Di balik sosok Gus Dur yang hebat dan terkenal, ada sosok Nyai Solichah Wahid yang berpengaruh besar dalam kehidupannya. Ia bukan hanya seorang ibu, tetapi juga tokoh publik yang berpengaruh terutama di kalangan Nahdliyyin. Sebagai sosok yang lahir dan tumbuh dalam tradisi NU, ia aktif dalam kegiatan muslimat NU. Bahkan memprakarsai berdirinya ranting-ranting baru di berbagai tempat.
Ia tidak hanya dikenal sebagai istri dari KH A. Wahid Hasyim, Menteri Agama kala itu. Dalam perjalanan hidupnya, setelah kepergian suaminya, ia muncul sebagai pribadi sendiri dan tokoh masyarakat. Ketokohan itu tidak hanya lahir dari jejak keturunan dan latar belakang keluarga saja, akan tetapi lahir dari prestasi dan jejak langkah dalam organisasi dan keberhasilannya dalam mendidik anak-anaknya.
Nyai Sholichah Wahid menjadi sosok yang amat dihormati di kalangan NU dan di luar NU. Jika ia menyampaikan pendapat dan usulan kepada tokoh NU lainnya, usul tersebut pasti didengarkan dan dipertimbangkan oleh lainnya. Dalam beberapa hal, ia sangat berperan menjadi penengah dari konflik kebangsaan, seperti yang dicatat dalam buku ‘Agama NU untuk NKRI’ karya Ahmad Baso, setidaknya kurang lebih ada tiga hal peran beliau dalam rekonsiliasi.
Pertama, beberapa hari setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, ia mengambil inisiatif pertama mengumpulkan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama. Laki-laki maupun perempuan untuk menyikapi situasi genting tersebut. Dalam situasi yang belum menentu, keberanian Nyai Solichah mendorong NU bertindak.
Subchan ZE selaku ujung tombaknya, beraksi mengutuk keras aksi G30S itu. Di tengah situasi yang belum jelas mana lawan mana kawan, Nyai Solichah justru sudah menunjukkan perannya sebagai seorang perempuan yang hadir mengawal keselamatan bangsa dan negaranya.
Nyai Solichah Wahid yang mewakili Muslimat NU adalah tokoh yang pertama kali menandatangani pernyataan PBNU yang menuntut pembubaran PKI pada tanggal 2 Oktober 1965. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan juga berjiwa pemimpin, yang mampu melihat mana yang harus dilakukan dan berani melakukannya.
Dengan keberaniannya, ia juga menjadikan rumahnya di Taman Matraman Barat No. 8 menjadi posko bagi kalangan NU. Mengingat banyaknya tokoh-tokoh muda NU di Jakarta yang tinggal di tempat dengan keamanan yang belum terjamin dalam situasi yang tidak menentu tersebut.
Disebutkan dalam buku Ibuku Inspirasiku bahwa para tokoh muda NU, selama hampir dua bulan tinggal di rumahnya beserta keluarganya. Tentu saja tindakan ini bukan tanpa risiko. Hal tersebut karena situasi politik yang belum jelas, dan banyaknya tokoh politik nasional yang belum berani menentukan sikap.
Kedua, peran rekonsiliasi yang dilakukan oleh Nyai Solichah Wahid adalah ketika program-program KB (Keluarga Berencana) dikampanyekan pemerintah untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Banyak perdebatan yang terjadi di masyarakat. Namun Nyai Solichah tampil dengan kemampuan dan siasatnya.
Ia melakukan pendekatan kepada masyarakat terutama kalangan Nahdliyin untuk menyosialisasikan program-program KB tersebut sehingga diterima oleh masyarakat. Perannya tersebut mengingatkan bahwa betapa pentingnya peran perempuan pesantren dalam isu-isu strategis.
Ketiga, Nyai Solichah Wahid berhasil mempertemukan dua kelompok dalam NU yang sedang berseteru. Ketika dua fraksi di tubuh NU, yakni kelompok Cipete dan kelompok Situbondo terlibat konflik politik yang berlarut-larut dan makin membahayakan keberadaan NU pada tahun 1980-an. Masa-masa menjelang Munas Situbondo tahun 1983, Nyai Solichah segera mengambil inisiatif untuk mendekati kedua kelompok tersebut.
Ia memahami posisi yang diambil oleh masing-masing pihak. Di satu sisi, ia menyetujui kelompok kalangan muda NU yang menginginkan adanya reformasi di tubuh NU. Sementara di sisi yang lain, ia juga sangat memahami bahwa KH Idham Chalid adalah pemegang otoritas NU yang diperoleh saat muktamar.
Memahami kenyataan tersebut, ia akhirnya melakukan pendekatan kepada kedua belah pihak. Ia menjembatani serta mengarahkan sejumlah pertemuan di antara tokoh-tokoh kedua fraksi. Upayanya disambut positif dari kedua belah pihak. Kedua pihak sepakat untuk menyelesaikan persoalan yang ada melalui forum muktamar yang diselenggarakan di Situbondo tahun 1984. Munas NU akhirnya berjalan mulus tanpa gejolak politik berkat prakarsanya tersebut.
Dalam tiga persoalan tersebut, Nyai Solichah Wahid berhasil dalam mengelola konflik di lingkungan NU demi tercapainya ishlah atau rekonsiliasi. Pengalaman beliau tersebut menjadi refleksi dari karakter perempuan sebagai juru damai konflik kebangsaan dan karakter perempuan NU sebagai pengawal bangsa, penjaga tradisi, dan pemerkasa ishlah dan rekonsiliasi.