“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
Dari ayat di atas setidaknya ada dua kata kunci yakni membaca dan pena. Membaca dalam ayat tersebut tidak hanya ajakan untuk membaca kitab dan buku, tetapi lebih dari itu, baik membaca secara tersurat maupun tersirat. Membaca secara tersurat adalah membaca secara tekstual baik buku dan kitab. Sedangkan makna membaca secara tersirat tidak hanya membaca saja, melainkan membaca disertai dengan tindakan dalam hal ini adalah dengan cara menulis.
Adapun makna pena pada ayat di atas diartikan sebagai simbol untuk mengaktualisasikan dalam trasformasi ilmu melalui tulisan. Karena dengan melalui pena, banyak ulama yang mengaktualisasikan tulisannya dalam bentuk kitab. Sehingga melalui tulisan tersebut, dapat diakses dan dibaca pada generasi berikutnya. Sebut saja, Imam Al-Ghazali yang terkenal dengan kitabnya Ihya’ Ulumuddin yang hingga saat ini karyanya terus dikaji, baik di lingkungan pesantren maupun perguruan tinggi.
Dalam Alquran, pena dijadikan surat yang ke-68, yakni pada surah Al-Qalam ayat pertama. Allah Swt. bersumpah, “Nun, Demi Pena…”
Sungguh ini menjadi bukti bahwa Allah Swt. begitu perhatian dengan dunia literasi (baca dan tulis). Membaca dan pena (alat tulis) baik dalam surah Al-‘Alaq maupun Al-Qalam ini menjadi ghirrah para ulama dalam menimba ilmu pengetahuan yang tak terbatas. Hal ini kita bisa merunut sejak pada masa Islam generasi pertama.
Pada masa Nabi Muhammad saw., Alquran mulai ditulis oleh masing-masing sahabat. Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, Umar bin Khattab kemudian menggagas agar Alquran dijadikan satu mushaf. Dan baru pada masa Usman bin Affan Alquran bisa terkodifikasi menjadi satu mushaf wutuh. Dari situ, jadilah Alquran yang kita lihat saat ini.
Oleh karena itu, ketika Islam menyebar ke luar Mekkah dan Madinah, tuntutan tafsir atau interpretasi atas Alquran menjadi keniscayaan. Hal itu disebabkan masyarakat di luar Makkah dan Madinah mempunyai konteks yang berbeda. Sehingga, dari situ mulai bermunculan tafsir-tafsir Alquran lainnya.
Maka, seiring dengan itu, ilmu-ilmu keislaman yang terisnpirasi dari pokok-pokok Alquran mulai bermunculan, sesuai dengan kapasitas keilmuan ulama dan kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Seperti pada kitab fiqih, ushul fiqih, tasawuf, hadis, kedokteran, astronomi, sains, tekhnologi, sejarah, ekonomi, filsafat, sastra, dan lain sebagainya.
Dari fenomena di atas, tak aneh kemudian ilmu pengetahuan dalam Islam berkembang pesat, dan puncaknya adalah meraih peradabannya. Hal ini ditandai dengan adanya semangat literasi (baca dan tulis) yang dimiliki para ulama terdahulu, sebut saja Avicena (Ibn Sina), Averroce (Ibn Rusyd), Al-Ghazali, Al-Kindi, Ibn Khaldun, Ibn Bajjah, Al-Biruni, Ibn Miskawih, dan para filsuf lainnya. Sehingga dari tokoh tersebut, kejayaan Islam berkembang pesat sampai ke penjuru dunia, bahkan banyak dari orang Barat belajar ke Timur.
Oleh karena itu, tak terkecuali juga di Indonesia, banyak dari ulama Indonesia yang menulis pemikiran-pemikirannya dalam pelbagai bidang. Pesantren adalah gudangnya karya-karya para ulama Indonesia. Mereka biasanya memberikan penjelasan atas kitab-kitab yang ditulis para ulama terdahulu, baik dalam bentuk syarah maupun hasyiah. Bahkan tak jarang mereka menuliskan buah pikirannya sendiri. Sehingga gerakan literasi yang dirintis oleh ulama terdahulu terus berjalan hingga saat ini.