Di sebuah pesta pernikahan di Ciganjur pada 18 Oktober 2009 lalu, hadir seorang berkebangsaan Amerika Serikat. Ia ikut hanyut dalam suasana pesta pernikahan, sembari ikut bergoyang dalam alunan musik dangdut bersama kedua mempelai. Iya, Paul Dundes Wolfowitz, seorang mantan Duta Besar Amerika untuk Indonesia (1986-1989) itu datang dalam pesta pernikahan putri Gus Dur.
Paul Wolfowitz datang ke pesta pernikahan putri Gus Dur, Yenni Wahid (Zannuba Arifah Chafsoh) pada Oktober 2009 lalu. Yenni Wahid menikah dengan Dhohir al-Farisi, anggota DPR RI dari Partai Gerindra. Mengapa Wolfowitz datang ke pesta pernikahan Yenni dan al-Farisi? Karena ia dan Gus Dur bersahabat sejak lama.
“Saya datang ke Ciganjur ini semata-mata karena rasa hormat, cinta dan kagum terhadap sosok dan pemikiran serta perilaku politik kebangsaan Gus Dur,” kata Paul Wolfowitz, sebagaimana diarsip Okezone (18/10/2009).
Paul Wolfowitz bukan orang sembarang dalam politik luar negeri Amerika Serikat. Ia seorang diplomat senior yang tidak hanya menjadi duta besar bagi Amerika Serikat, tapi juga sangat menikmati pergumulan intelektual dengan para cendekiawan Indonesia. Wolfowitz rajin menulis beberapa esai tentang Islam Indonesia. Lalu dipublikasikan di beberapa media semisal Wall Street Journal, Time, dan beberapa media berpengaruh lainnya.
Karirnya sebagai diplomat dan analis politik dimulai dari pendidikannya yang kokoh. Ia belajar Matematika di Cornell University, lalu meneruskan belajar bidang political science program master dan doktoral di University of Chicago.
Ayahnya, Jacob Wolfowitz merupakan ahli statistik dan profesor matematika University of South Florida. Karir intelektual dan politik Paul Wolfowitz moncer dengan tugas-tugas penting: duta besar, presiden Bank Dunia, serta Wakil Menteri Pertahanan Amerika Serikat.
Ketika Paul Wolfowitz bertugas sebagai Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia, Gus Dur menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ketika itu, pada pertengahan 1980-an, hubungan NU dengan pemerintahan Orde Baru sangat dinamis.
Gus Dur dianggap musuh politik Soeharto, karena kritik-kritik tajam atas kebijakan Orde Baru. Di sisi lain, manuver-manuver Gus Dur di bidang politik dan ide-idenya dalam isu Islam Indonesia serta dunia Islam internasional menjadi perbincangan.
Dalam sebuah esai di Time, Paul Wolfowitz mengungkapkan betapa peran Gus Dur sangat penting dalam meletakkan visi keindonesiaan. Meski, ironisnya Gus Dur bukan seorang manajer, bukan seorang konduktor dalam orkestrasi politik pada masa itu. Wolfowitz menggarisbawahi pentingnya warisan Gus Dur dalam kebebasan beragama dan hak asasi manusia.
“Wahid was not manager; he has forced from office by Parliament after less than two years. But he was a visionary, and as president, he planted a vision of an Indonesia–the country with the world’s fourth largest population and the most Muslims–commited to religious freedom and human rights.” Demikian kenang Wolfowitz dalam esainya bertajuk ‘Abdurrahman Wahid’, (Time, 18 Januari 2010).
Wolfowitz juga mengakui betapa Gus Dur merupakan seorang pemimpin muslim berpengaruh, yang merupakan produk dari pemikiran toleran-tradisional khas Indonesia, serta praktik kemanusiaan Islam. Gus Dur dianggap membawa nilai-nilai tradisionalisme dan toleransi dalam level tinggi, seraya membangun gagasan keindonesiaan.
“He was a product of Indonesia’s traditionally tolerant and human practice of Islam, and he took that tradition to a higher level and shaped it in ways that will last long after his death,” terangnya.
