Dalam pandangan KH. Sholeh Darat ada dua jenis ilmu. Di mana setiap umat Islam wajib hukumnya mengidentifikasi keduanya, yakni ilmu akhirat dan ilmu dunia. Penjelasan ini termuat dalam kitab Minhajul Atqiya’ Syarah Hidayatul Adzkiya’ karya Syekh Zainuddin al-Malibari.
Sebagai umat Islam kita harus mengutamakan ilmu akhirat ketimbang ilmu dunia. Kiai Sholeh Darat menjelaskan bahwa ilmu akhirat terbagi menjadi dua macam; yaitu ilmu Mukasyafah dan ilmu Muamalah. Manusia dituntut untuk memahami salah satunya agar selamat kehidupannya baik di dunia dan akhirat.
Ilmu Mukasyafah
Ilmu mukasyafah itu ilmu batin yang merupakan puncak dari pengetahuan, semua ilmu merupakan perantara untuk mencapai ilmu mukasyafah. Inilah ilmu yang menyebabkan Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq melebihi semua umat Muhammad Saw., jadi bukan sebab banyaknya shalat dan puasa, tapi sebab sifat waqar di dalam hatinya.
Ilmu mukaysafah adalah ilmu tentang Allah, ilmu yang dikatakan oleh Sayyidina Umar bin Khattab r.a. dan Sayyidina Ibnu Mas’ud, “Telah ikut mati, sembilan dari sepuluh bagian ilmu.”
Para sahabat bertanya, “Mengapa seperti itu? Padahal masih banyak para sahabat.”
Ibnu Mas’ud r.a. menjawab, “Ilmu yang aku maksudkan bukan ilmu fatwa dan ilmu hukum, tapi ilmu yang hilang itu adalah ilmu tentang Allah, itulah yang disabdakan Rasulullah Saw.:
Sesungguhnya sebagian dari ilmu itu seakan-akan seperti keadaan tertutup yang tidak diketahui, selain oleh ahli yang mengenal (makrifat) Allah Swt. Apabila mereka mempercakapkannya, maka tidak ada yang tak mengerti, selain dari orang-orang yang telah tertipu, jauh dari Allah Swt.
Maka janganlah kamu hinakan seorang yang berilmu, yang dianugerahi oleh Allah Swt. ilmu tersebut. Karena Allah Swt. sendiri tidak menghinakannya ketika telah menganugerahinya ilmu.
Sebagian Ulama ‘Arifin berkata;
Barang siapa yang tidak memiliki bagian dari ilmu ini (ilmu mukasyafah), aku khawatir dia akan mati su’ul khotimah.
Pada ilmu mukasyafah bagian minimalnya adalah membenarkan dan pasrah, jangan sekali-kali menentang para Ahlullah. Sebagian Ulama berkata, “Barang siapa yang memiliki dua hal, maka tidak akan pernah mendapatkan ilmu para shiddiqin, yaitu orang yang ahli bid’ah dan orang yang sombong.”
Adapula yang berpendapat, “Orang yang cinta dunia dan orang yang menuruti hawa nafsunya.”
Imam al-Ghazali berkata, “Ilmu mukasyafah adalah apabila telah dibuka hijab dari hati seseorang, sehingga dia bisa melihat tajallinya Allah Swt., hal ini mungkin terjadi dalam Jauhar Insaniyyah jika hatinya telah bersih kaca.” Karenanya, Rasulullah Saw. bersabda:
“Jikalau setan-setan tidak mengelilingi hati anak Adam (manusia), niscaya mereka dapat memandang ke alam malakutnya langit.”
Inilah makna dari isyarah dalam hadits qudsi, Allah mewahyukan kepada sebagian Nabi-Nya, “Jangan berkata atau meyakini bahwa ilmu itu di seberang lautan, barang siapa yang bisa mengarunginya maka dia akan mendapatkan ilmu.
Tempatnya ilmu itu di dalam hatimu, maka gunakanlah adab ruhani kalian semua, sebagaimana air sumur, ketika semakin dalam maka semakin jernih dan banyak airnya. Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang memiliki pandangan (mata hati).”
Kesemua penjelasan di atas adalah apa yang dikehendaki dari Ilmu Mukasyafah. Seseorang tidak bisa mencapai Ilmu Mukasyafah kecuali setelah kokoh dalam Ilmu Muamalah.
