Dalam suatu majlis pengajian rutinnya, Syekh Siti Jenar menyampaikan ulasan tentang tafsir Surat al-Ikhlas. Sebelum mengulas ayat demi ayat, beliau terlebih dahulu mendaras Surat al-Ikhlas dengan merdu. Baru kemudian Syeikh Siti Jenar mendedahkan tafsirnya,
“Cung, ketahuilah bahwa seluruh alam semesta ini: langit, bumi, bintang-gemintang, matahari, bulan, dan seluruh makhluq yang ada di dalamnya diciptakan oleh Allah Dzat yang maha suci dan agung seorang diri. Dia-lah Allah dzat yang Maha Esa. Tiada sekutu bagi-Nya. Seluruh makhluq bergantung kepada-Nya. Dan sebaliknya, Gusti Allah tidak membutuhkan makhluq-makhluq ciptaan-Nya itu.”
Belum lagi Syekh Siti Jenar melanjutkan pembahasannya, tetiba ada seorang santri laki-laki yang mengacungkan tangannya. Ternyata, ia adalah Jumina, santri kinasih sekaligus koki atau juru masak dalem beliau.
Syekh Siti Jenar bertanya kepada koki Jumina, “Ada apa, Jumina?”
Sebelum koki Jumina sempat menyampaikan jawabannya, Syekh Siti Jenar telah melontarkan kembali pertanyaan, “Adakah sesuatu yang salah dalam penjelasanku?”
Koki Jumina menjawab agak terbata-bata, “Anu, kanjeng Syekh. Maafkan bilamana dalem lancang memotong penjelasan, kanjeng Syekh. Saya tidak sarujuk. Saya tidak setuju dengan pendapat kanjeng Syeikh.”
Syeikh Siti Jenar bertanya kepada koki Jumina penuh selidik, “Maksudmu? Kamu tidak setuju kalau Gusti Pengeran Allah itu satu. Esa. Begitu?”
“Injih. Benar, kanjeng Syekh?”, jawab koki Jumina dengan penuh keyakinan.
“Lha, kalau Gusti Pengeran Allah tidak satu, lalu sebaiknya berapa menurut kamu?”, sergah Syeikh Siti Jenar.
Setelah membenahi letak duduknya, koki Jumina berkata, “Begini, kanjeng Syekh. Bagi saya, Gusti Pengeran itu paling tidak harus ada empat. Bisa lebih, tidak boleh kurang. Apalagi hanya satu. Tidak ketemu nalar. Tidak masuk akal, kanjeng Syekh.”
“Kok bisa begitu. Jelasnya bagaimana?”, Syeikh Siti Jenar menimpali.
Koki Jumina lalu menjelaskan, “Kanjeng Syeikh, alam semesta ini sangat besar dan luas. Untuk itu, dibutuhkan Pengeran minimal empat. Keempat Pengeran itu punya tugas dan perannya masing-masing. Ada Pengeran yang mengatur jalannya matahari, ada yang menopang langit, ada yang mengatur pergantian siang-malam, ada yang mengatur siklus pergantian musim.”
Syeikh Siti Jenar menanggapi koki Jumina dan berkata, “O.., begitu.” Sebelum Syekh Siti Jenar melanjutkan tanggapannya, waktu sholat Isya telah tiba.
Sembarimenutup majlis, Syekh Siti Jenar berujar, “Kalau demikian, ketidaksetujuanmu itu akan aku tanggapi kapan-kapan. Sekarang kita akhiri pengajian kita saat ini. Kita sholat Isya berjama’ah.”
Ketidakpastian waktu yang diberikan oleh Syekh Siti Jenar untuk menanggapi ketidaksetujuan koki Jumina membuatnya penasaran. Meskipun demikian, ia tidak berani menanyakan kembali. Beberapa majlis telah berlalu, tetapi Syeikh Siti Jenar belum juga menanggapinya.
Sampai suatu saat ketika koki Jumina sedang sibuk di dapur, ia dipanggil oleh Syekh Siti Jenar. “Jumina, beberapa pekan mendatang saya ada undangan walimah pernikahan di Banyuwangi. Ada pertunjukan wayang kulit semalam suntuk yang kamu sukai. Karena itu, tugas kamu adalah menyiapkan dokar dengan kuda yang bagus. Temani aku menghadiri undangan itu.” Karena girangnya, koki Jumina sampai lupa permasalahannya.
Singkat cerita, sampailah keduanya di tempat walimah pernikahan itu. Koki Jumina dan Syeikh Siti Jenar bersama tetamu yang lain menikmati pertunjukan Wayang Kulit.
Di saat sedang puncaknya keasyikan menikmati jalannya pertunjukan itu, Syekh Siti Jenar tiba-tiba bergegas keluar. Dengan terpaksa dan berat hati, koki Jumina meninggalkan pertunjukan yang digandrunginya itu untuk mengikuti gurunya. Sambil agak berlari, ia mengejar gurunya itu dan berteriak, “Kanjeng Syekh, Kanjeng Syekh. Tunggu saya!”
Setelahagak jauh dari keramaian, Syeikh Siti Jenar menghentikan langkahnya.
Sesampai koki Jumina di dekat gurunya itu, ia bertanya, “Mengapa kanjeng Syeikh meninggalkan pertunjukan itu? Padahal ceritanya sedang seru-serunya.”
Syekh Siti Jenar menanggapi pertanyaan koki Jumina, “Jumina, kepala saya pusing. Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin wayang sebanyak itu dimainkan oleh satu dalang saja? Mestinya, dalangnya ada empat.”
Tanpa berpikir panjang, koki Jumina menyangkal perkataan gurunya, “Ya tidak mungkin, kanjeng Syeikh. Justru, kalau dalangnya lebih dari satu apalagi empat, pertunjukan akan menjadi kacau.”
Dengan lugas, Syekh Siti Jenar menjawab, “Lho, kamu ini bagaimana, Jumina? Beberapa hari yang lalu, kamu menentang pendapatku. Katamu dalang harus empat. Tapi sekarang kamu mengatakan sebaliknya.”
Akhirnya, koki Jumina mafhum dengan apa yang dimaksud gurunya. Melalui proses pembelajaran yang panjang itulah koki Jumina menemukan Tuhannya.
Sumber: Kisah ini telah beberapa kali disampaikan oleh KH. Muhammad Sya’roni Ahmadi dalam pengajian Tafsir al-Ibriz pada setiap malam Kamis di Janggalan, Kudus.