Paul Wolfowitz mengenang dua orang juru bicara Islam moderat dan toleransi dari Indonesia. Wolfowitz sangat memahami dinamika Islam Indonesia tidak hanya dari tugasnya sebagai Duta Besa Amerika Serikat untuk Indonesia pada tahun 1986-1989, pada masa puncak kekuasaan Orde Baru. Serta, menggeliatnya gerakan civil society dari ormas-ormas Islam terutama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Wolfowitz mengungkapkan ada dua intelektual muslim yang menjadi juru bicara Islam Indonesia, terutama pada tahun 1980-an. Yakni, Nurcholish Majid dan KH.Abdurrahman Wahid.
Nurcholish Majid (Cak Nur) merupakan pentolan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Kemudian meneruskan laku intelektualnya dengan berkuliah di Amerika Serikat dan mendirikan Yayasan Paramadina. Sedangkan, Abdurrahman Wahid mengomando Nahdlatul Ulama, sekaligus memimpin transformasi intelektual generasi muda nahdliyyin.
Mengenai Gus Dur, Wolfowitz berkisah: “He had both an extraordinary breath of knowledge–not only of Islamic religious and philosophical texts, but of the western tradition as well. … Although his presidency sadly ended unsuccesfully, he remained until his death, the bravest and most outspoken defender of Indonesia’ minorities.” Demikian Wolfowitz mengagumi intelektualitas Gus Dur (Paul Wolfowitz, Wither Indonesia, Hoover Institution, 27 September 2017).
Wolfowitz dan Gus Dur juga pernah bersama-sama membesuk Anwar Ibrahim, politisi Malaysia di sebuah rumah sakit di Muenchen, Jerman. Ketika itu, pada Oktober 2004, Datuk Seri Anwar Ibrahim menjadi Deputi Perdana Menteri Malaysia. Di Muenchen, Anwar Ibrahim menjalani operasi pemulihan penyakit punggung dan perawatan fisioterapi.
Pada kesempatan itu, Paul Wolfowitz dan Gus Dur menunjukkan kedekatan dengan tokoh asal Malaysia itu, yang pada tahun-tahun berikutnya menjadi orang penting di negeri jiran.
Anwar Ibrahim merupakan tokoh penting politik Malaysia, di samping Mahathir Mohammad yang merupakan politisi senior di Asia Tenggara. Setelah bertemu dengan Paul Wolfowitz dan Gus Dur, Anwar Ibrahim juga menyatakan dukungannya atas penanggulangan terorisme, khususnya di Malaysia dan kawasan Asia Tenggara (Liputan6, 06 Oktober 2004).
Gus Dur dan Paul Wolfowitz juga bersama-sama mendukung gerakan antikorupsi di Indonesia. Dalam sebuah kesempatan di tahun 2006, Gus Dur bersama Wolfowitz datang ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Keduanya memberikan dukungan atas gerakan antikorupsi di Indonesia.
Dalam kunjungan itu, Paul Wolfowitz mengungkapkan betapa korupsi merupakan kegagalan terbesar dalam pengelolaan negara. Sebagai bentuk dukungan, Wolfowitz menyatakan Bank Dunia akan mengejar pelaku korupsi dan membantu pemerintah Indonesia. Ketika itu, Paul Wolfowitz memang sedang menjadi Direktur Bank Dunia, selepas karirnya sebagai Duta Besar USA di Indonesia pada 1986-1989.
Wolfowitz juga mengizinkan pemerintah Indonesia untuk mengakses situs dan data bank dunia. Hal itu terkait dengan adanya ratusan perusahaan Indonesia yang terlibat dalam penyelewengan proyek-proyek Bank Dunia.
“I indicates in my farewel remarks in 1989 that greater opennes is key to Indonesian economic and political success. Look where Indonesia is at now,” terang Wolfowtiz dalam sebuah diskusi ‘US-Indonesia relations in a Changing East Asia’ yang dihelat di The Jakarta Post di Hotel Mulia, Jakarta pada Agustus 2013.
What Gus Dur achieved in his presidency is how Indonesia, a muslim majority population, a model country for religious tolerance,” ungkap Wolfowitz, sebagaimana diarsip The Jakarta Post (Paul Wolfowitz waxes nostalgic about Indonesia, 21 Agustus 2013).
Wolfowitz mengenang Gus Dur sebagai tokoh penting dalam mengokohkan toleransi di komunitas muslim Indonesia. Persahabatan Paul Wolfowitz dan Gus Dur menjadikan keduanya sering berdiskusi dan bekerjasama. Terutama dalam isu-isu politik internasional dan diplomasi Amerika Serikat Indonesia (*).