Ilmu Muamalah adalah mengamalkan ilmu, maksudnya melakukan apa yang diperintahkan oleh ilmu. Inilah yang bisa menggosok dan membersihkan kaca hati dari kotoran yang ditimbulkan oleh cinta dunia, akhlak tercela dan mengikuti hawa nafsu. Ilmu ini dinamakan ilmu ahwalul qalbi.
Ahwalul qalbi itu ada dua;
Pertama, mahmudah (terpuji) seperti sabar, syukur, khauf, raja’, ridha, zuhud, taqwa, qana’ah, sakhawah, syuhudul minnah dalam segala ahwal dan ihsab, husnudzan, husnul khuluq (budi pekerti yang baik), baiknya pergaulan, jujur, ikhlas, rindu bertemu dengan Allah serta mengingat kematian.
Kedua, madzmumah (tercela), seperti takut fakir, membenci takdir, menggerutu, pendendam, hasud, mencari keluhuran, suka pujian, suka hidup lama di dunia untuk bersenang-senang, sombong, riya’ (pamer), pemarah, suka bermusuhan, tamak, pelit, cinta dunia, menyombongkan diri.
Mengagungkan orang-orang kaya, menghinakan orang-orang fakir, membanggakan diri sendiri, khuyala’, sombong melawan kebenaran, bermain sesuatu yang tidak bermanfaat, suka banyak bicara dan berdandan agar dilihat manusia, ujub, sibuk mencari cacat orang lain, bukan cacatnya sendiri.
Tidak merasa sedih saat meninggalkan ketaatan, tidak ada rasa takut pada Allah dalam hatinya, menuruti keinginan nafsu, merasa aman dari pengaturan Allah, tidak takut tercerabutnya keimanan, khianat, thulul amal (panjangnya angan-angan), hati yang keras.
Kasar terhadap manusia, bahagia saat mendapatkan harta dunia dan bersedih saat kehilangannya, merasa nyaman bersama makhluk dan bersedih saat berpisah, benci terhadap makhluk, tergesa-gesa, sedikit rasa malu dan kasih sayang.
Semua yang telah disebutkan dari sifat-sifat madzmumah merupakan sifat-sifatnya hati, benih dari semua kemaksiatan dan tempat tumbuhnya amal kejelekan. Mengetahui sifat madzmumah dan mahmudah, penyebab, batasan dan cara mengobatinya adalah ilmu jalan akhirat yang berhukum fardhu ‘ain mempelajarinya menurut fatwa para ulama akhirat.
Orang yang berpaling dari ilmu ini (ilmu jalan akhirat) akan tertimpa kerusakan berupa siksa dari rajanya para raja di akhirat kelak, sebagaimana orang yang berpaling dari ilmu dan amal zhahir, dia akan binasa dengan pedang raja berdasar hukum para fuqaha’ dunia.
Penglihatan dan timbangan para fuqaha’ dalam bab fardhu ‘ain berdasar pada sesuatu yang bisa membawa kemaslahatan di dunia, sedangkan ulama akhirat berdasar pada sesuatu yang bisa membawa kemaslahatan di akhirat.
Jika para fuqaha’ ditanya masalah riya’ dan ikhlas, maka mereka akan diam, tidak mau menjawab, tapi jika ditanya masalah li’an, dhihar, pencurian, begal, maka mereka akan memberikan Jawaban berjilid-jilid.
Ketahuilah, tujuan utama manusia adalah bertemu dengan Allah Swt., manusia tidak akan bisa bertemu Allah tanpa bekal amal kebaikan. Manusia tidak akan bisa melakukan amal tanpa badan jasmani, amal tidak ada manfaatnya jika tidak di dunia, maka dunia adalah ladang akhirat, badan merupakan kendaraan dan amal yang berjalan menuju tujuan. Dengan demikian ilmu bertemu dengan Allah itu seperti ilmunya orang yang melakukan ibadah haji.
Pertama, harus ada bekalnya, ini ibarat ilmu fiqih. Kedua, menempuh perjalanan di hutan yang banyak hewan buasnya, ini ibarat menyucikan batin dari sifat-sifat madzmumah dan menghiasi dengan sifat-sifat mahmudah. Ketiga, melakukan ibadah haji, ini ibarat mengetahui Allah, baik Dzat, Sifat dan Af’al-Nya.
Inilah perumpamaan ilmu mukasyafah yang merupakan puncak dari ilmu. Wallahu a’lam.