Imam Abu Hasan al-Asy’ari (873-935 M) adalah pendiri aliran atau teologi Asy’ariyah. Siapa sangka ternyata Imam Al-Asy’ari dulunya merupakan seorang intelektual Mu’tazilah yang gigih membela sekte teologinya. Lahir sebagai seorang anak yang cerdas, pada mulanya Al-Asy’ari kecil hidup dalam lingkungan ahl al-Hadits, pakar kajian hadits.
Dalam kitab Al-Ibânah ‘an Ushûl Al-Diyânah, Imam Al-Asy’ari mengisahkan bahwa ayahnya memberikan tanggung jawab kepadanya untuk belajar ilmu-ilmu agama dari para ulama ahli hadis seperti, al-Saji, al-Jamkhi, al-Maqbiri dan lainnya. Sebab kecerdasannya yang melebihi rata-rata, Al-Asy’ari pada usia 10 tahun telah menjadi salah satu imam dari kalangan ulama Ahl al-Hadis.
Keadaan mulai berubah saat ayahnya meninggal. Dan tidak lama berselang, ibunya menikah lagi dengan salah satu tokoh besar Mu’tazilah , Abu Ali al-Jubbai. Kini, al-Jubbai yang bertanggungjawab terhadap segala hal yang berurusan dengan anaknya, termasuk pendidikan. Melalui ayah tirinya, Al-Asy’ari kecil mendapatkan menu baru dalam hal keilmuan.
Terma-terma Mu’tazilah yang berkaitan dengan rasionalitas terus mengalir bersama hembusan nafas kehidupannya. Sebagai naluri seorang ayah, al-Jubbai menginginkan anaknya kelak yang dapat menggantikannya. Al-Jubbai dalam beberapa kesempatan sering kali mempercayakan al-Asy’ari untuk mengisi diskusi-diskusi ilmiah. Al-Asy’ari muda tumbuh menjadi pembela Mu’tazilah hingga usia 40 tahun.
Al-Asy’ari mendapat banyak pengetahuan dari ulama ahli hadis di sepuluh tahun usia pertamanya. Kemampuan rasionalitas dari Al-Jubbai kemudian berangsur-angsur mengendap dalam rongga-rongga otaknya.
Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan Mu’tazilah tiba-tiba menguap dari benaknya. Hal itu mengisyaratkan bahwa terdapat sesuatu yang patut dipertanyakan ulang. Mulai dari apakah Al-Qur’an sebagai makhluk atau bukan? Apakah Tuhan wajib berbuat baik kepada manusia? Sampai apakah manusia mempunyai kehendak sendiri dalam melakukan perbuatannya?
Permasalahan-permasalahan ini sering ia lontarkan dengan teman diskusi sekaligus ayah tirinya, al-Jubbai. Tetapi, perdebatan selalu berakhir dengan jalan buntu. Kedua belah pihak memiliki pandangan berbeda satu sama lain. Keganjalan-keganjalan yang menghantui al-Asy’ari selama 20 tahun terakhir akhirnya menemui jalan terang pada bulan Ramadhan.
Suatu ketika, pada bulan itu al-Asy’ari tiga kali bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. Dalam mimpinya, Rasulullah berpesan agar ia kembali ke mazhab para ahli hadits. Al-Asy’ari nampak menghilang dari rumahnya setelah itu.
Ia muncul secara tiba-tiba setelah 15 hari untuk memberitahukan kepada khayalak bahwa ia telah keluar dari madzhab Mu’tazilah. Pengumuman ini ia lakukan di mimbar masjid:
“Barang siapa yang telah mengenalku, memang itulah aku. Barang siapa yang belum mengenalku, aku tahu bahwa aku, Fulan bin Fulan adalah orang yang berkata bahwa al-Qur’an itu makhluk. Bahwa Allah Swt. tidak dapat dilihat dengan mata, bahwa keburukan yang aku lakukan berasal dari kehendakku sendiri. Maka dari itu, saya menyatakan bertaubat, saya melepaskan diri dari Mu’tazilah dan menentangnya”. (Abu Hasan Al-Asy’ari: 34)
Al-Jubbai memang mempunyai andil besar dalam perjalanan intelektual al-Asy’ari. Selama 30 tahun rasionalitas al-Asy’ari terus menerima dengan terma-terma Mu’tazilah dari Al-Jubbai. Walaupun demikian, tak lantas pengetahuan Al-Asy’ari pada 10 tahun pertama dari para ulama ahli hadis sia-sia begitu saja.
