Dalam sebuah hadits yang masyhur, ketika ada seorang sahabat bertanya siapakah yang harus kita hormati. Rasulullah Saw. menjawab, “Ibumu, ibumu,ibumu, setelah itu Ayahmu”. Kita bisa mendekati makna hadits ini dalam berbagai perspektif. Salah satu adalah peran Ibu dalam mendidik putra-putrinya yang hampir tidak tergantikan oleh siapapun.
Peran-peran itu mulai dari peran biologis, psikologis sampai yang berkaitan dengan penanaman nilai-nilai religius. Seorang ibu bisa “mewarnai” pribadi anaknya. Membentuk karakter, bahkan sampai mempengaruhi minat dan cita-citanya.
Ibulah diri yang paling dekat dengan anak. Hal ini karena sejak pembentukan janin dalam kandungannya sudah berinteraksi secara langsung dengan anak, baik secara psikis maupun jasmani. Dengan kenyataan inilah, peran Ibu dalam mendidik, membentuk karakter, termasuk mencerdaskan anak memiliki peran yang sangat besar.
Dalam beberapa kisah menjadi bukti besarnya pengaruh dan peran seorang ibu antara lain kisah tentang Thomas Alfa Edison di masa kecilnya. Tokoh penemu listrik ini memiliki keunikan yang tidak dipahami oleh gutu-gurunya.
Bahkan, banyak yang memandang ia sebagai anak bodoh oleh pihak sekolahnya. Ibunya yang pertama kali menyemangati dan memuji hasil imajinasinya yang sangat liar.
Kisah yang lain adalah bayi kecil bernama kelak kita sebagai sebagai Imam Syafi’i. Ketika Imam Syafi’i masih bayi dan menyusu pada ibunya, sang ibu selalu menyusui sambil membacakan ayat-ayat suci Alquran. Tak heran dengan kecerdasan yang oleh Allah Swt anugerahkan, Imam Syafi’i hafal Alquran pada usia 7 tahun.
Pada zaman yang serba cepat dalam hal perubahan ini apakah yang harus para ibu lakukan? Apa yang perlu orangtua upayakan terutama ibu agar bisa menjadi cermin dan tauladan bagi putra-putrinya? Usaha dan model ikhtiar macam apa yang harus orangtua tempuh terutama ibu agar putra-putrinya menjadi cerdas tidak hanya IQ dan EQ, tetapi juga cerdas spiritualnya (SQ)?
Berikut ini ada beberapa poin tentang peran ibu dalam mendidik anak menurut Islam agar dapat menjadi anak yang cerdas sejak dini.
Pada tahap ini seorang ibu harus menyiapkan fisik, mental dan ruhaninya. Memiliki kesadaran penuh bahwa ia akan melahirkan seorang manusia generasi penerusnya. Untuk itu dia harus melakukan hal-hal, agar janin yang dikandung akan lahir dengan sehat.
Dalam masa ini pula dia harus banyak melakukan aktivitas-aktivitas, positif baik aktivitas religi, sosial maupun kegiatan sehari-hari.
Ada cerita menarik dari tokoh sains dunia Albert Eintein. Ketika seorang aktris ingin menikahinya. Dia berharap akan memiliki keturunan secantik dirinya dan secerdas Eintein. Lalu apa jawab Einstein? “Yang aku khawatirkan adalah anak itu bodoh sebodoh dirimu, dan jelek, sejelek diriku.”
Kisah ini seperti ingin mengatakan bahwa anak yang cerdas tidak selalu lahir dari genetik yang cerdas pula. Seorang ibu yang cerdas bisa saja menurunkan anak yang tidak cerdas. Sebaliknya, seorang ibu yang biasa-biasa saja mungkin akan melahirkan anak yang sangat cerdas.
Menurut Psikoterapi Dr. Utsman Najati, untuk melahirkan generasi yang cerdas seorang ibu hendaklah melakukan aktivitas-aktivitas ruhani, seperti shalat, membaca Alquran, dan memiliki rasa syukur, ridho dan qanaah. Sikap-sikap anti kecemasan ini akan membentuk karakter janin cerdas secara spiritual.
Sering-seringlah berdialog dengan anak. Menceritakan kisah-kisah teladan dan mengandung pesan, menjawab pertanyaannya dan menjadi pendengar yang baik. Menanggapi apapun imajinasinya. Bila perlu kita juga ikut dalam dunia imajinernya. Interaksi yang sering dengan anak akan merangsang kecerdasannya dan daya nalar dan kritisnya.
Berhati-hatilah ketika kita menanggapi apa yang anak cita-citakan. Jangan mengukur anak kita nanti dengan ukuran pribadi kita. Anak-anak memiliki masa depannya sendiri yang jauh berbeda dengan kita.
Bisa saja kreativitas yang sedang anak lakukan saat ini akan sangat berharga pada masa yang akan datang. Biarkan anak mengekspresikan aktivitasnya. Orangtua cukuplah berperan dalam mengarahkan pada hal yang positif mengingatkan dan menunjukkan arah yang benar.
Menurut Dr. Jalaluddin Rahmat, dalam bukunya Optimalisasi Pengembangan Intelektual Anak, mengutip pendapat Baumrid bahwa ada tuga macam orangtua; authoritative, authoritarian dan permissive.
Orangtua model autoritatif umumnya memiliki anak yang sukses dan kompeten. Orang-orang seperti ini memiliki hubungan yang akrab dengan anak-anaknya. Sedangkan orangtua jenis otoriter cenderung memiliki anak-anak yang kepercayaan dirinya rendah.
Memberinya penghargaan baik secara materi maupun nonmateri akan memotivasi anak untuk terus-menerus melakukan hal yang positif. Dengan melakukan kebiasaaan yang positif seiring berjalan dengan wakti anak akan cerdas.
Menanamkan kemandirian pada anak sejak dini sangatlah penting. Sebagai orangtua kita tidak terus-menerus mendampingi anak. Mulailah dengan urusannya sendiri, misalkan meletakkan pakaian kotornya, menata persiapan sekolah, makan sendiri, memasak sendiri. Lambat laun anak akan mandiri dang dengan sendirinya akan sanggup menyelesaikan persoalannya sendiri.
Masih banyak sebenarnya hal-hal yang bisa ibu perankan dalam mencerdaskan anaknya. Namun, tujuh (7) poin penting yang sudah kita tadi jika kita terapkan dengan baik akan memenuhi berbagai aspek kecerdasan anak.
Demikian peran ibu dalam mendidik anak. Memang benar tak cukup ibu sendirian melakukannya, namun tidak dapat kita pungkiri untuk mengawalinya khususnya ketika anak masih beliau. Maka, ibulah yang paling banyak berperan.