yang bernama H. Muhammad Daud. Suaminya tersebut merupakan anak dari rekan dagang ayahnya yang kemudian diangkat menjadi imam masjid istana Kerajaan Luwu. Semenjak menikah, Famajjah mulai menggunakan gelar keturunan bangsawanya yaitu Opu Daeng Risaju. Dalam tradisi masyarakat Luwu, gelar Opu adalah sebuah tituler kebangsawanan yang diberikan kepada seseorang yang telah menikah.
Pada tahun 1905, Belanda melakukan ekspansi militer terhadap seluruh kerajaan yang berada di Sulawesi Selatan, tak terkecuali kerajaan Luwu. Penjajahan tersebut mengakibatkan Opu Daeng Risaju bersama suami harus meninggalkan Palopo dan pindah menetap di Pare-pare. Di tempat baru tersebut, Opu Daeng Risaju mulai aktif berperan di organisasi politik yang menentang penjajahan yaitu Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Keaktifan O.D. Risaju di PSII dimulai sejak mendaftarkan diri sebagai anggota SI pada tahun 1927.
Pengenalannya terhadap PSII telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman bagi Opu Daeng Risaju. Pada tahun 1930, ketika telah kembali ke Palopo, Opu Daeng Risaju mulai mendirikan, sekaligus menjadi ketua pertama PSII cabang Palopo. Perekrutan anggota PSII dilakukan oleh Opu Daeng Risaju dengan cara menyebarkan kartu anggota yang bertuliskan lafal syahadat. Masyarakat sekitar sangat antusias dan menyambut baik kehadiran PSII. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya beberapa distrik cabang PSII di berbagai daerah seperti Bajo, Belopa, Suli, Malangke, dan Malili. Penyebaran tersebut terjadi dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Kegiatan politik yang dijalankan oleh Opu Daeng Risaju dianggap Belanda sebagai sebuah ancaman. Oleh karena itu, tatkala Daeng Risaju hendak meresmikan pembentukan ranting PSII di Malengke, ia berserta tujuh puluh anggota ranting tersebut ditangkap oleh penjajah. Daeng Risaju dijatuhi hukuman penjara selama 13 bulan di Masamba. Namun ketika masa hukuman mencapai 8 bulan, ia dibebaskan.
Selepas dipenjara, semangat Opu Daeng Risaju untuk melawan penjajah tidak pernah goyah dan justru semakin kuat. Hal yang sama juga dirasakan oleh anggota-anggota PSII lainya. Namun, pada suatu hari Daeng Risaju dipanggil ke Istana dan diminta untuk menghentikan kegiatan partainya. Karena ketika ia diperlakukan tidak baik oleh penjajah, hal tersebut dapat merusak citra kebangsawanan adat Luwu. Mendengar hal tersebut, Daeng Risaju menjawab dengan sangat tegas, seraya berkata:
“Kalau hanya dengan adanya darah daging bangsawan dalam tubuhku lalu saya harus meninggalkan partai, lebih baik saya menanggalkan darah daging bangsawan itu.” Kemudian ia membuka peniti kebayanya dan berkata: “Di mana darah daging bangsawan itu? disini? irislah! Supaya Datu dan adat tidak perlu terhina jika saya diperlakukan tak sepantasnya.”
Peristiwa tersebut mengakibatkan pencopotan gelar kebangsawanan Daeng Risaju. Keputusan Datu dan adat tersebut banyak dipengaruhi oleh anggota adat yang tidak suka dengan perjuangan Daeng Risaju. Hal ini dikarenakan mayoritas dari mereka telah berafiliasi kepada pihak penjajah yaitu Nederlands Indie.
Berbagai cobaan terus berdatangan, kegigihan Daeng Risaju kembali diuji dengan permasalahan rumah tangganya. Muhammad Daud diintimidasi oleh anggota adat dan penguasa kolonial Belanda agar menghentikan kegiatan politik istrinya, sehingga mengakibatkan perceraian. Selain itu, pada tahun 1934, selepas menghadiri kongres Serikat Islam Indonesia di Batavia yang diadakan pada tahun 1933. Ia kembali ditangkap oleh penjajah dan dihukum penjara selama 14 bulan.
Jerih payah yang telah dilakukan akhirnya membuahkan proklamasi kemerdekaan. Opu Daeng Risaju tersenyum mendengar berita tentang kemerdekaan Indonesia. Namun, kebahagiaan tersebut harus seketika sirna tatkala tentara Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA) mulai berdatangan di beberapa daerah di Indonesia. Daeng Risaju kembali menjadi sasaran penangkapan NICA. Ia ditangkap dan dipaksa jalan kaki 40 km dari desa La Tonre hingga Watampone di usia yang sudah tua.
Opu Deng Risaju menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 10 Februari 1964, ketika usianya mencapai 83 tahun. Ia dimakamkan di sekitar makam raja-raja Luwu di Palopo. Perjuanganya dalam melawan penjajah sangatlah berarti bagi lahirnya kemerdekaan Indonesia. Tepat 42 tahun setelah wafatnya, pada 3 November 2006, Opu Daeng Risaju ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.