Ia dapat mengetahui secara detail apa yang kurang dari Ahl al-Hadis dan apa yang salah dari Mu’tazilah. Maka, ketika Imam al-Asy’ari mendeklarasikan diri keluar dari Mu’tazilah dan menentangnya, ia tidak membangun kritik dari ruang kosong. Hal ini dapat dibuktikan jika kita melihat dominasi karya-karyanya yang berkaitan tema-tema teologi dengan berangkat dari kritik terhadap Mu’tazilah.
Pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari tentang kritik terhadap Mu’tazilah antara lain berkenaan dengan kebebasan berkehendak dalam karyanya, al-Ibanah (181):
“Bertanya kepada Qadariyah, apakah layak bagi Allah azza wa jalla, jika ia memberikan suatu pengetahuan kepada hamba-hambanya sedangkan ia sendiri tidak tahu? Jika mereka menjawab, Allah tidak akan memberikan suatu pengetahuan kepada hamba-hambanya kecuali ia sendiri tahu hal tersebut, maka menjawab pertanyaan mereka: demikian juga dengan Allah. Allah tidak akan memberikan kekuatan kepada suatu makhluk apa pun, kecuali ia sendiri menghendakinya.
Maka, seharusnya jawabannya memang seperti itu. Kemudian menjawab lagi: Ketika Allah memberikan kekuatan kepada mereka untuk menjadi kufur, maka Allah berkehendak untuk menciptakan kekufuran bagi mereka. Dan jika Allah menghendaki untuk menciptakan kekufuran bagi mereka. Lalu mengapa mereka mengukuhkan bahwa penciptaan Allah terhadap kekufuran merupakan satu hal salah dan bertentangan dengan logika? Dan Allah telah berfirman, “(Allah itu) berbuat apa saja terhadap apa yang ia kehendaki (QS. Al-Buruj: 16).
Jika kita melihat teks tersebut maka akan menunjukkan bahwa Al-Asy’ari memulai gagasannya dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan ini yang seolah-olah sekte Qadariyah tanyakan tentang kehendak manusia.
Qadariyah merupakan salah satu sekte teologi yang mempunyai paham bahwa manusia mempunyai kehendaknya sendiri. Penyebutan kata Qadariyah juga secara tidak langsung menyinggung sekte-sekte teologi yang mempunyai pemikiran yang sama tentang kehendak manusia. Termasuk di sini yaitu Mu’tazilah.
Merujuk pandangan Muhammad Abu Zahrah, bahwa Mu’tazilah merupakan bagian dari Qadariyah. Walaupun memang dalam permasalahan-permasalahan lain Mu’tazilah mempunyai pandangan yang berbeda. Artinya, Mu’tazilah adalah Qadariyah dalam konteks ini.
Selanjutnya, di dalam teks tersebut, kita temukan penggunaan kata aqdara yang berarti memberi kekuatan. Artinya, sebenarnya dalam teologi Asy’ari, manusia dan makhluk lainnya mempunyai kekuatan yang telah Tuhan berikan kepada mereka.
Bukti lain yang menunjukkan buku ini lebih dominan aroma kritik, dapat kita lihat pada premis-premis sebelum atau setelahnya. Masih dengan gaya bahasa yang sama, Pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari mengkritik Mu’tazilah yang menafikan kehendak Tuhan dalam hal keburukan.
Menurut mereka, Tuhan hanya menghendaki kebaikan, karena Tuhan tidak pernah memerintah kepada keburukan. Bagi Al-Asy’ari logika semacam ini akan sangat berbahaya. Hal ini karena jika Tuhan hanya mampu menghendaki kebaikan, sedangkan setan mampu menghendaki keburukan, maka setan lebih hebat dari Tuhan. Akibatnya dunia ini akan lebih mudah menemukan kekufuran dan keburukan daripada kebaikan.
Setidaknya, penjelasan hal itu cukup jelas di dalam satu kitab di atas, sebagai Pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari pada Mu’tazilah. Karena, kecenderungan Mu’tazilah memang berlebihan dalam mengendepankan logika—dapat menyebutnya ilmu pengetahuan.
Prof. Quraish Shihab pernah menyatakan, “asahlah hati dengan akal (logika, ilmu pengetahuan) dan asahlah pula akal dengan hati”. Pernyataan tersebut adalah sebaik-baik penyikapan dalam teologi Asy’ariyah. Hal itu sekaligus sebagai anti-tesis terhadap konstruk cara berpikir Mu’tazilah . Wallahu a’lam..